Menilik Sejarah: Awal Mula Terjadinya Perang Salib 1095
Sejarah | 2023-06-22 10:55:50Awal Terjadinya Perang Salib
Perang salib secara historis perang yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga masyarakat. Menurut Noor (2014:254) perang salib adalah “gerakan segenap kaum Kristen di Eropa yang pergi memerangi kaum muslimin di Palestina secara berulang-ulang sejak abad ke-11 sampai abad ke-13 untuk membersihkan tanah suci dari kekuasaan kaum muslimin serta bermaksud mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur”. Perang ini dikatakan salib karena orang-orang Eropa yang ikut perang memiliki tanda salib di sebelah dada kanan.
Perang salib berlangsung sangat lama hingga dua abad. Penyebabnya yang sangat utama karena adanya “tanah suci (Israel-Palestina sekarang) secara silih berganti diduduki oleh raja-raja islam” (Djaja, 2015:46). Orang-orang Eropa menganggap tanah yang dikuasai oleh islam tersebut merupakan tanah suci milik mereka. Daerah ini dianggap suci oleh orang Kristen karena adanya makam Yesus, sedangkan untuk orang Islam yang telah berkuasa adanya Masjidil Aqsa dimana oleh orang Islam merupakan tempat yang disebutkan dalam kitabnya Al-Qur’an.
Perang Salib terjadi pada abad pertengahan. Abad Pertengahan merupakan periode sejarah di Eropa. Era ini muncul setelah eropa mengalami masa kegelapan. Masa kegelapan Eropa atau The Dark Ages lebih disebabkan karena mereka lupa diri atas kemajuan yang dicapai oleh bangsa Yunani dan Romawi sebelumnya. Kekayaan yang berlimpah menyebabkan pemimpin Eropa sibuk dengan kehidupan glamor dan kemewahan. Akibatnya, kerajaan menjadi tidak terurus dan kesejahteraan masyarakat tidak lagi diperhatikan.
Kondisi ini memicu timbulnya pergolakan dimana-mana. Pasukan Romawi mengalami kekalahan beruntun yang pada waktu itu melawan kaum muslimin menjadikan Romawi sudah tidak kuat seperti dulu. “Romawi yang telah lama menjadi negara superpower akhirnya runtuh. Kaisar terakhir Romulus Augustus diturunkan oleh pemimpin suku Jerman, Odoacer, pada tahun 476 M. Sejak saat itu kegelapan mulai menyelimuti bumi Eropa” (Cahyo, 2012:110).
Kegelapan di Eropa terjadi begitu lama. Kemudian setelah masa kegelapan yang cukup lama, muncullah Abad Pertengahan sebagai tanda bangkitnya Eropa dari kemunduran tersebut. Zaman ini mengembangkan kembali ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Zaman ini pula menjadi zaman kebangkitan religi di Eropa. Agama berkembang sangat pesat dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan (Cahyo, 2012:111). Hal itu membuat ilmu pengetahuan klasik dipinggirkan dan lebih dianggap sebagai ilmu yang salah dan mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan.
Tingginya perkembangan religi menyebabkan seringkali agama Islam dan Kristen berbenturan mengenai penyebarannya. Karena berbeda ideologi, maka ketika Islam menyebarkan ajarannya, Kristen pun merespons dengan penyebaran pula (Cahyo, 2012:112). Hal tersebut membuat mereka sering saling memusuhi hingga telibat peperangan panjang atas dalih agama yang salah satu contohnya adalah Perang Salib. Pada masa itu Eropa membangun sistem Perang Salib untuk mempertahankan pemerintahan Eropa dari desakan pengaruh pemerintahan Islam dari Timur Tengah. Maka, ketika kepentingan Islam dan Kristen bertemu dan menjadi sebuah peperangan, pihak Kristen kemudian menganggapnya sebagai perang suci. Seorang ksatria harus selalu bersedia membela keyakinannya setiap kali terjadi pertempuran dalam perang suci. Karena itulah, pemerintahan kemudian menjadi di bawah pengaruh keagamaan, sebab peperangan dikobarkan berlandaskan atas kepentingan agama. Dapat diketahui bahwa mengatasnamakan agama atas perang merupakan ulah dari pemerintah di Eropa.
