Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Intan Nurindah Cahyani, EP UIN Jakarta

Pengaruh Kebijakan Pajak Karbon terhadap Pola Perilaku Industri

Edukasi | Sunday, 02 Jul 2023, 23:12 WIB

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifatnya memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan sumber pendapatan negara, di mana pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Hal ini termaktub dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan undang-undang.

Pajak terbagi menjadi dua, ada pajak pusat dan pajak daerah. Adapun pajak karbon termasuk ke dalam pajak pusat yang merupakan implentasi turunan dari konsep Pigouvian tax atau pajak yang dikenakan atas aktivitas perekonomian yang menyebabkan eksternalitas negatif. Pigouvian tax ini ditujukan sebagai kebijakan yang memaksa pihak pencemar lingkungan untuk menanggung biaya atas perbuatan pencemaran yang dilakukannya.

Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas adanya pembakaran bahan bakar karbon seperti batubara, produk olahan minyak bumi, dan gas bumi. Pajak karbon merupakan strategi yang dilakukan oleh pemerintah agar pengguna bahan bakar karbon dapat mengurangi dan menghilangkan penggunaan bahan bakal fosil di mana pembakarannya dapat merusak iklim karena pelepasan karbon dioksida ke atmosfer.

Aktivitas industri yang merusak iklim

Dalam kurun waktu singkat tanpa disertai adanya insentif yang cukup kuat seperti pajak karbon, maka sistem energi berbasis bahan bakar tidak dapat bertransformasi. Jika pembakaran bahan bakar fosil termasuk dalam bentuk energi termurah, Indonesia akan tetap enggan untuk mengadopsi energi terbaharukan.

Adanya pajak karbon tentunya akan membebankan biaya tambahan pada harga dari bahan bakar fosil tersebut yang selanjutnya dapat memotivasi adanya peralihan energi fosil ke energi terbaharukan karena dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi jika Indonesia beralih dari bahan bakar fosil ke bahan bakar non karbon dan energi terbarukan. Disamping itu dengan adanya pajak karbon dapat mempengaruhi sektor lain yang mendesak seperti sektor transportasi, kesehatan, pendidikan, dan industri hijau.

Jika kita merujuk pada International Bureau of Fiscal Documentation International Tax Glossary, pajak karbon didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan sebagai pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil dan ditujukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang diiringi dengan adanya penurunan polusi udara dan juga mencegah terjadinya perubahan iklim. Selain itu, sebagaimana pajak pada umumnya, pajak karbon juga dapat dijadikan sebagai sumber tambahan dari penerimaan negara.

Apabila kita meninjau secara keseluruhan, pajak karbon dapat diinterpretasikan sebagai instrument untuk menginternalisasi biaya eksternal yang timbul akibat pemakaian bahan bakar fosil yang bisa menghasilkan dampak buruk berupa kerusakan lingkungan, dengan menambahkan biaya pada harga atas aktivitas terkait. Maka dari itu, pengenaan pajak karbon dapat dijadikan sebagai suatu langkah mitigasi yang cukup efektif dalam rangka mengurangi emisi karbon. Diproyeksikan Pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi senilai Rp23,651 triliun di tahun 2025 atas pemberlakuan pajak karbon.

Pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang di dalamnya salah satunya mengatur mengenai pajak karbon. Pada tanggal 1 April 2022 pajak karbon di Indonesia mulai diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Tarif tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan apa yang tertera dalam draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), yaitu sebesar Rp75 per kilogram CO2e.

Namun, tarif saat ini yaitu Rp30/kg CO2e dinilai masih terlalu rendah karena jika dibandingkan dengan rekomendasi yang diberikan oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund masih sangat jauh. Jika kita merujuk pada penerapan tarif yang disarankan dengan persamaan marginal benefit of abatement = marginal cost of abatement, maka tarif ideal bagi Indonesia agar mencapai target pengurangan emisi seperti yang telah ditetapkan dalam NDC yaitu Rp300.000/ton CO2e.

Tarif pajak karbon ini bukan termasuk tarif tunggal maupun tarif tetap, hal terseebut dikarenakan tarif pajak karbon ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) setelah berkonsulrasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penerimaan negara yang diterima dari pajak karbon nantinya dapat digunakan untuk mendanai penelitian dan pengembangan mengenai energi terbarukan dan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Selain itu, penerimaan tersebut juga dapat dialokasikan untuk mengurangi dampak dari emisi karbon di masa mendatang serta untuk pengendalian iklim, dan efisiensi energi. Penerapan pajak karbon di Indonesia juga merupakan bagian dari aksi nyata dan bukti komitmen pemerintah Indonesia dalam menjalankan Paris Agreement (2015) serta mendukung Sustainable Development Goals yang telah disusun oleh UNDP diantaranya pada tujuan ketujuh yaitu Affordable and Clean Energy, kedua belas yaitu Responsible Consumption and Production, ketiga belas yaitu Climate Action, dan ketujuh belas yaitu Partnership for The Goals.

