Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ribka Christiana

Pembelajaran Tanpa Rasa Aman

Info Terkini | Monday, 27 Dec 2021, 11:52 WIB
Ilustrasi mahasiswa. Source: Pixabay.com

Apa yang sedang darurat di dunia pendidikan saat ini? Tak ayal lagi, pendidikan kini dalam krisis ruang aman. Dalam mimbar ini kita mengingat kembali Undang-Undang No.23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwasannya pendidikan diupayakan dengan menciptakan suasana belajar, yang rasanya perlu ditambahkan dengan adanya jaminan rasa aman. Sebab, kita tak pernah menyangka bahwa lingkungan pendidikan dinodai dengan tindak pelecehan yang kian meruak.

Baru-baru ini, telah tersingkap kasus pelecehan terjadi di ranah pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Kita bisa menyaksikan lewat banyaknya media massa bersaksi melaporkan kasus pelecehan yang terlampau banyak dilakukan tenaga pendidik. Catatan Komnas Perempuan tak pernah melewatkan cerita para mahasiswa, korban pelecehan di kampus. Setidaknya sepanjang tahun 2015-2020 sebanyak 27% aduan pelecehan seksual terjadi di ranah perguruan tinggi, simaklah rangkaian ceritanya! Telah terdengar kabar seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum di salah satu universitas di Jakarta dilecehkan dosen pembimbingnya di tahun 2018 lalu. Hal serupa terjadi di Makassar, sama halnya yang terjadi di salah satu perguruan tinggi di Bogor tahun 2020. Kabar terbaru yang menyeruak di tahun ini, terjadi di salah Riau.

Relasi Kuasa

Pelecehan seksual telah menjadi fenomena gunung es serta apa yang disebut silent majority, begitulah tutur Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Relasi kuasa yang kerap terjadi di lingkungan kampus, seperti antara dosen dengan mahasiswa, menjadi alasan kuat suatu pelecehan terjadi. Relasi kuasa yang dimaksud adalah ketika seorang pelaku merasa lebih dominan dan berkuasa terhadap korban, sehingga tindak pelecehan tak segan dilancarkan.

Tersingkapnya ini sekaligus menepis adanya anggapan masyarakat yang seringnya mengaitkan kasus ini dengan cara berpakaian. Lagipula, bukankah manusia jauh lebih beradab daripada hewan dan punya kuasa atas dirinya untuk mengontrol nafsunya?

Tindak pelecehan dapat terlihat sepele bagi sebagian besar orang, bahkan mudah dinormalisasikan. Pelecehan dapat berupa candaan yang berselipkan kata-kata sensual atau juga menatap dengan tatapan sensual. Sesederhana apapun itu, pelecehan tetaplah pelecehan. Inilah yang membuat korban mengambil bagian dalam kelompok silent majority. Bila begini, bagaimana korban mendapat rasa aman? Tak perlu berpikir lagi, pendidikan kita harus menyikapi serius tentang lingkungan pendidikan yang keamanannya tampak meragukan

Disadari atau tidak, rupanya ada kekosongan dalam regulasi pendidikan tinggi kita. Ketiadaan kebijakan membuat korban bingung harus lari kemana. Belum lagi, kasus ini menjadi budaya yang disebut rape culture. Mengapa? Kasus pelecehan masih sering dikorelasikan dengan pakaian yang dikenakan korban, padahal survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengatakan 17% korban pelecehan memakai pakaian tertutup. Jelaslah korban sulit sekali mendapat posisi aman, ditengah-tengah bangsa yang warganya amat konservatif dan bersahabat dengan budaya patriarki.

Upaya dalam Kontradiksi

Laporan-laporan tindakan bejat pelaku kian mencuat sampai terdengar ke telinga Mendikbud, Nadiem Makarim. Terciptalah Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Langkah sang Menteri ini hebat dan berani. Hal ini sekaligus membuka mata masyarakat tentang adanya konsep konsensual atau persetujuan yang tentunya tidak mudah untuk dipahami.

Konsensual sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna menyangkut persetujuan semua anggota yang terlibat, dan dalam kasus ini adalah konteks seksual. Tindakan seksual tanpa konsen atau dalam paksaan disebut pemerkosaan atau kekerasan seksual. Permendikbud No.30 Tahun 2021 ini pun dengan jelas menyebut jenis tindakan kekerasan seksual seperti melecehkan, merayu, menggoda, mengancam, bahkan perkosaan atau ancaman perkosaan. Namun peraturan sejelas itu, masih salah ditafsirkan.

Tak lama mengeluarkan peraturan ini, telah didapati kritik yang agaknya sulit untuk dibenarkan. Beberapa orang (kelompok religius) bahkan petinggi-petinggi negara, menganggap peraturan ini bertumpu pada hubungan konsen ala Barat yang katanya memuji seks dan hanya mementingkan suka sama suka, tanpa bertumpu pada nilai keagamaan. Bahkan, mengaitkannya pada bentuk menghalalkan tindakan zinah. Nyatanya, bukan itu yang dimaksud dalam peraturan ini. Rasanya, tindakan zina tak bisa disatukan dalam lingkup kekerasan seksual. Jadi sangat jelas adanya kesalahpahaman antara konsep konsensual dan zinah.

Nadiem Makarim, lagi pula, menyadari urgensi masalah ini dalam lingkup perguruan tinggi bukan dalam konteks pernikahan ataupun agama. Ia bergegas mengeluarkan peraturan ini karena adanya masalah kronis dalam dunia pendidikan yang semestinya berperan menciptakan lingkungan belajar, bukan skandal. Langkah yang diambil ini berguna memenuhi kewajiban Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, sekaligus memerangi kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Jadi, apakah maksud dari kritik yang mengaitkan zinah dengan kekerasan seksual tersebut, selain menonjolkan kepentingan dan nilai-nilai religius belaka. Tampaknya dengan menyangkut-pautkan zinah dalam peraturan ini, menjadi strategi petinggi-petinggi negara ini untuk terlihat saleh di mata rakyatnya.

Suara yang didengar dan hak yang terpenuhi membuat masyarakat terutama para korban puas dengan hadirnya Permendikbud yang disusun Nadiem Makarim ini. Peraturan ini pula seharusnya membuka gerbang untuk mencapai kesetaraan gender dan mematahkan hegemoni patriarki yang selama ini menyingkirkan perempuan dari keadilan. Dengan demikian rakyat yang cerdas dapat dengan bijak menyimpulkan intisari Permendikbud ini, serta secara sederhana memilih antara lingkungan yang aman atau lingkungan penuh skandal dan kepahitan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image