Kontroversi Miss Universe Indonesia: Menilik Standar Kecantikan dan Dampaknya
Gaya Hidup | 2023-08-08 14:51:27Baru-baru ini, sorotan tajam media sosial kita menghiasi layar gawai oleh kontroversi mengenai ajang Miss Universe Indonesia. Isu tentang para peserta yang diminta untuk tampil telanjang dan difoto dalam pengecekan badan (body check) yang kontroversial telah memunculkan gelombang perbincangan di berbagai kalangan masyarakat.
Saya melihat bahwa polemik ini hanya menyentuh permukaan dari sejumlah permasalahan yang telah menghantui kompetisi ini sejak awal pelaksanaannya. Sejak awal, kompetisi ini sudah menghadapi berbagai masalah yang cukup serius.
Pada dasarnya, kompetisi ini memang telah menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap tubuh perempuan. Pada Agustus 1935, Suryadi Suryaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, menulis dalam Majalah Wasita edisi Tahun 1 No 7. Saat itu, di Pasar Malam Semarang, acara Concours Loerik-Kleeding atau Kompetisi Pakaian Lurik diadakan. Pakaian ini merupakan bentuk kebaya Jawa dengan motif lurik-lurik.
Para perempuan diundang untuk mengikuti schoonheid wedstrijd atau 'kontes kecantikan', kemudian mereka berlenggak-lenggok di antara para pengunjung. Pada akhir acara, dipilihlah seorang perempuan "paling cantik" sebagai pemenangnya.
Kontes ini ditentang habis-habisan pada saat itu, karena kaum perempuan Indonesia dimanfaatkan sebagai objek pertunjukan semata untuk tujuan komersialisasi dan eksploitasi.
Jika kita melacak sejarah Miss Universe, dalam Encyclopedia of Women in Today's World, diuraikan bahwa nama Miss Universe pertama kali digunakan oleh International Pageant of Pulchritude, sebuah kontes yang secara rutin diadakan sejak tahun 1926 di Amerika Serikat hingga terhenti pada tahun 1932 akibat dampak Depresi Besar yang dipicu oleh krisis ekonomi.
Sebelum penyelenggaraan kontes tersebut, dalam artikel berjudul Beauty Pageant Origins and Culture, disebutkan bahwa kontes serupa bertajuk Miss America Beauty Pageant telah ada sejak tahun 1921 di pantai New Jersey.
Sebuah perusahaan pakaian renang Catalina Inc menjadi sponsor rutin dari perayaan tersebut hingga pada 28 Juni 1952, perusahaan itu menarik diri setelah penyelenggara kontes menolak mengizinkan pemenangnya tampil dalam balutan busana renang untuk sampul majalah.
Kemudian, kontes Miss Universe digelar untuk kali pertama di Long Beach, California, dan dijuarai oleh Armi Kuusela dari Finlandia. Pakaian renang Catalina terus menjadi salah satu sponsor Miss Universe hingga tahun 1993 dan para pemenang dari kompetisi ini dijadikan model iklan untuk baju renang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.
Melihat aspek ini, kita menemukan paralel dengan Concours Loerik-Kleeding, di mana tujuan utama kompetisi Miss Universe juga melibatkan penggunaan tubuh perempuan sebagai sarana untuk tujuan komersial, sebagai barang dagangan.
Apakah masalahnya selesai di situ?
Belum. Persoalan berikutnya adalah bagaimana standar kecantikan dalam kontes-kontes ini ditentukan?
Umumnya, standar kecantikan yang diterapkan cenderung mengacu pada ras Kaukasoid, dengan tinggi badan tertentu, warna kulit tertentu, tekstur wajah tertentu, kontur wajah tertentu, dan lekuk tubuh tertentu.
Standar kecantikannya yang di luar jangkauan wanita dengan kulit berwarna, kompetisi ini juga menjadi sebuah marka dari zaman kita, bagaimana seorang perempuan value-nya diukur dari standar 'cantik' atau tidaknya.
Imbasnya dalam kehidupan sangatlah besar, sebagai contoh, persepsi bahwa perempuan dianggap cantik hanya jika memiliki kulit putih dapat mengakibatkan tindakan rasis.
Ini mendorong banyak perempuan rela berhutang demi membeli produk perawatan kulit (skincare) dengan harga yang tinggi hanya untuk mencapai warna kulit yang dianggap 'ideal'.
Lebih lanjut, persepsi bahwa perempuan harus memiliki lekuk tubuh dan tinggi badan tertentu juga dapat berdampak negatif.
Ketika ada perempuan, dan mungkin juga laki-laki, yang memiliki berat badan di atas rata-rata, sering kali mereka menjadi objek body shaming, dan kata-kata merendahkan seperti "dasar gendut" bisa terlontar dengan mudahnya.
Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi perkembangan citra tubuh dan harga diri perempuan.
Penting untuk menyadari bahwa standar kecantikan yang sempit dan tidak inklusif ini dapat memiliki dampak yang merugikan pada kesehatan mental dan emosi individu serta masyarakat secara keseluruhan.
Pengertian tentang "cantik" bisa sangat bervariasi tergantung pada pandangan dan budaya masing-masing individu. Definisi kecantikan bisa bersifat subjektif dan dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, lingkungan, nilai-nilai sosial, dan preferensi individu.
Karena itu, manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki keutamaan dan nilai yang berasal dari kebaikan mereka, serta dari bagaimana mereka memberikan manfaat tidak hanya bagi sesama manusia, tetapi juga bagi lingkungan dan seluruh semesta.
Meskipun ada upaya untuk mendefinisikan ini sebagai inner beauty untuk menyembunyikan definisi kecantikan yang rasialis, penting diingat bahwa kebaikan sejati jauh lebih berharga daripada sekadar penampilan. Jika kita merenung sejenak, sangat jarang perempuan dalam sejarah bangsa dan dunia ini dikenal hanya karena kecantikan versi kontes Miss Universe. Sejauh sejarah mencatat, individu-individu dengan kulit berwarna telah berperan penting dalam berbagai bidang masyarakat, termasuk seni, musik, ilmu pengetahuan, sastra, dan banyak lagi [mhg].
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.