Pemerintah Indonesia menyiapkan mekanisme penerapan dari pajak karbon yang berbeda dari beberapa negara lain. Di mana Indonesia akan menggunakan skema Cap dan Tax yang merupakan gabungan dari pajak karbon dan perdagangan karbon. Istilah Cap dalam sederhana diartikan setiap perusahaan akan diberikan batasan emisi yang diperbolehkan, apabila perusahaan menghasilkan emisi karbon yang lebih besar dibandingkan batasan yang diperbolehkan, maka perusahaan harus membayar atas selisih tersebut.

Pembayaran dengan cara ini pun dapat dilakukan dengan dua piliha yaitu perdagangan emisi karbon atau dengan pajak karbon. Apabila suatu perusahaan memiliki skema yang pertama, yaitu perdagangan karbon, maka perusahaan tersebut harus membeli cap atau jatah dari perusahaan lain yang menghasilkan emisi karbon dibawah batasan yang telah diberikan. Di sisi lain, jika perusahaan tersebut tidak berusaha untuk mencari perusahaan lain untuk bisa menghasilkan emisi dibawah Cap, maka perusahaan dapat memilih untuk dikenakan pajak karbon saja.

Penerapan pajak karbon tentunya berpengaruh terhadap beberapa aspek, di mana adanya pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat dan industri agar beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah emisi karbon. Di mana aturan tersebut merupakan bukti nyata keseriusan pemerintah dalam mewujudkan net zero emission pada tahun 2050. Kebijakan pajak karbon berpengaruh terhadap perilaku industri seperti peningkatan efisiensi energi, karena perusahaan akan mencari cara-cara untuk mengurangi emisi karbon dan biaya pajak karbon yang harus mereka bayar.

Selain itu, adanya pajak karbon juga dapat mendorong industri untuk dapat menginvestasikan lebih banyak dalam teknologi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sehingga industri dapat lebih berinovasi dalam rangka mengurangi emisinya. Selain mengurangi emisi, pajak karbon juga dapat mendorong perusahaan untuk dapat mengurangi limbah dan proses yang menghasilkan emisi gas rumah kaca lainnya.

Kebijakan pajak karbon juga dapat membantu menciptakan persaingan yang lebih adil di pasar, di mana perusahaan yang sudah berinvestasi dalam teknologi bersih akan memiliki keuntungan kompetitif karena mereka lebih sedikit terkena dampak adanya pajak karbon jika dibandingkan dengan pesaing yang belum mengadopsi praktik yang sama. Adopsi kebijakan pajak karbon dapat meningkatkan kesadaran di kalangan industri tentang pentingnya mengurangi emisi karbon dan dampaknya terhadap perubahan iklim. Hal ini dapat memotivasi lebih banyak perusahaan untuk mengambil tindakan proaktif dalam mengurangi jejak karbon mereka.

Berdasarkan laporan State and Trends of Carbon Pricing 2022 yang dirilis oleh World Bank, saat ini ada 37 negara yang sudang menerapkan pajak karbon. Setiap negara memiliki sistem pajak karbon yang berbeda-beda. Finlandia merupakan negara pertama yang menerapkan pajak karbon sejak tahun 1990. Finlandia menerapkan tarif pajak karbon yang lebih mahal untuk emisi sektor transportasi dibanding dengan sektor lainnya. Hingga saat ini pajak karbon di Finlandia mencapai 24,39 dollar AS per ton karbon, dan Finlandia termasuk satu diantara 10 negara yang menerapkan pajak karbon tertinggi.

Pajak karbon yang diterapkan di Finlandia terbukti berhasil dalam melakukan penekanan emisi dan tidak memberikan dampak yang negative terhadap perekonomian negara. Hal ini dapat tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB) Finlandia yang terus mengalami peningkatan sejak pajak karbon diterapkan pada 1990 hingga 2020. Pencapaian tersebut tentunya dapat terjadi akibat adanya dukungan dari berbagai kebijakan yang dibangun bersamaan dengan pajak karbon, yaitu penurunan tarif pajak penghasilan.

Sama halnya dengan Swedia yang terbukti berhasil dalam menerapkan pajak karbon. Swedia sudah mulai menerapkan pajak karbon sejak tahun 1991, di mana penerapan pajak karbon dilakukan selaras dengan reformasi perpajakan yang disebut dengan green tax-switch. Tujuan dari reformasi perpajakan ini adalah membentuk sebuah ketentuan pajak yang berbasis lingkungan dan sudah mulai diperhatikan sejak tahun 1988. Dan pajak karbon merupakan satu diantara hasil dari reformasi perpajakan yang diterapkan di Swedia. Pajak karbon merupakan salah satu dari beberapa jenis pungutan atas emisi karbon yang diterapkan oleh pemerintah Swedia. Diantara pungutan bahan bakar fosil lainnya di Swedia yaitu pajak energi, pajak penerbangan, perdagangan karbon, dan pajak kendaraan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image