Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deandra Salsabila

Mengapa Jumlah Jurnalis Perempuan di Indonesia Sedikit?

Eduaksi | Tuesday, 28 Dec 2021, 09:52 WIB
Ilustrasi jurnalis perempuan (iStock)

Media massa menjadi sarana komunikasi serta informasi yang memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah berfungsi menjadi penyebar informasi kepada massa sehingga dapat digunakan masyarakat dengan massal. Selain itu, media massa menjadi instrumen penting guna menyampaikan pemberitahuan, membangun persepsi, dan membentuk sikap masyarakat mengenai pemberitahuan yang disampaikan. Media turut berperan dalam membentuk pola pemikiran masyarakat.

Di dalam sebuah media, terdapat struktur redaksi guna membuat media tersebut bertahan. Struktur redaksi tersebut biasanya terdiri dari perempuan dan laki-laki. Namun, jajaran redaksi dari kebanyakan media cenderung ditempati oleh laki-laki. Perempuan lebih sering ditempatkan dalam bagian administratif. Perempuan jarang ditempatkan dalam struktur redaksi seperti pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana.

Minimnya Jumlah Jurnalis Perempuan

Jumlah jurnalis perempuan di Indonesia pun terhitung masih lebih sedikit dibandingkan jurnalis laki-laki. Hal ini terbukti dalam hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2012. Hasil penelitian menunjukkan hanya terdapat 2 sampai 3 jurnalis perempuan di beberapa daerah dan hanya 6% yang memiliki jabatan sebagai petinggi redaksi media (Luviana, 2012: 10). Maka, terdapat 94% jurnalis perempuan yang bekerja hanya sebagai reporter. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan untuk redaksi.

Hampir sembilan tahun berlalu, kedudukan perempuan dalam profesi jurnalis ternyata masih minim. Data menunjukkan, 2 dari 10 adalah jurnalis wanita atau 200 dari 1000 jurnalis adalah wanita dan sisa jumlahnya merupakan laki-laki. Jakarta merupakan satu-satunya kota yang memiliki komposisi 40:60 untuk perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Di kota lain, terutama di kota ukuran menengah, ketidakseimbangannya nyata ditampilkan, sehingga menimbulkan kekhawatiran.

Stereotip jika jurnalis merupakan pekerjaan yang keras dan berat masih hadir di kalangan masyarakat. Stereotip tersebut membuat pekerjaan jurnalis kerap dikaitkan dengan seorang laki-laki. Banyak lingkungan yang menganggap jika perempuan merupakan sosok yang lebih lemah dibanding laki-laki sehingga mereka kurang dipercaya untuk mengerjakan pekerjaan sebagai jurnalis yang sering dianggap dapat mengancam nyawa.

Stereotip tersebut turut memberikan dampak akan hadirnya diskriminasi perlakuan kerja terhadap jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan kerap mendapatkan diskriminasi perlakuan kerja. Dalam industri media, banyak ditemukan adanya ketimpangan dan diskriminasi yang jurnalis perempuan terima selama ia bekerja, baik ketika melaksanakan tugas atau melalui aturan yang berlaku dalam perusahaan media. Liputan yang dianggap membahayakan nyawa, seperti demo dan bencana akan diberikan kepada jurnalis laki-laki. Hal tersebut merupakan salah satu bukti adanya diskriminasi pemberian tugas kepada jurnalis perempuan.

Media massa yang memiliki jargon kebebasan terbukti masih belum bebas dari semangat patriarki. Semangat patriarki tersebut memberikan keterlibatan terhadap kebijakan redaksional, baik disengaja atau tidak. Dalam menjalankan profesi yang terletak di male dominated route, maka jurnalis perempuan perlu memberi bukti jika mereka memiliki kemampuan tiga kali lipat dibandingkan jurnalis laki-laki.

Peran Konsep Gender

Berbicara tentang konsep gender, hal ini berbeda dengan apa yang dinamakan seks. Gender berfungsi menentukan perbedaan laki laki dan perempuan yang terlihat secara sosial atau kultural. Sifat gender pun masih mungkin ditukarkan. Gender berbeda halnya dengan seks yang tidak mungkin dipertukarkan. Hal tersebut berdasarkan kodrat Tuhan dan memiliki kaitan bersama dua jenis kelamin manusia yang sudah didapatkan secara biologis dan erat kaitannya dengan jenis kelamin tertentu (Fakih, 2013).

Konsep gender tersebut membuat anggapan jika perempuan merupakan sosok lemah cantik, lembut, keibuan, emosional dan lainnya. Sedangkan, laki-laki memiliki anggapan jika ia merupakan sosok yang perkasa, rasional dan kuat. Namun, sifat tersebut tidak mutlak. Hal ini karena terdapat perempuan yang justru kuat dan rasional dan terdapat juga laki-laki yang justru emosional dan bersikap lemah lembut. Sifat dari perempuan dan laki-laki ini mampu berbeda dari waktu ke waktu, menyesuaikan tempat serta kelas masyarakat (Fakih, 2013).

