Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diana Rahayu

Bersiap Menghadapi Bencana Kekeringan Yang Mengancam Dunia

Edukasi | Friday, 16 Jun 2023, 05:04 WIB

Dunia kembali dalam ancaman kekeringan. Bumi diprediksi akan mulai menghangat akibat cuaca alami El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik. Ditambah dengan terus terjadinya perubahan iklim menjadikan dunia semakin memanas. Hal ini dikonfirmasi oleh para ilmuwan di AS. Mereka juga memprediksi 2024 menjadi tahun terpanas di dunia. Hal ini dikhawatirkan akan mendorong dunia melewati ambang batas pemanasan global 1,5C.

Bencana Kekeringan Dunia

El Nino disinyalir akan memengaruhi cuaca dunia. Berpotensi mengakibatkan kekeringan ke Australia, hujan deras di AS selatan, dan melemahkan musim hujan di India. Sementara kekeringan serta meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berpotensi terjadi di Indonesia yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Fenomena alam perubahan cuaca el nino biasanya terjadi setiap dua hingga tujuh tahun. Fase panas, yang disebut El Nino ini terjadi akibat air hangat naik ke permukaan di lepas pantai Amerika Selatan dan menyebar ke seluruh lautan sehingga mendorong sejumlah besar panas ke atmosfer. Tercatat tahun terpanas di dunia pernah terjadi pada tahun 2016, dimana biasanya terjadi satu tahun setelah peristiwa El Nino besar. Terdapat prediksi kuat bahwa imbah tahun ini akan mendorong 2024 melampaui 2016 sebagai tahun terpanas di dunia.

Pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Sehingga memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.

Dari data BNPB per 1 Juni 2023, sudah ada 112 kejadian karhutla di Indonesia. Sementara itu ada tujuh wilayah yang akan mendapatkan perhatian khusus dimana status siaga darurat bencana karhutla dan kekeringan telah ditetapkan di seluruh provinsi tersebut per 29 Mei 2023, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menyampaikan prediksi BMKG kemarau lebih kering di tahun 2023, sehingga potensi kejadian karhutlanya lebih besar dari tiga tahun terakhir.

Kebijakan Ekonomi Kapitalistik Berujung Bencana

Jamak diketahui banyak perilaku manusia juga kebijakan negara yang menimbulkan dampak buruk lingkungan seperti pembabatan hutan dan konsesi hutan. Ditambah dengan kebijakan penguasa yang berpihak pada para pemilik modal, namun acuh abai terhadap pengelolaan lingkungan dan kepentingan rakyat.

Kerugian dan ongkos besar akibat tak sigapnya mengantisipasi bencana dari fenomena alam perubahan cuaca yang menimpa manusia dan ekonomi selalu terjadi. Bahkan El Nino yang kuat pada 1997-1998 menimbulkan kerugian lebih dari US$5 triliun dengan sekitar 23.000 kematian akibat badai dan banjir. Di samping itu, ke depan sekitar 2,7 miliar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia diprediksi akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah pada 2025 jika iklim terus berubah. Hingga di tahun 2050 diperkirakan dua pertiga penduduk bumi akan mengalami kekurangan air. (Bmh[dot]or.id, 02/09/2022)

Berbagai aktifitas keserakahan manusia yang didukung oleh negara tersebut memicu bencana kekeringan. Kelangkaan hutan karena alih fungsi lahan hutan menjadi proyek infrastruktur dan pertambangan adalah penyebab utamanya, hingga membuat krisis air baku, terutama pulau-pulau yang tutupan hutannya rendah, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Prediksi tahun 2045, Indonesia akan kehilangan tutupan hutan sebanyak 38% dari luas total tutupan hutan di Indonesia (saat ini 95,6 juta hektare). Dari catatan Walhi Sumatra dan Kalimantan adalah dua pulau besar yang paling banyak kehilangan tutupan hutan. Langkanya hutan jelas memicu berkurangnya daerah resapan dan memengaruhi kondisi cadangan air di tanah. Jika serapan air minim, cadangan air dalam tanah akan sedikit yang mana akan memicu kekeringan hingga menimbulkan bencana kekeringan.

