Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Minardi

Membenahi Profesi Pelaut dan Aturan Ketenagakerjaan

Eduaksi | Sunday, 11 Jun 2023, 16:33 WIB
Aktivitas ABK saat kapal berlabuh ( dok REPUBLIKA )

Predikat Indonesia sebagai negara maritim mesti disertai dengan pengembangan profesi pelaut seluas-luasnya. Poros maritim dunia mustahil terwujud tanpa disertai perlindungan dan perbaikan portofolio kompetensi pelaut dan tingkat kesejahteraannya.

Pelaut adalah orang yang bekerja di atas kapal, baik itu kapal tanker, kapal angkut atau kapal penumpang. Pada dasarnya, siapapun yang bekerja di atas kapal dapat disebut sebagai pelaut namun semuanya memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Mereka harus mengikuti seluruh perintah dan aturan yang diberikan oleh kapten.

Untuk menjadi pelaut harus memiliki kesiapan mental dan fisik yang prima karena seorang pelaut diharuskan untuk bertugas selama berhari-hari, atau bahkan berbulan-bulan, di atas lautan untuk berlayar. Selama dalam ekspedisi berlayar, seorang pelaut biasanya memiliki tanggung jawab untuk mengecek navigasi perjalanan, pemeliharaan kapal dan menjaga kargo-kargo dan penumpang di atas kapal agar selamat sampai tujuan.

Seorang pelaut harus siap dengan segala risiko. Akomodasi yang ada di kapal seringkali sangat terbatas. Kehidupan di atas kapal menipiskan hak privasi karena kebersamaan anak buah kapal (ABK) setiap harinya. Namun, ada beberapa area di kapal yang dirancang khusus sebagai ruang untuk santai atau refresing untuk bersosialisasi.

Sama seperti pekerja lainnya, sebagian besar pelaut bekerja selama 8 jam per hari dari hari Senin hingga Jumat. Saat berada di pelabuhan, semua pelaut memiliki waktu kerja 40 jam. Para pelaut diberikan rotasi tugas tertentu sehingga mereka tidak terlalu lelah atau terlalu banyak bekerja. Hal ini penting karena seorang pelaut harus waspada setiap saat ketika mereka bertugas. Kementerian Perhubungan cq. Ditjen Perhubungan Laut melalui Direktorat Perkapalan dan Kepelautan berperan memediasi penyelesaian permasalahan hubungan kerja laut antara ABK dengan pihak perusahaan pelayaran sesuai perjanjian kerja bersama.aut sebagai ujung tombak pelayaran masih dihimpit oleh berbagai persoalan ketenagakerjaan. Pemerintah mesti lebih serius melindungi keselamatan dan kebutuhan ekonomi anak buah kapal. ABK merupakan salah satu jenis profesi kepelautan yang tak henti-hentinya dirundung masalah krusial. Terutama terkait dengan hak-hak normatif dan perlindungan pelaut.

Sebagai entitas profesi, para pelaut Indonesia masih prihatin dengan posisi hukumnya. Yang mana UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran substansi dan isinya hampir 85 persen hanya berbicara mengenai prosedur perizinan kapal dan beberapa iuran yang harus dibayarkan. Serta prosedur sertifikasi bagi pelaut yang ujungnya adalah masalah biaya yang harus dikeluarkan. Pasal-pasal dalam UU diatas belum banyak berbicara tentang perlindungan dan jaminan keselamatan pelaut serta hak-hak normatifnya. Mestinya perlindungan dan hak-hak normatif pelaut dijabarkan secara rinci dalam Kepmen seperti halnya UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.

Meskipun sudah ada PP Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, namun ketentuan tersebut oleh Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) dinilai masih belum lengkap. Selain itu pemerintah juga dinilai kurang konsisten terkait Standard of Training Certification and Watchkeeping of Seafarers ( SCTW) yang merupakan konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan atau pelatihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja sebagai pelaut. Namun berbagai konvensi diatas masih belum diaplikasikan dengan baik.

Pelaut merupakan profesi terkait dengan angkutan laut yang merupakan moda transportasi yang penuh regulasi. Dengan demikian profesi pelaut memerlukan regulasi tersendiri dalam aspek ketenagakerjaan. Apalagi Indonesia harus meratifikasi berbagai konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS ) serta berkewajiban menaati berbagai regulasi tersebut.

Di United Nations ada badan khusus yang menangani bidang maritim, yakni International Maritime Organization (IMO), yang secara umum mengatur keamanan angkutan laut serta ketentuan tentang pelatihan dan pendidikan awak kapal. Dengan adanya IMO tiap negara anggota mempunyai tanggung jawab untuk melakukan berbagai konvensi internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya. Namun hingga saat ini kondisi kapal-kapal berbendera Indonesia sebagian masih belum mampu memenuhi ketentuan IMO, bahkan banyak terjadi pelanggaran regulasi.

Pembenahan profesi garis depan pelayaraan nasional semakin mendesak. Jika kita simak kasus kecelakaan laut dan potensi bahaya yang lain seperti pembajakan, pencemaran dan penyelundupan maka beban dan tanggung jawab akhirnya terakumulasi di pundak profesi garis depan itu.

Profesi tersebut menjadi rentan dan mudah menjadi kambing hitam jika setiap kali terjadi kecelakaan atau kasus lainnya. Tuntutan bisnis oleh pengusaha pelayaran juga semakin meningkatkan beban kerja mereka sekaligus mengkerdilkan pengembangan kompetensi. Pihak yang terkait masih sering menutup mata tentang kondisi obyektif dari para ABK yang selama ini menjalankan kapal.

Perlu langkah cepat untuk memperbaiki hubungan industrial bagi pelaut dan perusahaan tempat mereka bekerja. Utamanya perumusan tentang standar gaji pelaut sehingga bisa kompetitif secara global. Langkah pemerintah untuk meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) yang diberlakukannya secara nasional sebaiknya terelaborasi ke dalam peraturan pemerintah yang lebih detail. Dan sebelumnya dibahas bersama pihak KPI dan organisasi lain terkait.

Apalagi selama ini pihak KPI sering mempersoalkan mekanisme hubungan industrial dan masalah standar gaji bagi pelaut. Tentu saja sebagai entitas profesi KPI memiliki rumusan yang ideal terkait dengan masalah diatas. Hubungan industrial itu juga terkait terhadap para buruh yang bekerja di pelabuhan.

Selama ini ada persoalan akibat Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 (BN No. 6902 Hal. 11B-22B dst) tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 tahun 2004 (BN No.7035 Hal. 2B-4B dst) tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang tidak diterapkan kepada para pelaut ketika terjadi konflik. Pada prinsipnya KPI mengharapkan agar besaran upah sektoral bagi pelaut perlu diputuskan oleh tripartit nasional yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan unsur serikat pekerja, sehingga dapat ditetapkan standar upah pelaut yang secara nasional harus dipenuhi oleh seluruh perusahaan pelayaran. Perlu dicatat selama ini besaran upah bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal samudera atau ocean going berstandar internasional ada kesenjangan yang lebar dengan pelaut yang mengoperasikan kapal lokal.

*) Arif Minardi, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image