Hukum Pemberian Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah
Pendidikan dan Literasi | 2023-07-31 05:38:24Nama : Ismi Hidayah
NIM : 42201037
# Implementasi fatwa DSN MUI tentang BONUS
Fatwa DSN MUI No.86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Pemberian Hadiah promosi yang diberikan lembaga keuangan syariah (LKS) kepada nasabah harus dalam bentuk barang atau jasa, tidak boleh dalam bentuk uang, hadiah promosi yang diberikan LKS harus berupa benda yang wujudnya, baik wujud haqiqi maupun wujud hukmi, hadiah promosi yang di berikan oleh LKS harus berupa benda yang mubah/halal, hadiah promosi yang di berikan oleh LKS harus milik LKS yang bersangkutan, bukan milik nasabah, dalam hal akad penyimpanan dana adalah akad wadiah, maka hadiah promosi diberikan oleh LKS sebelum terjadinya akad wadiah, LKS berhak menetapkan syarat-syarat kepada penerima hadiah selama syarat-syarat tersebut tidak menjurus kepada praktik riba, dalam hal penerimaan hadiah ingkar terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan oleh LKS, penerima hadiah harus mengembalikan hadiah yang telah diterimanya, kebijakan pemberian hadiah promosi dan hadiah atas dana pihak ketiga oleh LKS 11 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta:Kencana, 2013), h 74. 96 harus diatur dalam peraturan internal LKS setelah memperhatikan pertimbangan Dewan Pengawas Syariah, pihak otoritas harus melakukan pengawasan terhadap kebijakan lembaga keuangan syariah terkait pemberian hadiah promosi dan hadiah dana pihak ketiga kepada nasabah, berikut operasionalnya.
Pada zaman sekarang banyak produk tabungan secara skrtis merupakan gabungan antara tabungan dan deposito. Yaitu produk tabungan berencana yang biasa di pakai oleh keluarga untuk tabungan anaknya di masa depan atau di masa yang akan datang.
Al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dan merupakan perjajian yang bersifat “saling percaya” atau dilakukan atas dari kepercayaan semata. Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus di jaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendaknya. Berkaitan dengan produk tabungan wadiah, bank syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamana. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang menutupi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut.
Mengingat wadiah yad-dhamanah ini mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagi hasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak diisyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan Bank Syariah semata yang bersifat sukarela.
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak akan di berikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.20 Allah Swt memberitahu bahwa dia memerintahkan hambahamba-Nya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Dunia perbankan prinsip wadiah yad-dhamana biasa diterapkan untuk produk giro serta tabungan, karena bagi produk giro dalam bank tidak menjanjikan adanya bagi hasil kepada nasabah di awal, namun bank di perkenankan untuk memberikan bonus kepada nasabah yang besarannya tidak ditentukan diawal, tergantung kepada kebijaksanaan dan keputusan dari bank dalam menentukan besaran bonusnya. Bonus yang diberikan bank kepada nasabah bersifat sukarela. Nasabah dalam hal ini tidak bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
# Implementasi fatwa DSN MUI tentang DENDA ANGSURAN/CICILAN
Khusus pada pembiayaan kepemilikan rumah Bank Syariah memiliki berbagai sistem akad diantaranya akad jual beli (Murabahah), akad Istishna dan penyertaan (Musyarakah Mutanaqishah). Pada akad Murabahah (jual beli) sistem pelaksanaanya dilaksanakan dengan berbagai cara, yaitu dapat berupa uang tunai setelah menerima barang, dapat juga ditangguhkan dengan angsuran (cicilan) setelah proses penerimaan barang. Pada istishna yaitu jual beli yang barangnya dibayar berdasarkan kesepakatan.
Barang diberikan kemudian, karena harus dibuat terelbih dahulu, Akad istishna ini lebih tepat digunakan untuk membangun proyek, dan termasuk dalam jenis pembiayaan investasi Sedangkan untuk pembiayaan dengan menggunakan akad Musyarakah Mutanaqishah sendiri adalah suatu akad atau perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu kegiatan, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Adapun perbedaan akad murabahah dan Musyarakah Muatanqishah yaitu Pertama, dari sisi Kontrak. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah ada dua kontrak utama yang terpisah : musyarakah dan ijarah. Dalam ijarah ada beberapa turunan akad yang dicantumkan, nisbah bagi hasil, wakalah dan ba’i taqsit (jual bertahap) sedangkan dalam akad murabahah hanya berlaku konsep murabahah saja.