Perang Salib merupakan gerakan kaum Kristen di Eropa yang memerangi kaum muslim di Palestina secara berulang-ulang untuk membebaskan Baitul Maqdis dari kekuasaan Islam dan bermaksud mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Perang Salib sebenarnya bertitik tolak pada pembangunan pesat yang terjadi di Eropa Barat pada masa Abad Pertengahan. Pada waktu Eropa menjelang Perang Salib, ide perang ini muncul saat menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di Timur yang disebabkan serangan muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Karolingian pada akhir abad ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah pengkristenan bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah, untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat (Djaja, 2015:48). Jadi keadaan Eropa pada waktu menjelang Perang Salib juga memburuk.
Tahun 1063 di Eropa, Paus Alexander II yang merupakan paus gereja Katolik Roma memberikan restu bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus mengatakan bahwa pengampunan akan terjadi bagi siapapun yang terbunuh dalam perang tersebut. Awalnya “pada 1071 tentara Byzantine benar-benar diremukkan pada pertempuran Melasgrid, dan orang Turki terus menyapu hingga tak ada lagi bekas kekuasaan Byzantine yang tersisa di Asia” (Wells, 1922:195). Byzantium dimana pada waktu itu dipimpim oleh Kaisar Michael VII. Pemerintahan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk siap berperang. “Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai tentara gereja” (Djaja, 2015:49). Di dalam Eropa penebusan dosa menjadi pendorong setiap umat Kristen untuk berangkat berperang.
Dunia Kristen Barat waktu itu juga sedang dilanda dua masalah yang serius. Adanya adat kebiasaan “perang pribadi” yang mengacaukan kehidupan sosial dan yang satunya ialah energi bertarung yang sangat berlimpah dari orang-orang Jerman Bawah, dan orang Viking yang terkristenkan dan khususnya orang Frank dan Norman (Wells, 1922:196). Penyebaran berita Perang Salib membuat gencatan senjata bagi semua peperangan di kalangan orang-orang Kristen pada 1905. Seseorang yang disebut Peter sang Pertapa melakukan propaganda di seluruh Prancis dan Jerman. Dengan menunggangi keledai dan membawa sebuah salib besar, dia berpidato panjang lebar kepada kerumunan, di pasar, atau di gereja. Dia mencela kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang Turki kepada peziarah Kristen, dan rasa malu karena makam Yesus berada di tangan bukan orang Kristen. Dengan adanya hal tersebut dunia barat bergejolak semangat para umat Kristen
Tahun 1905 Paus Urbanus II berpidato mengenai Perang Salib dalam Konsili Clermont. Konsili Clermont merupakan sebuah sinode atau pertemuan yang dihadiri oleh kaum awam dan kaum klerus (rohaniawan) di Clermont pada 18 sampai 28 November 1905. Paus Urbanus II mendapat surat mendesak dari penerus Michael VII, Alexius Comneus bahwa Byzantium tidak bisa membendung serangan dari umat muslim yang melakukan ekspansi. Hal itu memicu paus untuk melakukan pidato untuk memerangi umat Islam pada 27 November 1905. Dari berbagai riwayat tentang pidato Urbanus adalah tidak adanya penyebutan “Muslim” atau “Islam” di mana pun. Sebutan-sebutan yang muncul adalah “kafir”, “orang-orang Turki”, dan “orang-orang Arab” yang menindas “saudara-saudara Kristen kita” dan tanah suci (Fuller, 2010:124). Adanya pidato tersebut memicu terjadinya Perang Salib I.
Penulis: Dimas Setyawan
Daftar Rujukan
Cahyo, A. N. 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal dari Klasik sampai Modern. Yogyakarta: BUKUBIRU.
Djaja, W. 2015. Sejarah Eropa : Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Fuller, G. E. 2010. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? (A World Without Islam). Terjemahan T. Hermaya. 2014. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Noor, Y. 2014. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Peretz, D. 1963. Sejarah Timur Tengah Modern (The Middle East Today). Terjemahan Warsito Soeparyo. 1977. Malang: Sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran IKIP Malang.
Wells, H. G. 1922. Sejarah Dunia Singkat (A Short History of The World). Terjemahan Saut Pasaribu. 2015. Yogyakarta: Indoliterasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.