Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Minhajuddin

Paradoksal Isu Lingkungan dan Pesta Politik Elektoral

Politik | 2023-08-04 14:38:19
Ilustrasi suhu bumi. sumber: Kompas.com

Saat masih bergabung di organisasi Greenpeace satu dekade silam, saya mengakses berita tentang degradasi lingkungan yang begitu mengkhawatirkan khususnya yang berada di wilayah Indonesia. Hutan Papua, Sumatera dan Kalimantan menjadi wilayah yang mengalami kerusakan parah karena eksploitasi yang sangat masif dari pihak korporasi. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut memang mengandung sumber daya alam yang sangat besar dan dalam area yang sangat luas.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Greenpeace Asia Tenggara tahun 2020 tentang laporan Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) bahwa sejak tahun 2015-2019, lahan yang terbakar di Indonesia mencapai 4,4 juta ha. Jumlah area yang terbakar jauh lebih luas jika dibandingkan dengan wilayah Belanda, bahkan yang lebih parahnya karena 18% dari area yang terbakar tersebut terjadi berulang kali, artinya bahwa ada tindakan kesengajaan dalam kejadian KARHULTA yang terjadi secara repetisi.

Jared Diamond dalam bukunya “Upheaval,” mengidentifikasi kemungkinan penyebab yang akan membahayakan masa depan bumi. Dia menyatakan bahwa ada empat masalah besar yang berpotensi membahayakan seluruh dunia secara katastropik. Perubahan iklim global merupakan salah satu dari empat identifikasi masalah yang disebutkan oleh Jared Diamond. Perubahan iklim global adalah isu internasional yang harus disikapi oleh seluruh negara karena tidak bisa dimitigasi secara parsial. Mulai dari masyarakat, pemerintah domestik, sampai pada rezim internasional.

Namun demikian, tentunya yang memiliki porsi paling besar adalah pejabat publik karena mereka memiliki otoritas dan semua instrumen untuk menghentikan eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam, tetapi pada kenyataannya terkadang secara laten, regulasi disusun sedemikian rupa untuk melegalisasi korporasi mengeruk sedalam-dalamnya semua sektor sumber daya alam.

Saya dan kita semua yang tidak punya jangkauan terhadap regulasi hanya bisa berharap semoga para elit politik menyisakan sedikit ruang untuk menyadari bumi ini inti kehidupan. Sehingga membuat sebuah regulasi untuk melakukan mitigasi terhadap keberlangsungan masa depan bumi. Jika tidak demikian, nantinya ketika bumi sudah tidak layak dihuni, maka koalisi partai, proyek politik, survei elektabilitas dan semua yang mereka kejar sudah tidak ada harganya lagi.

Ada sebagian kelompok manusia yang percaya bahwa sepeninggal mereka di muka bumi ini, maka alam akan bangkit lagi dan merekonstruksi dirinya sendiri untuk kehidupan manusia selanjutnya. Parahnya, sebagian politisi termasuk politisi Amerika Serikat menganggap bahwa isu perubahan iklim global adalah berita hoaks.

Demikianlah porsi isu lingkungan dalam narasi politik. Seberapa sering kita membaca dan mendengar para politisi mengangkat isu lingkungan dalam tahun politik saat ini?

Urgensi Isu Lingkungan

Bumi sudah tidak panas lagi, suhu tidak lagi membuat kita kepanasan. Benar, tidak lagi panas tetapi sudah membara dan membakar semua penghuninya. Sebanyak apapun penelitian tentang perubahan iklim global yang disodorkan ke hadapan para elit politik, namun tidak sedikit pun dari mereka untuk menjadikan isu lingkungan sebagai bidang yang mendesak untuk dimitigasi kerusakannya.

Laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat bahwa di bulan Juli 2023, rata-rata suhu permukaan bumi benar-benar menggila mencapai 16,95o C. Jauh lebih panas pada empat tahun yang silam yaitu pada tahun 2019 yang mencapai 16,63o C. Tentunya kita semua memahami kenapa di periode 2020-2022, suhu permukaan bumi tidak meningkat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar aktivitas manusia terhenti karena pandemi yang hadir menyeimbangkan kondisi bumi.

Di portal berita internasional, India dan China menjadi dua dari sekian negara yang sering diberitakan mengalami gelombang panas bahkan di India, korban gelombang panas terus bertambah. Sementara pada tanggal 16 Juli 2023 di China, suhu bahkan mencapai 52,2 o C. Bayangkan saja, di negara kita ketika suhu sudah melebihi di atas 30 o C, media sosial sudah dipenuhi sumpah serapah dan berbagai keluhan betapa panasnya bumi ini.

Pembakaran bahan bakar fosil merupakan sumber utama dari menggilanya suhu bumi dan emisi karbon yang memenuhi atmosfer bumi sudah melewati batas toleransi. Emisi karbon tersebut berasal dari eksploitasi masif batu bara, minyak bumi, semen, dan gas alam. Maka sudah jelas bahwa pejabat publik yang mempunyai porsi paling signifikan dalam menekan emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer dengan cara membuat regulasi yang ketat karena pihak korporasi tentunya tidak mempunyai pertimbangan keselamatan ekologis selama operasional yang mereka jalankan tidak melanggar aturan.

