Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Nauval

Padamnya Mesiu Kesultanan

Agama | 2023-08-21 16:43:48

Joseph Needham, sejarawan asal Inggris, menjelaskan dalam buku Science and Civilization in China bahwa mesiu, kompas, dan mesin cetak awalnya ditemukan di China. Namun, perkembangan ketiga teknologi tersebut di abad ke-15 hingga abad ke-17 ketika zaman penjelajahan samudra tidak terjadi secara pesat di China. Ketiga teknologi tersebut digunakan secara masif di kawasan Timur Tengah dan Eropa Barat. Pada zaman tersebut, Portugal dan Spanyol merupakan negara yang mewakili sarana kompas dengan memulai penjelajahan samudra. Hal ini dapat dilihat dari Perjanjian Tordesillas yang mengatur wilayah penjelajahan bagi Spanyol dan Portugal. Di kawasan lain Eropa Barat, yaitu Jerman dan Italia, percetakan telah tumbuh subur di abad ke-15 ketika Johannes Gutenberg telah menemukan mesin cetak. Adapun di abad ke 16, percetakan di Venesia, Italia telah menjadi pusat percetakan terbesar di Eropa.

Masjid Biru di Turki Modern | Yaroslav Danylchenko | Freepik.com

Secara garis besar, mesiu merupakan representasi dari kesultanan-kesultanan Muslim saat itu, yaitu Turki Utsmani, Safawi, dan Mughal yang memiliki kapasitas militer yang sangat besar saat itu. Dalam sebuah catatan kaki oleh Ahmed T. Kuru, hingga abad ke-16, gabungan kekuatan militer Utsmani, Safawi, dan Mughal lebih hebat dibandingkan Eropa Barat, meskipun tidak pernah ada kesepakatan aliansi militer antara ketiga negara tersebut. Hal ini juga didukung dengan istilah kolektif Kerajaan Bubuk Mesiu bagi ketiga kesultanan tersebut oleh Marshal GS Hodgson dan William HC McNeil sebagai pihak dengan kekuatan ekspansi yang berpengaruh signifikan.

Pada zaman sekarang, daerah dengan dominasi kompas dan mesin cetak telah mengalami berbagai perkembangan peradaban dalam perekonomian, industrialisasi, dan sumber daya manusia. Namun, hal yang kontradiktif terjadi pada negara Islam, di mana mesiu yang dulunya menjadi modal ekspansi telah melewati masa kejayaannya. Namun, ada sebuah pertanyaan yang agak mengganjal dalam kepala penulis. Mengapa negara berciri militer semacam Utsmani, Safawi, dan Mughal gagal dalam mengembangkan pembangunan ke arah kepentingan sipil?

Jawaban-jawaban mudah dengan menyalahkan militer yang terlalu mendominasi kepentingan negara dan terlalu banyak menyerap sumber daya mungkin menjadi alasan mainstream yang diajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, jika anda mempelajari sejarah perkembangan disiplin ilmu keteknikan maka seharusnya anda akan mengetahui bahwa keperluan militer telah berpartisipasi dalam lahir berbagai disiplin ilmu keteknikan, seperti sipil, kimia, kelistrikan, dan industri. Alur perkembangannya memang melibatkan banyak partisipasi elemen lain, tetapi peran keperluan militer adalah suatu hal yang tidak bisa disingkirkan. Dengan demikian, ada pertanyaan besar mengapa kemiliteran kesultanan Muslim tidak menghasilkan inovasi yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Kemandekan inovasi pembangunan pada masyarakat Islam dapat ditinjau dari data perbandingan abad ke-8 hingga ke-11 dengan abad ke-12 hingga abad ke-15 oleh Maya Shatzmiller di daerah Irak, Suriah, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia yang notabene adalah daerah kekuasaan Islam. Dalam temuannya, pada periode pertama dan kedua jika dibandingkan, jumlah istilah dunia kerja yang berkaitan dengan berkaitan dengan perdagangan cenderung stabil dari 233 menjadi 220. Adapun istilah yang berkaitan dengan pendidikan, hukum, dan agama naik dari 33 ke 180 dan istilah yang berkaitan dengan birokrasi dan militer meningkat dari 97 ke 303.

