Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Qonita Hamidah

Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia

Politik | Saturday, 17 Jun 2023, 04:11 WIB
Ilustrasi Sumber: www.shutterstock.com

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan grasi termasuk ampunan yang diberikan oleh Kepala Negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman. Dalam hal ini grasi bertujuan untuk memberikan keringanan dan efek jera dalam pemidanaan karena kekhilafan Hakim dalam memutuskan hukuman. Grasi dalam Undang-Undang No. 22 tahun 2022 memiliki arti pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terdakwa yang diberikan oleh Presiden. Upaya grasi termasuk hak terdakwa untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya. Istilah grasi dalam hukum pidana sangat populer karena faktor kemanusiaan dan sebagai bentuk perhargaan atas perubahan sifat baik terpidana. Pemberian grasi terhadap terpidana sejak putusan pengadilan mendapatkan kekuatan hukum tetap, ketentuan ini sesuai dalam ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan tetap.

Pemberian grasi terhadap terpidana telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 2 UU Grasi JO. UU 5/2010, yang dapat mengajukan grasi kepada Presiden adalah terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberian grasi bukanlah persoalan teknis yuridis dan bukan bagian dari penilaian terhadap putusan Hakim dan tidak berarti menghilangkan kesalahan terpidana dan juga bukan alat untuk rehabilitas terpidana. Andi Muhammad selaku pakar hukum tatanegara menyampaikan pemberian grasi merupakan wujud keadilan dalam hal kemanusiaan. Pemberian grasi bukan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogratif Presiden kepada tersangka tindak pidana. Bulan Maret lalu Presiden memberikan grasi kepada terpidana mati Merry Utami atas kasus penyelundupan narkotika jenis heroin seberat 1,1 kg di dalam tas miliknya saat pulang dari Nepal di Bandara Soekarno-Hatta, ia sempat mengajukan banding ke Mahkamah Agung, pada 27 Januari 2003 dia kembali menerima putusan kasasi yang menyatakan dia dipidana mati. Upaya hukum terus dilakukan pada 29 Januari 2003, dia mengajukan peninjauan kembali melalui PN Tangerang. Namun, saat dia belum menerima putusan PK Merry dibawa ke Lapas di Nusakambangan pada 23 Juli 2016 untuk eksekusi mati. Dua hari kemudian Merry dipindahkan ke sel isolasi untuk pidana mati di Lapas Batu, Nusakambangan, di hari yang sama pula Merry menerima putusan PK yang sudah diputus dua hari sebelumnya pada 15 Agustus 2014. Upaya hukum terus dilakukan sampai pengajuan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo melalui PN Tangerang. Lima tahun mendekam di Lapas Cilacap, pada tahun 2021, dia kemudian dipindahkan ke Lapas Semarang hingga saat ini. Dalam kasus Merry Utami ini Presiden Jokowi memberikan grasi pidana seumur hidup dalam kasus peredaran narkoba sedangkan putusan hakim menetapkan pidana mati.

Pertama, adanya kekurangan dalam Undang-Undang yang membuat Hakim terpaksa memutuskan sanksi pidana tertentu; yang kedua, terdapat keadaan-keadaan yang kurang diperhitungkan saat Hakim menjatuhkan pidana; yang ketiga, terpidana baru saja keluar dari tahanan; yang keempat, terpidana menunjukan sikap terpuji saat masa percobaan pidana sehingga terpidana pantas untuk mendapatkan grasi. Grasi terjadi karena faktor kemanusiaan dan faktor keadilan. Terhadap hakim yang telah memiliki hukum tetap, terdakwa masih dapat mengajukan upaya hukum banding di tingkat Pengadilan Negeri, kasasi di Mahkamah Agung dan peninjauan kembali. Jika kasasi di Mahkamah Agung telah memiliki hukum pasti atau tetap maka tahap selanjutnya adalah upaya hukum terakhir yaitu melakukan peninjauan kembali tetapi jika dalam peninjauan kembali terdakwa tetap disalahkan dan dipidana maka pertolongan yang terakhir bukan termasuk upaya hukum melainkan mengajukan grasi kepada Presiden. Pidana diberikan karena seseorang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap perbuatan pidana, sanksi pidana dijatuhkan untuk menumbuhkan efek jera kepada pelaku pidana, sedangkan grasi diberikan kepada mereka yang berdasar keputusan Hakim berkekuatan hukum tetap dijatuhi sanksi pidana. Dari penjelasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemberian pemidanaan yang mengandung efek jera maupun pemberian grasi sama-sama ditetapkan karena adanya sanksi pidana atas perbuatan pidana. Pelaku pidana mengajukan grasi untuk mendapatkan peringanan, pengurangan, perubahan dan penghapusan sanksi pidana dalam pelaksanaannya dan begitu pula dengan pemberian grasi juga tidak bertentang dengan efek jera pemidanaan.

"Pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5 Tahun 2010 ternyata potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati, untuk mengajukan permohonan grasi. Pembatasan demikian juga menghilangkan hak Pemohon jika hendak mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang persyaratannya salah satunya ada novum, sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya" ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan penggalan pendapat Mahkamah dalam Putusan No. 107/PUU-XIII/2015.

Meskipun pada teorinya grasi diberikan sebagai eksistensi efek jera dalam pemidanaan, namun pada pelaksanaannya grasi diberikan untuk mendapatkan peringanan efek jera dalam pemidanaan. Menurut opini publik pemberian grasi bisa saja tidak mendapat efek jera pemidanaan kepada si terpidana karena ringannya hukuman yang dapat membuat seseorang mengulangi perbuatan pidana tersebut serta mudahnya perolehan grasi, oleh sebab itu pemberian grasi harus benar-benar diperhatikan tidak asal memberi keputusan grasi harus meninjau faktor keadilan, faktor kemanusiaan dari kasus-kasus yang ditelaah sehingga efek negatif dari grasi dapat diminimalisir.

Qonita Hamidah, Mahasiswa Strata 1 Hukum Tatanegara UIN Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image