Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Levina Puspadhamma Halim

Silent Generation vs Gen Z dalam Segi Kesehatan Mental

Edukasi | Monday, 05 Jun 2023, 08:00 WIB
Sumber: istockphoto.com

Saat ini, isu mental health kiat dikumandangkan lewat berbagai media. Banyak orang, khususnya anak muda yang lebih aware dengan perkara kesehatan mental ini. Sebenarnya perdebatan mengenai pentingnya hal ini sudah ada sejak lama di Indonesia. Namun, mengapa Gen Z yang berusaha untuk mengedepankan mental health malah dinilai sebagai generasi kentang?

Pertama, perlu kita ingat bahwa generasi kita yang sekarang tumbuh di lingkungan yang jauh berbeda dibanding generasi-generasi sebelumnya. Setiap generasi sendiri merupakan sekumpulan orang yang dilahirkan di waktu, dibesarkan dalam tempat serupa, dan menghadapi tren kehidupan yang sama. Inilah yang menyebabkan seseorang memiliki kemiripan karakteristik, preferensi, dan nilai-nilai dengan orang lain dari generasi yang sama. Dengan begitu, terbentuklah sekelompok orang dengan sistem kognitif serupa.

Untuk saat ini, terdapat setidaknya 6 generasi yang berbeda di kalangan masyarakat. Dimulai dari generasi tertua yang hidup saat ini, yaitu Silent Generation, lalu Baby Boomer, Generasi X, Milenial, Generasi Z, dan terakhir adalah Generasi Alpha. Semua generasi ini memiliki ciri khas yang berbeda dan tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Inilah yang membuat orang-orang dari antar generasi tersebut akan kesulitan untuk berempati dengan orang dari generasi lainnya. Hal ini jugalah yang membuat Generasi Z dianggap tidak cukup kuat melawan dunia, karena tentunya permasalahan mental yang mereka miliki berbeda jauh dibanding generasi sebelumnya.

Nah, berikut adalah penjelasan mengenai mengapa terdapat perbedaan besar antara generasi tertua dan generasi kita saat ini.

1. Silent Generation (1924-1945)

Silent generation atau silents adalah generasi tertua yang hidup saat ini. The Silents lahir setelah Greatest Generation dan sebelum Baby Boomers. Silent generation sendiri adalah sekelompok orang yang tumbuh dengan kekacauan global luar biasa (The Greatest Depression). Banyak orang mengalami kelaparan, ketidaksetaraan, dan kekerasan. Mereka diajari untuk hidup dengan konsep “melihat, tapi jangan dengar” dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ini artinya adalah bersifat tidak peduli seberapa parah dan mengerikan peristiwa yang ada di hadapannya. Pada umumnya, orang-orang ini menjadi saksi atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pertarungan militer, rasisme, atau kebrutalan pemerintah. Selain itu, mereka juga mengalami diskriminasi-diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Ini termasuk penolakan dalam dunia kerja, tidak adanya perlindungan hukum, atau mendapat tidak mendapat pelayanan yang pantas. Inilah yang membuat mereka cenderung memiliki tanggung jawab besar, patriotik, dan mementingkan kewajiban sebagai prioritas dibanding bersenang-senang yang membuat mereka mendapat sebutan sebagai tradisionalis.

Silents tidak memiliki banyak kesempatan untuk berbicara soal trauma mereka. Selama Perang Dunia II dan The Greatest Depression, mereka lebih terfokus pada hal-hal terkait bertahan hidup dan berpikir bahwa pengorbanan adalah kebajikan terbesar. Banyak orang yang tidak mengumbar kesulitan mental dan emosional yang mereka hadapi. Ini dilakukan oleh Silent Generation untuk menjamin sisi finansial, sosial, fisik, dan relasi untuk bertahan hidup. Karena itulah mereka kerap kali mengorbankan sisi kesehatan mental demi bisa bertahan hidup.