Kedua, Hubungan antara Harga Jual dan Harga Pasar. Didalam Musyarakah Mutanaqishah selalu memfleksikan harga pasar dan harga sewa juga ditentukan dari harga sewa pasar sedangkan dalam murabahah tidak menfleksikan harga pasar yang dapat berubah, karena harga sudah tetap sampai jangka waktu tertentu. Manjemen Risiko Likuiditas. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah risiko lebih dihindarkan. Hal ini berbeda dengan murabahah dimana manajemen risikonya menjadi tidak fleksibel karena konstan.
Akad Musyarakah Mutanaqishah ini merupakan salah satu produk Perbankan Syariah yang memiliki peluang untuk digunakan secara luas karena produk ini merupakan alternatif dari produk murabahah yang telah digunakan secara dominan di perbankan syariah seluruh dunia. Dan dapat menjadi jalan keluar dalam pembiayaan perumahan selain untuk menghindari kredit pemilikan rumah, yang cenderung berbiaya mahal akibat bunga dalam jangka panjang,
Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset (barang) atau modal. Ahli syariah juga sepakat bahwa Musyarakah Mutanaqishah adalah implementasi terbaik untuk pembiayaan kepemilikan rumah atau mesin dimana kedua aset ini dapat disewakan sesuai kesepakatan sewa. Kepemilkan bersama atas rumah atau aset diperbolehkan oleh semua sekolah fiqh karena pemberi pembiayaan menjual porsinya kepada nasabah atau klien.
Menurut fatwa DSN MUI No.73 tahun 2008, diberlakukan adanya akad turunan dari musyarakah, yakni akad Musyarakah Mutanaqishah. Musyarakah Mutanaqishah yang dikenal dengan istilah MMQ adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau aset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.
Dari definisi pemahaman tersebut, konsep akad Musyarakah Mutanaqishah dijadikan sebuah konsep dalam pembiayaan perbankan syariah, yaitu kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang yang mana aset tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut.
Selanjutnya pihak nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal atau dana yang dimiliki oleh bank syariah. Jumlah modal bank syariah semakin lama semakin kecil, berbanding terbalik dengan jumlah modal nasabah yang semakin bertambah karena pembayaran angsuran pada setiap bulan. Pada akhir masa pembiayaan, jumlah modal bank telah diambil alih 100% oleh nasabah sehingga kepemilikan atas rumah dialihkan menjadi atas nama nasabah. Jadi dalam hal ini perpindahan kepemilikan dari porsi Bank Syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran setiap bulannya.
# Implementasi fatwa DSN MUI tentang SHARF
Uang dalam pandangan Islam bukanlah komoditas dan tidak boleh dijadikan sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas uang telah dijadikan komoditas perdagangan. Islam sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran. Salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu adalah barter, dimana barang saling dipertukarkan.
Jasa pertukaran valuta asing dalam perbankan syariah tentu harus sesuai dengan prinsip syariah. Layanan transaksi pertukaran valas dalam perbankan syariah bernama Al-Sharf atau menggunakan akad sharf. Di bank syariah, transaksi valas pun harus memenuhi prinsip pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan tidak mengandung unsur spekulasi. Pada tahun 2002, muncul Fatwa DSN-MUI nomor 28 tahun 2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Ash Sharf) yang membolehkan praktik jual beli mata uang (Ash Sharf) dengan syarat-syarat tertentu. Dalam konteks Indonesia, MUI adalah suatu institusi yang memberikan fatwa hukum Islam (Pasaribu, 1994)
Penelitian ini akan merumuskan bagaimana mekanisme jual beli mata uang secara syari‟ah (Ash-Sharf) yang sesuai dengan fatwa DSN-MUI dan mekanisme Islamic Hedging atas nilai tukar yang terjadi akibat resiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui mekanisme jual beli valuta asing syari‟ah (Ash-Sharf) menurut fatwa DSN-MUI dan kesesuaiannya dengan prinsip muamalah dalam islam. Dari penjelasan penjelasan tersebut maka peneliti akan mengambil tema “Analisis Mekanisme Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) Menurut Fatwa DSNMUI No. 28/MUI/III/2002.
Ash-Sharf secara bahasa berarti Al-Ziyadah (tambahan) dan Al'adl (seimbang). Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang berarti membayar dengan penambahan. Istilah fiqh dalam kamus ..:: Malia: Jurnal Ekonomi Islam Vol. 12 No. 2, June 2021 ::.. 140 | Analisis Mekanisme Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) ... disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas). Menurut istilah fiqh, Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai. Seperti memperjual belikan emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis (Amrin, 2006).
