Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Apakah Mungkin Neoliberalisme Bisa Melawan Korupsi?

Politik | Friday, 21 Jul 2023, 03:20 WIB

Makin hari semakin banyak intelektual, termasuk intelektual "kiri" sekalipun, yang terbuai oleh mimpi bahwa “neoliberalisme akan memerangi korupsi”. Karena neoliberalisme memang mengutuk “kapitalisme kroni”, sekaligus menyimpulkan bahwa intervensi negara dan regulasi ekonomi sangat rawan dengan korupsi, maka berkuasalah sebuah hegemoni yang sangat kuat: “clean goverment” dan “good governance”.

Akan tetapi, tatkala rezim neoliberal yang silih berganti tidak berhasil menjinakkan korupsi, bahkan semakin menjadi-jadi bak letupan petasan, maka para intelektual itu seperti kehilangan pegangan dan tidak sedikit yang goyah imannya. Di era kepemimpinan Presiden Jokowi, yang kemana-mana selalu menjual isu anti-korupsi lewat Gerakan "Revolusi Mental" Ala Dirinya, jumlah korupsinya hampir mencapai 13-an Kasus.

Sebut saja dua diantaranya, yaitu kasus BTS Kemenkominfo dan kasus bansos Covid-19, yang mana keduanya menohok langsung pada kekuasaan. Kasus BTS menyeret langsung nama Johnny G Plate dan Menpora Yang Baru. Sedangkan kasus bansos Covid-19, justru menyeret Menteri Sosial yang juga Kader Partai Berkuasa tahun 2021.

Baiklah, kita akan kembali pada soal salah faham, bahwa neoliberalisme memusuhi korupsi, karena neoliberalisme menentang kapitalisme kroni. Apakah benar neoliberalisme akan menghilangkan korupsi dan kapitalisme kroni?

Pertama, neoliberalisme menghancurkan ekonomi produktif negara-negara dunia ketiga, bukan saja ekonomi kecil seperti usaha mikro, menengah, dan kecil (UMKM), tetapi juga usaha-usaha industri besar yang dimotori kapitalis nasional dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan menghancurkan ekonomi produktif seperti ini, neoliberalisme telah menghilangkan ruang untuk akumulasi. Ketika neoliberalisme menghancurkan dua pilar ekonomi, yaitu industri dan pertanian, maka sudah tidak ada ruang untuk akumulasi.

Dulu, Pramoedya Ananta Toer, Legenda Seni Indonesia punya kesimpulan mengenai penyebab korupsi yang sangat tepat, dengan berkata: “Korupsi adalah karena tidak seimbangnya antara produksi dan konsumsi.” Dengan ketiadaan ruang untuk akumulasi, sementara orang terus dipacu untuk melakukan konsumsi, maka pilihannya adalah melakukan korupsi.

Kedua, dengan dalih mengurangi kemungkinan kapitalis kroni merampok keuangan negara, neoliberalisme justru memperbesar peran swasta untuk mencuri uang negara dengan cara-cara legal, seperti insentif pajak, bailout, bonus, dan lain sebagainya.

Jadi, apa yang terjadi antara kapitalisme kroni dan neoliberal hanyalah perebutan makanan di periuk, tidak lebih dari itu. Jadi, jika kaum neoliberal berpropaganda mengenai perlawanan terhadap korupsi, maka maksud mereka itu adalah supaya uang tidak dimakan oleh pejabat negara tetapi harusnya swasta.

Ketiga, begitu kaum profesional dan teknokrat ditampung di dalam birokrasi, maka makna reformasi birokrasi selalu dipersempit sekedar “remunerasi”, atau soal penggajian. Tidak pernah reformasi birokrasi itu dimaknai sebagai penggantian birokrasi lama dengan yang baru, atau pergantian mental birokrat lama dengan yang baru, Jadi Kapitalis Birokrat (Kabir) itu tetap ada dimana mana.

Seperti yang terjadi dalam setiap proyek, neoliberalisme juga penuh dengan korupsi, kontradiksi, penggelapan, dan penyimpangan dari rancangannya sendiri. Neoliberalisme mencanangkan kesamaan, tetapi segera membatalkannya dengan ketidaksamaan daya beli.

Dengan demikian, anda jangan pernah bermimpi bahwa rezim neoliberal akan menciptakan pemerintahan bersih, apalagi akan bebas dari korupsi. Sejatinya, neoliberalisme dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah sistim perampokan, termasuk merampok keuangan negara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image