Dengan data tersebut, dapat kita pahami bahwa terjadi ketidakselarasan antara keperluan militer dengan kebutuhan ekonomi. Sistem Iqta (pajak pertanian) bisa ditunjuk sebagai penyebab utama terhadap keselarasan ini. Praktek Iqta sendiri marak dilakukan oleh dinasti-dinasti Islam, semacam Seljuk, Mamluk, Safawi, Utsmani, dan Ayyubiyah. Praktek Iqta telah membuat kesultanan-kesultanan Islam terus-menerus bergantung pada sektor pertanian. Dalam kebiasaannya, praktek Iqta dilegitimasi oleh para penguasa dan pemuka agama untuk membiayai keperluan militer. Praktek Iqta pada akhirnya telah melemahkan kelas tuan tanah dan mengalihkan fokus untuk memberdayakan pedagang. Alhasil, negara-negara barat berhasil menyalip perekonomian kesultanan-kesultanan Islam pada era revolusi industri pertama. Beberapa bagian dari model ekonomi ini masih diajarkan di bangku sekolah, di antaranya adalah muzara’ah, musaqah, dan mukhabarah.

Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan stagnasi pembangunan di dunia muslim setelah periode kesultanan muslim yang militeristik. Pertama, tidak adanya inovasi militer yang layak untuk dihilirisasi sebagai kebutuhan publik. Perlu diketahui, banyak teknologi mainstream di era sekarang banyak berasal dari keperluan militer, seperti GPS, internet, dan microchip. Bahkan, ilmu logistik modern memiliki akar yang sangat kuat dari kemiliteran, yang dikembangkan dari ekspedisi Alexander The Great hingga Perang Dunia ke-2. Namun, sayangnya kesultanan Muslim tidak secara bertahap menghilirisasi keperluan militer untuk sektor publik. Kakunya pemikiran untuk mempertahankan ekonomi bercorak pertanian dan lemahnya kesadaran akan urgensi untuk berinovasi menyebabkan tidak adanya fenomena semacam revolusi industri terjadi di kesultanan Muslim.

Kedua, jika pun ada inovasi militer yang layak maka tetap saja tidak ada pihak konglomerasi berpengaruh. Intervensi kekuasaan terhadap kekayaan pribadi adalah hal yang marak terjadi semasa kesultanan berdiri. Intervensi tersebut dapat berupa pembatasan kekayaan hingga perampasan sepihak oleh penguasa. Kesultanan Islam terlambat untuk menyadari pentingnya pemberian hak individu sehingga seluruh kegiatan ekonomi berpusat pada pemerintahan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara barat yang sejak abad ke-17 mulai membatasi peran penguasa dalam mengintervensi hak-hak pribadi warga negara. Ketiadaan konglomerasi menyebabkan para pemilik ide tidak memiliki pelindung dari penguasa dan harus melewati banyak sekali birokrasi yang tidak diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan Ibrahim Muteferrika yang banyak mendapatkan hambatan dalam mempromosikan mesin cetak. Usahanya mendapat hambatan karena dinilai memberi ancaman kepada penulis manual. Di sisi lain, sejak abad ke-15 Eropa mulai menghasilkan konglomerat yang memiliki daya tawar politik yang tinggi, seperti keluarga Medici dan keluarga Rothschild. Keberadaan konglomerasi di Eropa memberikan dukungan besar pada perkembangan seni dan budaya pada waktu itu.

Ketiga, banyak negara Muslim yang merupakan bekas wilayah kekuasaan kesultanan tetap mempertahankan otoritanismenya. Menurut Ahmed T. Kuru, adanya kecenderungan penguasa di negara-negara tersebut untuk memonopoli sumber daya alam mentah, seperti minyak, dibandingkan harus mengutamakan jenis produksi lain. Dengan semakin beragamnya pendapatan negara, terutama melalui pajak, hal tersebut bisa menurunkan kendali penguasa dan menciptakan tatanan sosial yang lebih demokratis. Tentu saja hal ini berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa Arab Spring di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang menunjukkan adanya upaya dari pihak berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan terhadap tekanan mundur dari masyarakat.

Ketika Blok Poros kalah dalam perang dunia ke-2 perusahaan-perusahaan yang awalnya memproduksi kebutuhan militer, seperti Mitsubishi, Volkswagen, dan FIAT berangsur-angsur beralih kepada kebutuhan sipil dan meninggalkan kebutuhan militer. Dalam perkembangannya, perusahaan-perusahaan ini telah berhasil menciptakan sistem dan ide bagi dunia akademik, produk yang memenuhi kebutuhan masyarakat, dan menjadi penyumbang besar pemasukan negara. Hal berbeda terjadi ketika kesultanan terakhir Islam, yaitu Ottoman, runtuh pada tahun 1924. Tidak banyak entitas bisnis yang mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan barat dan menghasilkan sumbangsih besar dalam inovasi pembangunan. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi umat Muslim untuk bisa objektif dalam pembangunan di era modern dengan memfokuskan inovasi untuk bidang-bidang strategis yang banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat. Umat Muslim perlu menghidupkan kembali semangat berinovasi yang bebas untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan di dunia Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image