Secara terminologis ada dua macam pengertian yang dapat disimpulkan, antara lain pengertian al-bay„ secara khusus (al-bay‘ almutlaq) dan al-bay„ secara umum (mutlaq al-bay„). Pengertian al-bay„ secara umum menurut ulama Hanafîyah sama dengan pengertian etimologis hanya saja dengan menambahi al-tarâdhî (sukarela) untuk definisi terminologinya, yaitu transaksi tukar-menukar harta yang dilakukan secara saling sukarela. Sedangkan ulama Mâlikîyah mendefinisikan al-bay„ sebagai transaski ganti-mengganti yang bukan hanya untuk memanfaatkan suatu hal atau mendapatkan kesenangan semata.
Jual beli mata uang dalam fiqih kontemporer disebut dengan istilah tijarah an-naqd atau al-ittijaar bi al-umlat. Dalam kitab-kitab fiqih disebut alsharf. Definisi Al-Sharf menurut Abdurrahman al-Maliki adalah pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenisnya dengan kuantitas yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dengan kuantitas yang sama ataupun tidak sama. Karena mata uang sekarang dianggap sama dengan emas dan perak, maka Rawwas Qa‟ahjie mendefinisikannya secara umum, yaitu pertukaran uang dengan uang.
Perdagangan yang terjadi di pasar valuta asing atau yang disingkat valas, merupakan suatu perdagangan atau transaksi yang memperjual belikan mata uang suatu Negara terhadap mata uang Negara lainnya yang melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia selama 24 jam secara berkesinambungan. Dari Wikipedia Indonesia, pergerakan pasar valuta asing berputar mulai dari pasar.
Pasar valuta asing dijelaskan bahwa semua kegiatan bisnis internasional memerlukan transfer uang dari satu negara ke negara lain sebagai contoh, suatu perusahaan multinasional AS yang mendirikan pabrik di Inggris, pada akhir tahun buku selalu ingin mentransfer laba yang diperoleh dari usahanya di Inggris (dalam bentuk Poundsterling) ke kantor pusatnya di AS (dalam bentuk USD) maka untuk mengkonversikan mata uang Poundsterling Inggris ke dalam US Dolar diperlukan adanya pasar valas.
Ketentuan umum tentang seputar kegiatan transaksi jual-beli valuta asing berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Sharf pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut (Hajar, 2011):
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan AlQur‟an, sunnah dan ijma “ulama”. Jual beli sebagai saling tolong menolong antara sesama manusian mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.
Fatwa adalah salah satu produk pemikiran hukum Islam. Menurut Atho‟ Mudzhar ada dua pihak yang senantiasa aktif melaksanakan tugas pengembangan dan penerapan hukum Islam (ijtihad) yaitu para mufti (pemberi fatwa) dan qadli (hakim). Fatwa memiliki kekuatan hukum mengikat para penerima fatwa, sedangkan keputusan hakim mengikat para pihak yang diputus.
Tugas DSN MUI yaitu Menumbuh kembangkan penerapan nilainilai syari'ah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. Mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan keuangan serta Mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan keuangan. Dan mengawasi penetapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Fatwa DSN MUI No. 28/MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data utama yaitu melihat pada fatwa DSN-MUI No. 28/MUI/III/2002 terkait Jual Beli Mata Uang (ash-Sarf). Fatwa DSN sendiri merupakan lembaga yang dipayungi oleh MUI, yang secara khusus menangani kegiatan perekonomian islam di Indonesia, tidak diragukan lagi, bahwa lembaga ini menjadi acuan lembaga keuangan syari‟ah pada umumnya. Oleh sebab itu peneliti memilih lembaga DSN-MUI sebagai data utama atau primer dan juga berkaitan dengan judul yang sudah ditulis. Pada lembaga ini mempunyai situs web, sehingga kita bisa melihat secara langsung profil lembaga serta dapat melihat secara keseluruhan mengenai lembaga Dewan Syari‟ah Nasional, sepertihalnya fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan, surat keputusan, pedoman implementasi dan banyak lagi (Sabiq, 2006).
Adapun ketentuan-ketentuan umum fatwa DSN-MUI No. 28/MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang, sebagai berikut (Hamzah, 1992):
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing (Syakir, 2004):
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.