Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aulia Firdah

Guratan Tinta Menggerakkan Bangsa

Edukasi | 2023-08-20 21:40:11

Nama : Diana Aulia Firdah

NIM : 002231036

Fakultas : Vokasi

Prodi : Akuntansi

Garuda : 18

Ksatria : 12

Tema : Jejak Anak Muda Indonesia : Gagasan Ksatria Airlangga melalui Akselerasi Kajian SDGs Untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Isu : Kesehatan

Sub Isu : Realisasi Pembebasan Pembayaran BPJS

Peran : Netral

Guratan Tinta Menggerakkan Bangsa

Saya sebagai peran netral pada sub isu ‘realisasi pembebasan pembayaran BPJS’ akan menyampaika opini saya, saya akan menyatakan beberapa isu pro dan kontra mengenai sub isu diatas, berdasarkan artikel yang saya baca pada laman https://sbbkab.go.id/perlukah-penghapusan-kelas-i-2-dan-3-dengan-kelas-rawat-inap-standar-kris-bpjs-kesehatan/ mereka menyatakan pro atau kesetujuan dalam realisasi pembebasan BPJS, seperti yang tercantup pada artikel tersebut yang menyatakan bahwa pemerintah berencana menghapus penggolongan BPJS berdasarkan kelas artinya kelas 1, 2 dan 3 yang saat ini berlaku akan hilang. Nantinya, golongan kelas BPJS akan diganti dengan kelas standar atau tunggal, tak hanya untuk pelayanannya tapi juga tarifnya menjadi satu jenis, tujuan kebijakan ini untuk memberikan pelayanan yang sama bagi seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan maksud agar semua orang, peserta, berhak untuk mendapatkan layanan, baik medis dan non medis yang sama.

Dengan dihapusnya kelas peserta BPJS, maka tidak ada yang namanya kelas 1, 2, dan 3, intinya kelas standar nanti hanya terdapat dua kelas kepesertaan program yakni kelas standar A dan kelas standar B. Kelas standar A yakni untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan kelas B untuk peserta non-PBI, Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri akan tergolong sebagai non-PBI, dengan fasilitas berupa luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar akan berbeda. Di mana untuk kelas peserta PBI minimal luas per tempat tidur sebesar 7,2 meter persegi dengan jumlah maksimal enam tempat tidur per ruangan sementara di kelas untuk peserta Non PBI luas per tempat tidur sebesar 10 meter persegi dengan jumlah maksimal 4 tempat tidur per ruangan.

Adapun kelas tunggal ini disebut sebagai kelas rawat inap standar (KRIS) atau kelas standar, direncanakan implementasinya secara penuh di tahun 2024 mendatang, namun pemerintah akan memberikan waktu sampai 2023 untuk diimplementasikan secara bertahap di RSUD dan RS Swasta. Rumah sakit ini akan dipilih berdasarkan kriteria KRIS JKN, meski baru full diterapkan dalam satu tahun mendatang, namun sejak stu tahun yang lalu proses peralihannya sudah dilakukan. Dimana pada satu tahun yang lalu yakni juli 2022 mulai dilakukan uji coba di beberapa rumah sakit pilihan.

Pelaksanaan KRIS JKN sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem jaminan Sosial Nasional (SJSN), dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan, “Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Kemudian di pasal 23 ayat (4) dijelaskan bahwa dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.

Pemerintah kemudian juga menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan dalam Pasal 54A berbunyi, “Untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, menteri bersama kementerian/Lembaga terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas kesehatan melakukan peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat bulan Desember 2022”.

Terkait rencana pelaksanaan KRIS JKN, masih sesuai dengan amanat Perpres Nomor 64 Tahun 2020 pasal 54B dan PP 47 Tahun 2021 pasal 84 huruf b yang menyatakan pelayanan rawat inap kelas standar diterapkan paling lambat 1 Januari 2023.