Bentuk diskriminasi gender yang diperlakukan kepada jurnalis perempuan dapat terlihat melalui tiga hal. Pertama adalah indikator hasil penelitian AJI dalam buku berjudul “Jejak Jurnalis Perempuan”. Buku tersebut menyebutkan jika pelaksanaan hak yang seharusnya diterima oleh jurnalis perempuan kurang dari 50%, yaitu adanya tunjangan transportasi malam, cuti karena haid, manajemen laktasi, disediakannya ruang menyusui, dan disediakannya ruang penitipan anak.

Bentuk diskriminasi gender kedua adalah jenjang karier lebih baik yang terhalang karena memiliki anak atau sudah menikah. Penempatan jurnalis perempuan di media selalu berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan jurnalis laki-laki. Salah satu alasannya adalah karena status marital seseorang yang sedikit banyak dianggap mempengaruhi kinerja.

Bentuk diskriminasi gender terakhir adalah kasus pelecehan seksual. Hasil penelitian menunjukkan jika 14 persen dari 189 jurnalis perempuan di Indonesia mendapatkan pelecehan seksual. Pelecehan seksual tersebut dapat berupa bentuk godaan, ajakan untuk kencan, hingga sentuhan fisik. Hal ini dapat terjadi pada ketika bertugas di lapangan oleh narasumber liputan atau justru atasan sendiri di lingkungan kerja.

Padahal, sudah ada peraturan yang mengatur dan melindungi hak-hak yang seharusnya didapatkan jurnalis perempuan. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 81 ayat (1) telah mengatur mengenai pemberian hak cuti haid selama satu atau selama dua hari, serta pasal 82 ayat (1) di mana perusahaan dapat memberikan jatah cuti selama 1,5 bulan sebelum anak dilahirkan juga 1,5 bulan setelah melahirkan.

Ketersediaannya ruang laktasi juga sudah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2013. Peraturan tersebut menyebutkan jika tempat kerja harus memberikan tempat atau fasilitas khusus menyusui atau memerah ASI. Selanjutnya, untuk pelecehan seksual, sudah diatur dalam peraturan Dewan Pers Nomor:05/Peraturan-DP/IV/2008 yang memberi jaminan mengenai standar perlindungan jurnalis. Seorang wartawan saat menjalani tugas jurnalistik, dapat dilindungi dari tindakan kekerasan, penyitaan, dan perampasan alat-alat kerja.

Namun, bentuk diskriminasi kedua tentang jenjang karier memang terhambat. Hal ini disebabkan masih banyak media yang memakai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 31 ayat (3) untuk urusan pengupahan pekerja perempuan. UU ini mengemukakan jika suami merupakan kepala keluarga dan istri merupakan ibu rumah tangga. UU tersebut tak jarang diimplementasikan kepada pekerja perempuan berhubungan dengan tunjangan keluarga yang diberikan meski pekerja perempuan tersebut adalah sosok kepala keluarga.

Di balik adanya diskriminasi gender terhadap jurnalis perempuan, penelitian yang dilakukan Remotivi pada 10 juli 2021, menunjukkan jika ketertarikan mahasiswi ilmu komunikasi yang ingin bekerja menjadi jurnalis hanya sebesar 30.2 persen. Hasil penelitian ini mengungkapkan jika mayoritas mahasiswi memang tidak tertarik dengan profesi jurnalis. Penelitian ini juga mengungkap salah satu alasan mengapa jurnalis perempuan di Indonesia masih minim, yaitu karena memang dari individu mahasiswi jurnalistik itu sendiri tidak ingin menjalani masa depan sebagai seorang jurnalis.

Seharusnya, sebagai sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat jurnalis perempuan serta jurnalis laki-laki, perusahaan media dapat memakai kebijakan agar para pekerja menjunjung tinggi prinsip kesetaraan gender agar tidak terjadi diskriminasi berdasarkan gender di antara para pekerjanya. Diskriminasi gender yang sering dialami jurnalis perempuan di media menjadi bukti, jika perbedaan gender masih menjadi penyebab terdapatnya perlakuan yang tidak sama dalam sistem tatanan kerja perusahaan media.

Sekali lagi, minimnya jumlah jurnalis perempuan di Indonesia menjadi sebuah keadaan yang genting dalam negeri ini. Terlepas dari kebenaran jika jurnalis memang pekerjaan yang cukup berat dan dapat membahayakan nyawa, hal tersebut bukan alasan yang kuat untuk terus menormalisasikan ketimpangan gender. Jika terus dibiarkan, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia bisa saja semakin menurun.

Zaman sekarang jika kita amati, kebanyakan orang terutama anak muda akan menyebutkan Najwa Shihab ketika ditanya siapa jurnalis perempuan yang ia ketahui. Apakah mereka mengenal sosok Rosianna Silalahi sebagai Pemimpin Redaksi Kompas TV atau Titin Rosmasari sebagai Pemimpin Redaksi Trans 7? Mungkin sebagian besar tidak mengenal sosok hebat tersebut.

Padahal, hal tersebut menjadi bukti jika sebenarnya ada jurnalis perempuan hebat yang dapat menjadi sosok pemimpin. Namun, masyarakat masih menutup matanya. Mereka masih tenggelam dalam stereotip jika jurnalis merupakan pekerjaan yang tercipta untuk laki-laki.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image