Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahla Fitri Ayuni

Alternatif dari BRI: Prospek Kerja Sama Triangular India-Jepang untuk Indonesia

Politik | Sunday, 25 Jun 2023, 21:59 WIB
Potret Joko Widodo dengan Mantan PM Jepang, Shinzo Abe dan PM India, Narendra Modi Foto: REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA

Belt and Road Initiative atau yang biasa disingkat sebagai BRI merupakan sebuah inisiatif yang diciptakan oleh Tiongkok pada tahun 2013 untuk menghubungkan koneksi antara Asia, Eropa, dan Afrika dengan melakukan kerja sama multilateral yang masif dalam bidang ekonomi, politik, keamanan internal dan eksternal, budaya yang nantinya akan berpengaruh dalam mendukung kebangkitan ekonomi Tiongkok. Proyek ini juga sering disebut sebagai “Jalur Sutra dan Jalur Maritim Abad ke-21.”

Konektivitas Trans-Benua ini ditargetkan untuk dapat memperkuat jaringan infrastruktur, perekonomian, dan juga investasi antara negara Tiongkok dan negara-negara yang mau berpartisipasi dalam bekerja sama yang diinisiasikan oleh negeri tirai bambu tersebut. Benefit yang diperoleh dari partisipasi BRI ini terbilang sangat banyak sehingga tidak sedikit negara-negara di dunia tergiur untuk ikut masuk ke dalam daftar negara yang ‘dirangkul’ oleh Tiongkok.

Hal ini dapat dibuktikan dari kurang lebih 147 negara yang telah menjadi terlibat aktif dalam program Belt and Road Initiative ini mulai dari Italia, Pakistan, Turki, Makau, Jerman, Vietnam, dan lain-lain. Pasalnya, program ini dianggap dapat mendukung finansial serta memberikan dampak positif bagi negara-negara yang ikut serta.

Sebagai salah satu negara yang dilalui oleh jalur konektivitas BRI, Indonesia telah melihat peluang investasi dana yang besar yang bisa membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki infrastruktur di Ibu Pertiwi. Pada tahun 2015 ketika Indonesia memiliki rencana untuk membangun kereta cepat jakarta-bandung beserta infrastrukturnya, Tiongkok dan inisiasi BRI dipercaya untuk menjadi investor dalam pembangunan proyek tersebut.

Tiongkok melalui China Development Bank memberikan pinjaman sebesar 75% dari anggaran proyek tersebut, sisanya ditanggung oleh pihak Indonesia dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd dengan total biaya anggaran sebesar Rp 109,6 triliun. Mengutip dari CNBC Indonesia, progres proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini sudah mencapai 84% per bulan Februari 2023 dan ditargetkan akan mulai beroperasi pada bulan Juli 2023 mendatang bersamaan dengan pelaksanaan operasi LRT atau Light Rapid Transit.

Akan tetapi, dibalik semua keuntungan yang didapatkan oleh Indonesia melalui bantuan tersebut, terdapat probabilitas di masa depan jika proyek tersebut tidak berjalan sesuai rencana atau mandek di tengah jalan.

Dilansir dari laporan The Wall Street Journal, ketahanan produk asal China sering kali diragukan dan dianggap memiliki kualitas yang cenderung buruk. Contohnya saja, proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Ekuador yang disokong oleh Tiongkok dan program BRI mengalami kegagalan karena mutu dari bangunan tersebut dinilai memiliki banyak kecacatan dan dapat membahayakan keselamatan jiwa masyarakat Ekuador yang bermukim di dekat bangunan tersebut.

Selain itu, relasi yang terjalin antara Indonesia dengan Tiongkok sendiri juga menemui perdebatan dari banyak pihak. Salah satunya adalah maraknya pendapat yang menilai bahwa perekonomian Indonesia terlalu dependen pada Tiongkok.

Pandangan ini perlu dipertimbangkan, agar Indonesia dapat meninjau kembali strategi pembangunan dan perekonomian nya serta mulai mencari alternatif program kerja sama lainnya di masa mendatang yang dapat membantu mendorong pembangunan infrastruktur serta ekonomi negara dengan mempertahankan kedaulatan dan kemampuan berdikari Indonesia.

Salah satu program kerja sama alternatif yang bisa dipilih oleh NKRI adalah proposal kerja sama triangular, salah satunya yang dibuat oleh India dan Jepang. Pada tahun 2020 lalu misalnya, terdapat sebuah pertukaran informasi antara JETRO (Japan External Trade Organization) dan CII (Confederation of Indian Industry).

Event tersebut merupakan upaya pendekatan bisnis kerja sama triangular di Afrika. Dengan minat yang tinggi di India, negara-negara Eropa berhasil diundang dalam konstelasi ini. Mereka bersedia untuk membangun kerja sama pendanaan perusahaan India dan pihak lainnya untuk dapat berkarya di Afrika guna mewujudkan tujuan SDG (Sustainable Development Goals) melalui kredit, investasi, hibah, serta peningkatan kapasitas dengan berbasis proyek. Sehingga, kerja sama pembangunan ini lebih terfokus dan terarah dalam keberlangsungannya.

Di sisi lain, kerja sama triangular Jepang mengambil alternatif pada sektor swasta di Afrika sejak tahun 2018. Saat pandemi COVID-19 merebak, upaya tersebut sempat terhambat.

Kerja sama triangular ini pada hakikatnya merupakan pendekatan business to business berlandaskan simbiosis mutualisme pembangunan. Selain dapat membantu meningkatkan kualitas pembangunan di Afrika, kerja sama ini dapat menjadi sarana ekspansi perusahaan asing di Afrika.

Dengan mengkolaborasikan keunggulan Jepang dalam hard infrastructure dan India dalam digital infrastructure, kerja sama triangular ini memungkinkan Indonesia memperoleh manfaat jika memutuskan untung turut bergabung. Ditambah, pemerintah Indonesia sedang melirik potensi peningkatan investasi dan perdagangan bebas (ekspor) dengan negara-negara di Afrika. Tentunya, Indonesia harus terlebih dulu mempelajari strategi menghadapi tantangan yang mungkin dihadapi.

Selain itu, sebagai sesama negara berkembang yang merupakan anggota G20, India dan Indonesia memiliki beberapa kesamaan visi. Pembangunan infrastruktur dan konektivitas jalur internasional melalui perairan menjadi salah satunya. Kedepannya, Indonesia dapat memanfaatkan momentum ketika kerjasama triangular ini sudah direalisasi.

Penulis:

Adrianita Putri Damaiyanti

Syahla Fitri Ayuni

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image