Nah sudah jelas kan teman-teman pada artikel diatas sudah dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan adanya realisasi pembebasan pembayaran BPJS, di karenakan sebagian besar penduduk di Indonesia di dominasi oleh pengangguran sedangkan di sisi lain lingkungan di negara Indonesia pun tidak sepenuhnya bersih hanya sebagian tempat yang memiliki kebersihan terjaga seperti pusat kota atau pusat masyarakat, ketidak adaannya pemerataan pembersihan lingkungan membuat beberapa daerah kumuh terjangkit penyakit dan hal itu sangat tidak menguntungkan bagi warga Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan, berada di tempat kumuh tidak hanya terjadi satu atau dua kali terjangkit penyakit.

Di sisi lain terdapat kontra dari pihak BPJS mengenai realisasi pembebasan pembayaran BPJS yang terkait pada laman https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230809/3743648/jangan-menebar-informasi-sesat-mandatory-spending-menghapus-pembiayaan-bpjs-kesehatan/ pada artikel tersebut sudah sangat jelas BPJS menyatakan penolakan terhadap relisasi pembebasan pembayaran BPJS, mengapa demikian? Seperti yang dinyatakan pada unggahan kemkes diatas BPJS menyatakan bahwa artikel-artikel yang mengunggah isu pro trhadap realisasi pembebasan pembayaran BPJS dinyatakan menebar informasi sesat mandatory spending menghapus pembiayaan BPJS.

BPJS menyatakan bahwa pencabutan mandatory spending tidak ada kaitannya dengan skema pembiayaan BPJS dan pelayanan yang diterima oleh peserta JKN, mandatory spending dimaksudkan untuk APBN dan APBD yang harus disediakan oleh pemerintah untuk anggaran kesehatan, dengan dihapuskannya mandatory spending bukan berarti anggaran itu tidak ada namun anggaran tersusun dengan rapi berdasarkan perencanaan yang jelas yang tertuang dalam rencana induk kesehatan.

Anggaran akan lebih efektif dan efisien karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan kita capai karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi-tingginya. Jadi semua tepat sasaran tidak buang-buang anggaran berbeda dengan skema pembiayaan dalam BPJS Kesehatan yang menggunakan sistem asuransi sosial dimana uang yang dikelola merupakan iuran dari para peserta BPJS Kesehatan, bagi yang mampu akan membayar iurannya sendiri bagi pekerja penerima upah (pekerja formal) maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1 persen) dan pemberi kerja (mengiur 4 persen), sementara masyarakat yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI), tidak adanya mandatory spending tidak akan berpengaruh terhadap aspek layanan kesehatan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan seperti yang selama ini sudah berjalan.

Nah sudah jelas juga nih teman-teman buat isu kontra yang dinyatakan oleh pihak BPJS mereka tidak setuju dengan adanya relisasi pembebasan pembayaran BPJS jika dilakukan maka akan membuat warga Indonesia menggampangkan mengenai kesehatan atau mengabaikan kesehatan dan keselamatan diri, jika hal tersebut terjadi maka dapat dilihat secara global masyakat tidak akan mementingkan nyawa atau keselamatan diri sendiri karena biaya rumah sakit sudah di tanggung oleh pemerintah oleh sebab itu pihak BPJS menyakan “bagi yang mampu akan membayar iurannya sendiri bagi pekerja penerima upah (pekerja formal) maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1 persen) dan pemberi kerja (mengiur 4 persen), sementara masyarakat yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI)” jadi sampai disini posisi saya sebagai pihak netral yang tidak mendukung isu pro pada laman pertama dan isu kontra pada laman ke dua, saya menyatakan pro dan kontra dari dua belah pihak secara adil, nyatakan dirimu berada diposisi manakah kamu! Pro atau kontra? Atau netral?

Artikel ditulis oleh Diana Aulia Firdah Mahasiswa Universitas Airlangga untuk memenuhi tugas PKKMB Mahasiswa Baru 2023 #Amerta 2023 #KsatriaAirlangga #UnairHebat #AngkatanMudaKsatriaAirlangga #BanggaUNAIR #BaktiKamiAbadiUntukNegeri #Ksatria12_Garuda18 #ResonansiKsatriaAirlangga #ManifestasiSpasial #GuratanTintaMenggerakkanBangsa

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image