Pertumbuhan ekonomi menjadi isu paling mainstream yang selalu menjadi jualan andalan para politisi untuk memaksimalkan raihan suara dalam politik elektoral. Sementara di sisi yang lain, pertumbuhan ekonomi seringkali berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Isu lingkungan hanya dibahas secara formal ketika debat calon presiden dan jawaban para calon pun terkesan sangat normatif.

Menyelaraskan Politik dan Lingkungan, Mungkinkah?

Lingkungan benar-benar menjadi anak tiri di setiap sejarah kampanye politik di negeri ini. Lingkungan yang menghidupi kita tidak pernah menjadi sesuatu yang krusial dalam diskusi publik, pertimbangan kebijakan, serta suasana euforia menyambut pesta elektoral. Berita di media hanya dipenuhi intrik politik yang jauh dari isu-isu penting termasuk lingkungan.

Sambil menulis tulisan ini, saya mencari referensi di berbagai portal media online mengenai respon para elit politik yang akan bertarung dalam politik elektoral tentang isu lingkungan namun hasilnya nihil. Saya sama sekali tidak mendapatkan satu pun narasi dari para elit politik terkait lingkungan, jauh lebih heboh berita tentang Budiman Sudjatmiko yang tersenyum bahagia sedang bersalaman dengan Prabowo Subianto atau Rocky Gerung yang was-was karena sedang dilaporkan oleh barisan pendukung presiden Jokowi.

Sejatinya, politik seharusnya menjadi penopang keberlangsungan lingkungan untuk masa depan generasi, tetapi sayangnya, biaya politik yang sangat mahal membuat para elit politik mencari sumber pembiayaan politik dari berbagai aspek termasuk dalam hal eksploitasi lingkungan.

Jargon mengenai penyelamatan lingkungan seperti go green, Stop Global Warming, Green Politics, Save our Earth” dan berbagai jargon lain yang marketable, hanya digunakan dalam kampanye elektoral untuk menarik simpati pemilih, tetapi tidak ada usaha yang serius untuk benar-benar mewujudkan jargon yang sering dilontarkan seperti mendesain regulasi yang menguatkan masa depan lingkungan termasuk law enforcement untuk menindak para korporasi nakal yang melakukan pelanggaran hukum mengenai lingkungan.

Idealnya, politik dan masa depan lingkungan seharusnya menjadi dua bidang yang berjalan searah, artinya bahwa politik bisa menjadi perisai untuk menjaga masa depan lingkungan. Namun realitasnya, biaya politik elektoral yang sangat mahal menjadikan isu politik dan pelestarian lingkungan menjadi dua bidang yang paradoksal.

Menurut studi yang dilakukan oleh KPK bahwa pencalonan Kepala Daerah bisa mencapai sekitar 150 miliar sementara pemilihan legislatif membutuhkan dana sekitar 5 miliar. Dana-dana tersebut mencakup berbagai pembiayaan termasuk dana kampanye, dana untuk relawan, perlengkapan kampanye, dan dana lain untuk memaksimalkan perolehan suara elektoral.

Dari besarnya dana tersebut di atas, menimbulkan satu pertanyaan besar. Dari mana kantong dana yang diperoleh oleh para calon dalam membiayai mesin politik agar terus panas dan tidak kalah kompetitif dari pesaing?

Salah satu kantong dana liquid berasal dari pihak korporasi besar. Istilah yang sangat umum didengar adalah politik transaksional antara politisi dengan pihak korporasi. Temuan terbaru dari PPATK yang dikutip dari hasil riset Delly Ferdian, Yayasan Madani Berkelanjutan, mengindikasikan bahwa ada transaksi mencapai 45 triliun yang mengalir deras ke kantong rekening partai politik yang berasal dari tindakan ekosida. Dana tersebut ditengarai untuk membiaya ongkos politik elektoral 2024.

Menurut Arya Fernandes, pengamat politik Charta Politica, bahwa korporasi yang berada di balik partai politik memiliki beberapa pola antara lain donatur partai tunggal, menjadi donatur untuk beberapa partai politik, dan yang terakhir, beberapa pebisnis juga melahirkan partai politik sendiri. Realitas ini tentunya sangat mudah diidentifikasi dalam dinamika politik Indonesia dengan melakukan riset dan analisis terkait ketua umum partai dan sekaligus pihak-pihak yang berada di belakang partai politik.

Kondisi konfliktual antara kepentingan politik dan masa depan lingkungan yang kemudian menyisakan rasa pesimis bahwa luaran dari politik elektoral 2024 akan berpihak kepada kepentingan lingkungan. Hal tersebut pula yang menegaskan alasan kenapa narasi tentang lingkungan selalu tidak mendapat tempat dari kampanye politik karena para politisi harus mengeluarkan energi yang ekstra untuk merespon isu degradasi lingkungan.

Mereka menyadari cash flow paling lancar berasal dari korporasi-korporasi yang memiliki kepentingan dalam hal eksploitasi sumber daya alam yang seringkali menjadi sumber ekosida dan sangat dekat dengan pelanggaran regulasi mengenai lingkungan. Setelah memahami relasi antara isu lingkungan, pihak korporasi dan para politisi, maka kita bisa membayangkan seperti apa masa depan lingkungan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image