Mereka adalah orang-orang yang mengalami banyak bencana sosial dan dominan di antara mereka telah mengikuti perkembangan perang dan bahkan berpartisipasi di dalamnya. Inilah yang membuat mayoritas dari Silents mengalami PTSD (Post-Traumatic Syndrome Disorder). Tidak sedikit yang gagal untuk sembuh dari trauma pasca perang ini. Terlebih dikarenakan mereka mengesampingkan kesehatan mental, efeknya orang-orang ini menjalani sisa-sisa hidupnya dalam trauma mendalam.

2. Gen Z (1995-2012)

Gen Z merupakan generasi kaum muda saat ini yang lahir setelah adanya peristiwa teroris 11/9. Generasi ini ada setelah berakhirnya Generasi Y atau Milenial. Mereka tumbuh di tengah teknologi maju dan cenderung lebih terbuka dengan teknologi-teknologi baru. Ini tentunya berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Namun, karena hal inilah Gen Z menjadi lebih mudah untuk kecanduan gadget. Generasi internet ini juga cenderung hidup di lingkungan yang lebih aman dan stabil jika dibandingkan dengan Silent Generation. Mereka tidak merasakan banyak bencana-bencana sosial yang dapat mengancam nyawa secara nyata sehingga kepribadian mereka cenderung jauh berbeda dengan generasi Silents. Anak-anak muda ini cenderung keras kepala, selalu terburu-buru, dan menyukai hal instan. Mereka juga senang bersenang-senang dan menuruti ego terhadap gaya hidup digital saat ini.

Orang-orang yang lahir sebagai Gen Z juga memiliki kemampuan untuk multitasking, terutama terkait teknologi digital. Mereka cenderung kreatif dalam melihat peluang dengan bantuan teknologi. Karena lingkungan yang lebih nyaman, Gen Z juga lebih mudah untuk mencurahkan sisi emosionalnya, salah satunya dengan bantuan media sosial. Inilah salah satu alasan mengapa mental health menjadi penting di mata kaum muda. Sejak kecil orang-orang ini juga telah diajarkan untuk tidak hanya diam saja ketika mengalami atau menjadi saksi suatu tindakan agresi.Karena itulah, mereka juga lebih berani untuk bertindak dan melapor dibanding hanya diam saja.

Lalu mengapa Gen Z dianggap sebagai mental kentang? Hal ini juga tentu tak lepas dari pengaruh “lingkungan nyaman” yang ada di sekitar mereka. Dibanding dengan ancaman nyawa, mereka cenderung mendapat ancaman sosial. Beberapa akan memiliki anxiety disorder atau gangguan kecemasan karena kurangnya keterampilan komunikasi interpersonal. Anak-anak ini juga seringkali memiliki tingkat stres berlebih akibat tuntutan akademik, tekanan sosial, dan ketidakpastian di masa depan. Banyak keluarga yang menuntut anaknya untuk bisa menjadi seperti yang mereka mau, tidak peduli dengan pendapat dari anak itu sendiri. Alasannya pun cukup banyak, bisa jadi karena keinginan untuk meneruskan usaha orang tua, memperbaiki ekonomi, atau hanya keinginan orang tua semata. Inilah yang menyebabkan banyak dari mereka yang sudah pernah mencoba atau sekadar berpikiran untuk melakukan aksi bunuh diri. Tak sedikit juga yang akhirnya mendapati diri sebagai pengidap penyakit mental tertentu.

Nah, itulah sekilas singkat mengenai perbedaan signifikan antara generasi tradisionalis dan Gen Z. Kita tidak bisa hanya sekadar mengatakan bahwa generasi A lebih baik dari generasi B dan seterusnya. Hal ini tentu dipengaruhi oleh banyak hal dan peristiwa-peristiwa besar yang sedang terjadi saat mereka hidup. Karena itu pasti akan terdapat banyak sekali perbedaan dalam hal konsep kognitif dan cara mengambil keputusan. Seperti halnya penyakit yang semakin hari semakin bertambah jenisnya karena perubahan iklim dan global, penyakit mental pun juga sama. Perlu diingat bahwa cara dunia menempa mental generasi lama dan baru sangatlah berbeda dan ini bersifat mutlak. Karena itu, kita harus lebih fokus pada hal-hal positif yang bisa dilakukan tanpa membandingkan diri dengan orang lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image