Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfaenawan

Kontekstualisasi Hadist Tentang Kepemimpinan di Indonesia

Agama | Monday, 21 Aug 2023, 16:43 WIB
sumber: https://politik.brin.go.id/kolom/pemilu-partai-politik-otonomi-daerah/indonesia-di-ambang-krisis-kepemimpinan-nasional/

Oleh: Alfaenawan

Pemimpin adalah seseorang yang memenuhi kemampuan dan sifat-sifat tertentu. Istilah pemimpin dapat diidentikkan disebut imam, khalifah, sulthon, dan ulil amri. Adapun imam (a’immah), yaitu setiap orang yang diikuti sebagai panutan atau pedoman bagi orang yang mengikutinya. Dia selalu dikedepankan dalam segala urusan. Salah satu tugas utama seorang pemimpin adalah menegakkan supremasi hukum dan keadilan. Dalam islam, sosok pemimpin telah dicontohkan oleh Nabi, karena Nabi Muhammad bukan hanya seorang Nabi, melainkan sebagai kepala negara, hakim, menguasai sumber daya ekonomi, dll. Hal ini dapat diketahui pada saat Nabi hijrah ke Madinah, beliau memimpin Madinah sampai akhirnya merumuskan piagam Madinah yang berisi perlindungan hak asasi penduduk Madinah, serta mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masyarakat Madinah.

Kepemimpinan yang telah dilakukan oleh Nabi dapat dijadikan teladan bagi umat islam. Namun kedudukan Nabi yang menguasai berbagai ranah kekuasaan tidak boleh diikuti dan diterapkan oleh pemimpin saat ini. Perbuatan Nabi tersebut hanya khusus dilakukan oleh Nabi, karena Nabi merupakan utusan Allah yang memiliki sifat maksum. Dalam teori trias politika, kekuasaan dibagi menjadi tiga yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan dalam perkembangannya, terdapat lembaga negara yang mengkombinasi cabang kekuasaan tersebut. Pembagian kekuasaan (distribution of power) tersebut bertujuan agar pemimpin tidak otoriter dan menyalahgunakan kewenangannya. Pemimpin dalam islam adalah setiap orang yang diberi amanah tertentu untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab, tanggap dalam menghadapi situasi tertentu, serta harus mampu mengambil inisiatif yang tepat, agar kebijakan yang diputuskan tidak berbenturan dengan keinginan masyarakat.

Islam mengharuskan mengangkat seorang pemimpin, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang artinya: “Apabila terdapat tiga orang keluar (melakukan perjalanan), maka angkatlah salah satu dari mereka menjadi pemimpin.” Dalam hadist tersebut dapat diketahui bahwa suatu perkumpulan dengan jumlah tiga orang atau lebih saja dituntut untuk memiliki pemimpin, apalagi dalam sebuah negara, tentu eksistensi pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengatur berbagai persoalan dalam suatu negara. Indonesia telah mengalami perkembangan dari masa ke masa, mulai dari era orde lama sampai era reformasi. Setelah menjalani kehidupan bernegara selama 20 tahun setelah reformasi, tentu banyak persoalan yang harus dievaluasi. Sehingga diperlukan pemimpin yang mampu untuk melakukan reformasi gelombang kedua untuk menata sistem norma negara dan berbagai kebutuhan lainnya. Selain itu, pejabat-pejabat di berbagai ranah pemerintahan juga harus memiliki integritas, kapabilitas, dan bersedia untuk memikirkan kemajuan bangsa dalam jangka panjang, termasuk merubah konstitusi secara keseluruhan. Karena hasil amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali masih banyak kelemahan-kelemahan apalagi dalam tataran implementasi. Gagasan perubahan ini bertujuan agar berbagai kelemahan dalam konstitusi dievaluasi dan dibenahi secara komprehensif.

