Angka Baby Blues Naik, Bagaimana Solusi Terbaik?
Parenting | 2023-06-16 05:50:10Periode setelah kelahiran bayi adalah momen yang penuh dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Tetapi kini tidak jarang ibu mengalami perubahan emosional yang kompleks, yang dikenal sebagai "baby blues." Baby blues adalah fenomena emosional yang umum terjadi pada ibu setelah melahirkan, yang ditandai dengan perasaan sedih, cemas, lelah, dan mudah marah.
Berdasarkan data laporan dari Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023 menyatakan bahwa gangguan kesehatan mental banyak didapati pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini di Indonesia. Bahkan di Lampung, 25 persen wanita mengalami gangguan depresi setelah melahirkan (Republika, 28/05/23).
Selain itu, penelitian oleh Andrianti (2020) mengungkapkan bahwa 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% depresi pasca melahirkan. Juga dalam penelitian nasional 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala minimal dan gejala sedang baby blues. Angka tersebut merupakan tertinggi ketiga di Asia (DetikHealth, 26/05/23).
Penyebab Baby Blues Syndrome
Baby blues adalah fenomena yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan seorang ibu baru. Penyebabnya dapat bervariasi, seperti perubahan hormon, sulit beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sebelum dan setelah menjadi ibu, gangguan tidur yang dapat mengakibatkan kelelahan, serta adanya riwayat gangguan mental sebelumnya yang dapat memperburuk kondisi emosional ibu setelah melahirkan.
Faktor yang paling krusial di antara itu semua adalah kesiapan menjadi orangtua. Seorang ibu harus siap beradaptasi dengan perubahan peran dan kehidupannya setelah memiliki anak.
Persiapan mental seorang ibu dimulai sejak dini, melalui pendidikan dan pemahaman yang dibangun seiring dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya hingga dewasa. Sayangnya kurikulum pendidikan Indonesia tidak menjadikan kesiapan menjadi orangtua sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki.
Penerapan pendidikan sekuler mengakibatkan lemahnya pemahaman Islam pada generasi. Sistem pendidikan yang ada saat ini cenderung menjauhkan individu dari aturan agama (Islam). Agama dianggap hanya sebatas pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, sementara aspek-aspek lainnya dalam Islam sering kali tidak ditekankan atau terabaikan.
Akibatnya, generasi muslim yang semestinya menjadi generasi penerus mengalami krisis jati diri yang amat parah. Ibarat kata, mental generasi muda saat ini cenderung sebagaimana “mental tempe” ketika dihadapkan pada sedikit cobaan atau musibah, mereka mudah goyah, stres, dan rentan depresi.
Berdasarkan Laporan Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional Indonesia (I-NAMHS), ditemukan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia dalam rentang usia 10-17 tahun menghadapi masalah kesehatan mental. Selain itu, 1 dari 20 remaja Indonesia mengalami gangguan mental dalam periode 12 bulan terakhir. (Katadata, 14/04/23)
Fakta ini sungguh mengkhawatirkan, mengingat bahwa mereka adalah calon ibu dan pendidik generasi mendatang. Kualitas dari generasi yang akan meneruskan peradaban kita terletak pada peran para ibu. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana mereka dapat menjadi ibu yang kuat dan tangguh, ketika mereka sendiri telah mengalami gangguan mental sejak usia muda?
Baby Blues Perlu Penanganan Serius
Menjadi ibu bukanlah hal yang mudah. Masa kehamilan hingga persalinan bukanlah fase ringan dan tentu dapat membuat dampak psikologis pada perempuan. Sehingga, mesti disiapkan pembentukan mental kuat sejak dini, di samping itu diperlukan pula adanya supporting system.
Tidaklah mudah bagi ibu untuk menjaga kesehatan mentalnya ketika mereka menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sistem kapitalisme seringkali mempersulit para ayah dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka, yang pada gilirannya meningkatkan beban dan tekanan yang dirasakan oleh ibu.
Maka dari itu, pencegahan baby blues syndrome haruslah dimulai dengan mempersiapkan sistem pendidikan dan supporting system. Sebagai pembuat kebijakan, negara perlu menyusun kurikulum pendidikan yang mampu menghasilkan perempuan yang siap mengemban peran sebagai seorang ibu.
Dalam islam, pendidikan merupakan usaha yang sistematis dan terstruktur untuk membawa peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepribadian Islam. Kepribadian tersebut tampak pada cara berpikir dan perilakunya yang berdasarkan ajaran Islam. Kemudian membekali generasi dengan tsaqafah Islam serta ilmu-ilmu kehidupan. Kurikulum pendidikan Islam sangat komprehensif, sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, termasuk madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Selanjutnya, pentingnya adanya supporting system yang memberikan perlindungan dan penjagaan kepada seorang ibu. Salah satu bentuk sistem ini adalah politik ekonomi yang memastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi secara optimal. Dengan demikian, para ibu dapat fokus dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.
Negara juga memiliki peran penting dalam menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang gratis dan dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Selain itu, negara harus mengawasi dan mengendalikan media agar tidak menyebarluaskan konten yang berpotensi merusak seperti kekerasan, eksploitasi seksual, pornografi, dan segala hal yang dapat merusak kepribadian generasi.
Terakhir, supporting system berupa lingkungan sosial masyarakat yang Islami. Negara menciptakan kehidupan masyarakat yang bersih dari kemaksiatan sehingga terwujud masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar, serta saling menolong dan menyayangi antar sesama.
Demikianlah Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kepada para generasi muda penerus peradaban, mulailah menyiapkan diri untuk menjadi calon orang tua tangguh. Dengan membekali diri dengan tsaqafah Islam, memahami peran serta kemuliaan orang tua. Sehingga lahirlah generasi calon ibu tangguh, muslimah cerdas, pencetak generasi salih/salihah yang mampu mengantarkan negeri ini ke kemajuan dan kebangkitan hakiki. Wallahualam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.