Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syaeful Cahyadi

Final Piala AFF: Nasionalisme, Sepak Bola, dan Masalah Kita

Olahraga | 2021-12-28 10:54:08
Tim nasional Indonesia. Sumber gambar: https://www.google.com/search?q=republika+piala+AFF+2020&sxsrf=AOaemvICaYSz2h_LsmSQpb2EHhBQ9F8qDQ:1640663369765&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiazuaqy4X1AhX4TmwGHSe_AmcQ_AUoAnoECAEQBA&biw=1536&bih=754&dpr=1.25#imgrc=VPVVxir5IXkLsM


Nasionalisme alias rasa cinta tanah air tentu saja hal penting. Namun, dengan penggunaan yang tidak tepat, ia bisa melahirkan hal-hal menyebalkan. Dari yang paling ekstrim seperti etno-nasionalisme hingga hal-hal kecil nan menyebalkan. Salah satu contohnya bisa ditemukan di berbagai pertandingan sepak bola yang melibatkan tim nasional Indonesia, termasuk pertandingan antara timnas Indonesia lawan Singapura pada 25 Desember 2021.

Seperti namanya, komentator punya tugas memberikan komentar atas jalannya pertandingan. Ia akan menyebutkan nama pemain yang sedang menggiring bola, teknis yang dilakukan, dan kadang dengan statistik lain terkait pertandingan. Ada kalanya mereka akan mengeluarkan ekspresi-ekspresi saat gol dicetak atau sebuah tendangan secara dramatis menyentuh mistar.

Namun, hal berbeda akan terjadi jika seorang komentator menempatkan ego nasionalismenya tatkala bertugas. Secara sederhana, jalannya pertandingan akan terasa lebih ramai (untuk tidak menyebutnya ribut). Bukan ramai karena ulah pendukung atau bentrokan pemain versus tapi karena suara si komentator itu sendiri.

Menyoal hal ini, beberapa warganet bahkan punya tips khusus: menonton pertandingan dengan mengecilkan volume perangkat.

***

Saya memang bukan penggemar olahraga sepakbola. Namun, sejak dahulu, ketika timnas bermain maka saya sempatkan untuk menonton. Ada rasa tersendiri saat melihat squad merah putih bertanding. Termasuk, ketika garuda muda bertanding melawan Singapura. Dari sekian banyak pertandingan yang pernah saksikan, kebanyakan memang berjalan dengan sangat ‘ramai’. Jarang ada komentator yang mengawal pertandingan dengan santai sebagaimana para komentator luar negeri.

Hal itu juga kembali saya temui di pertandingan putaran kedua semifinal piala AFF 2020 antara Indonesia versus Singapura. Dalam banyak kesempatan, sang komentator menjadi begitu bersemangat. Ini terutama ketika Indonesia berhasil melancarkan serangan, tendangan, atau gol. Namun, hal sebaliknya terjadi ketika Singapura melakukan hal serupa. Mereka akan bersuara dengan volume suara rendah dan cenderung kurang bersemangat.

Salah satu momen yang sangat saya ingat adalah ketika ada pemain Singapura tidak sengaja melakukan gol bunuh diri. Satu komentator sudah berteriak kegirangan karena itu membuat tim Indonesia unggul. “Sepertinya gol bunuh diri, Bung,” dan si partner menimpali dengan santai “Apapun itu, Bung ”

Ini belum termasuk ungkapan-ungkapan kurang penting yang mudah ditemukan sepanjang pertandingan. Salah satu yang saya ingat adalah ucapan terima kasih si komentator pada ibu kandung pemain yang mencetak gol. Sekilas, perkataan itu mengingatkan saya pada gaya para politisi saat ikut meramaikan suatu pertandingan yang melibatkan tim Indonesia.

Alih-alih melihat seorang komentator sepak bola professional, saya malah melihatnya seperti seorang fans garis keras timnas Indonesia. Di balik semua itu, saya tentu saja yakin jika dia memang menginginkan Indonesia menang. Tapi, keinginan dan gelora nasionalisme rasanya malah membuatnya kehilangan profesionalisme sebagai seorang komentator pertandingan sepak bola.

Pandangan ini bisa jadi benar atau salah. Pertama, sebagai komentator memang ia bertugas mengomentari. Namun, komentar seperti apa yang dibutuhkan? Apakah sekadar berteriak kegirangan saat tim kesayangan mencetak gol lalu meng-hadeh saat musuh menyerang dan mencetak gol? Atau ada hal lain yang sejatinya bisa ia berikan sebagai seorang komentator?

Jika memang komentator hanya sekadar memberikan komentar bombastis, maka rasanya banyak orang bisa menjalani profesi ini. Tetangga saya yang sering nobar di pos ronda sangat jago melakukan ini – dengan berbagai ungkapan lucu, nggapleki, dan kadang menjengkelkan tatkala tim kesayangannya diserang.

Atau, hal kedua, komentator juga ada demi sebuah unsur pendidikan kepada para penonton. Tentang statistika pertandingan, tentang teknik dan taktik yang digunakan kedua tim. Serta, bagaimana si komentator memposisikan adil selama mengawal pertandingan. Bagaimana, misalnya, sang komentator menjabarkan gol musuh dan cantiknya tendangan yang dilontarkan sang pemain.

***

Sejatinya, ada banyak hal yang mendasari hal itu terjadi. Entah karena hasrat yang menggebu atau memang nasionalisme yang digunakan tidak tepat waktu. Apapun itu, profesionalitas dan keberimbangan rasanya adalah hal penting dalam industri media. Adalah hal penting bagi media untuk menjalankan salah satu tugasnya untuk mencerdaskan atau sekadar bermain di ranah serba bombastis demi kebutuhannya sendiri.

Nasionalisme memang penting. Tapi, tanpa manajemen yang baik, nasionalisme akan berubah menjadi buah simalakama bagi masyarakatnya. Sudah sering kita menyaksikan ini. Akun Instagram pemain Singapura yang didatangi para warganet Indonesia adalah salah satu contohnya. Atau, beberapa orang yang masih punya hobi menghujat tim negara lawan.

Itu semua, bagi saya, adalah contoh kala nasionalisme datang tidak tepat waktu dan semakin memperkaya masalah kita dalam industri sepak bola dalam negeri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image