Dalam konteks Indonesia, pejabat yang mewakili ranah eksekutif setidaknya meliputi: Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masing-masing menjabat selama 5 tahun sekali. Pada era reformasi ini, Indonesia mengalami perubahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Sehingga kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota memiliki wilayah kekuasaan, artinya pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah juga memiliki wewenang untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan yang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.

Adapun isu yang masih hangat saat ini adalah mengenai pemilihan presiden pada tahun 2024 mendatang. Kandidat yang ingin mencalonkan menjadi Presiden semakin banyak, seperti Prabowo Subianto, Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, dll. Pada tahun 2024 tersebut menjadi momentum untuk mengusul Presiden baru di Indonesia yang benar-benar bisa memenuhi tuntutan reformasi gelombang kedua. Namun, banyak orang yang berkompeten tidak bisa mencalonkan dirinya karena seseorang yang hendak menjadi calon Presiden harus memenuhi ketentuan Presidential Threshold sebagaimana penjelasan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 20017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa: “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota DPR sebelumnya.”

Pengaturan mengenai syarat ambang batas dianggap mengurangi hak rakyat untuk memperoleh pemimpin yang diinginkan. Sebab dengan adanya ambang batas tersebut, di atas kertas maksimal ada 5 pasangan calon. Namun di lapangan, rasanya tidak mungkin ada 5 pasang, maksimal 4 pasangan calon. Karena partai-partai itu harus berkoalisi yang bisa dipastikan gabungan parpol tersebut akan menghasilkan dukungan 20 persen lebih. Bahkan dalam praktiknya, maksimal hanya ada 3 pasangan calon. Proses pelaksanaan pemilihan umum harus dilaksanakan secara adil (al-‘adalah) dengan memberikan kesempatan yang sama bagi rakyat, kelompok, dan partai tertentu, serta tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi. Tujuan memberi kesempatan yang sama (al-musawa) kepada para peserta pemilihan umum mempunyai peluang yang sama untuk memenangkan visi-misi yang diusulkan. Negara tidak diperbolehkan menyusun peraturan perundang-undangan yang terdapat penyimpangan dan pelanggaran terhadap hak-hak politik kelompok tertentu dan menguntungkan kelompok lainnya. Namun, pada kenyataannya pengaturan presidential threshold tersebut sangat membatasi para calon pemimpin yang berhak untuk berkontestasi di ajang pemilu.

Selain pengaturan mengenai presidential threshold, terdapat persoalan dalam pemilihan umum, seperti biaya politik yang mahal. Banyak para pengusaha memberi sumbangan terhadap partai politik untuk bisa menjabat di pemerintahan. Setelah menjabat, orang tersebut mengutamakan kepentingan partai, kepentingan pengusaha atau kelompok yang memberi sumbangan ketika pemilu. Dalam menghadapi persoalan tersebut, Indonesia harus melakukan studi banding di berbagai negara maju dan mempertimbangkan mengenai penggunaaan biaya APBN untuk kampanye, dll. Pelaksanaan pemilu perlu diatur secara komprehensif agar tidak ada konflik kepentingan bisnis dan politik dalam pemerintahan.

Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan disrupsi di segala bidang terutama bidang IT, sehingga terjadi perubahan yang besar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dll. Perubahan tersebut harus diantisipasi dengan baik. Para pejabat baik di ranah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif harus memiliki kemampuan menyusun strategi didukung oleh kapasitas dalam menguasai medan, membuat dan menyusun skala prioritas, dan mampu membaca atau memprediksi perkembangan masa depan. Pergantian periode kepemimpinan pada tahun 2024 mendatang diharapkan mampu melakukan modernisasi besar-besaran. Seperti memperbaiki sistem norma bernegara, evaluasi kelembagaan negara, karena masih ada lembaga negara yang belum diberi wewenang secara optimal sehingga dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tidak maksimal, membuat undang-undang yang berkualitas serta melakukan evaluasi sistem perencanaan keuangan negara agar sesuai dengan tupoksi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image