Di sisi lain kebijakan liberalisasi SDA yang menjadikan swasta leluasa mengeksploitasi sumber daya air seperti bisnis air minum dalam kemasan, makin menjadikan potensi kekeringan meluas. Belum lagi kerusakan hidrologis, seperti rusaknya fungsi wilayah hulu sungai akibat pencemaran air, yang menyebabkan kapasitas dan daya tampung air berkurang.

Jika krisis air meluas, dampaknya akan sangat memukul produktivitas pertanian. Bisa dibayangkan saat petani gagal panen, persediaan pangan akan terganggu, sanitasi buruk, kekurangan gizi, dan kelaparan akut. Jika hal ini terus terjadi, ancaman krisis pangan bukan lagi prediksi, melainkan fakta mengerikan bagi negeri ini.

Butuh Peran Negara Menghentikan Bencana

Antisipasi dampak bencana tidaklah dapat dilakukan oleh individu. Kekeringan yang mengakibatkan bencana mulai dari kekurangan air bersih dan juga ketersediaan pangan haruslah dihentikan oleh sebuah kekuatan negara. Dalam pandangan Islam negara wajib mengurus rakyat dengan baik dan menjamin kesejahteraannya. Segala kebijakan dibuat wajib memperhatikan kepentingan rakyat.

Dalam masalah kekeringan, sangat difahami bahwa air adalah sumber kehidupan bagi umat manusia. Hingga di UU 17/2019 pun diatur tentang sumber daya air. Namun, realitasnya masih sangat banyak masyarakat kesulitan mengakses dan memanfaatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Jika melihat letak geografis Indonesia yang berada di kepulauan dengan luasnya wilayah laut, maka sungguh ironis saat terhadi kekeringan di negara maritim. Maka dibutuhkan sebuah visi politik pengelolaan SDA yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, dan mencegahnya dari bencana.

Pertama, SDA yang terkategori milik umum harus dikembalikan kepada rakyat. Hutan, air, sungai, danau, laut adalah milik rakyat secara keseluruhan. Sabda Nabi saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Liberalisasi air terjadi akibat penerapan ideologi kapitalisme harus dihentikan. Karena dalam Islam, status kepemilikan air adalah milik rakyat dan dikelola negara untuk kesejahterannya.

Kedua, dalam proses produksi dan distribusi air, negara harus secara langsung mengelolanya, mengawasi pemanfaatan air, menyalurkan pada semua rakyat hingga kebutuhan air bersih tercukupi. Penyerahan pengelolaan air pada swasta baik individu maupun koorporasi jelas tidak boleh. Para pakar pun disiapkan negara hingga semua rakyat mendapat akses air bersih dengan mudah dan murah.

Ketiga, rehabilitasi dan memelihara konversi lahan hutan agar resapan air tidak hilang harus dilakukan negara. Selain edukasi terhadap masyarakat untuk menjaga lingkungan, pembiasaan hidup bersih dan sehat, serta juga harus ada sanksi tegas yang memberi efek jera terhadap pelaku kerusakan lingkungan.

Sesungguhnya di tangan para kapitalis rakus lah, kerusakan lingkungan terjadi dan meluas hingga menyebabkan perubahan iklim ekstrem dan kekeringan. Padahal Islam telah hadir puluhan abad lalu dengan seperangkat aturan yang melindungi alam dari eksploitasi serakah manusia dan mewajibkan pengelolaannya untuk kesejahteraan semua umat di dunia.

Maka akankah kita tetap bertahan dalam sistem yang terus menimbulkan bencana? Saatnya menghentikan semua bencana dengan sistem yang melindungi kemaslahatan manusia dan kelestarian lingkungan, apalagi jika bukan Islam?

Wallahuu’alam bishowwab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image