Kecerdasan Buatan: Dunia Seni Baru, Tantangan Seni Baru
Teknologi | 2023-06-03 22:53:02Seni dalam era digital banyak menimbulkan perdebatan. Perpaduan kecerdasan buatan (AI) dalam menciptakan sebuah karya seni merupakan hal yang menarik dan inovatif. Sayangnya, hal tersebut memunculkan kekhawatiran akan terancamnya pekerjaan seniman. AI dalam hal ini dapat membuat karya seni hanya dengan perintah berbentuk tulisan. AI memerlukan banyak data set sehingga memerlukan banyak gambar ataupun karya seni yang ada di internet.
Pada tahun 2018, dunia seni dihebohkan dengan “Portrait of Edmond de Belamy” yang berhasil dilelang senilai $432,500 di balai lelang Christie. Karya tersebut merupakan karya pertama yang diciptakan AI dengan menggunakan data lebih dari 15000 lukisan dari abad ke-14. Seniman tentu merasa terganggu dengan harga jual yang fantastis ini. Banyak seniman kontemporer yang kesulitan menjual lukisan dengan harga yang tinggi.
Kehebohan kembali terjadi ketika Jason M Allen berhasil memenangkan Colorado State Fair Fine Arts Competition dengan karya “Théâtre D'opéra Spatial.” Kehebohan tersebut terjadi lantaran Allen menggunakan AI, Midjourney, dalam menghasilkan karyanya. Seniman tentu kesal dengan hal ini. Seniman memerlukan banyak waktu dan teknik dalam menghasilkan karya seni. Sedangkan AI hanya memerlukan perintah tulisan dan data-data lukisan yang tersebar dari internet untuk menghasilkan karya dalam waktu yang singkat.
Selain hal yang telah disebutkan, muncul pertanyaan yang cukup menarik. Apakah karya yang dihasilkan AI dapat disebut seni? Dalam pandangan saya, tentu bisa. Seni tidak terikat oleh apapun. Seni merupakan kebebasan.
AI diciptakan dengan tujuan memudahkan kegiatan manusia. Hal ini berlaku pula pada AI yang menghasilkan karya seni seperti Midjourney atau Dall-e. Jika berbicara mengenai seni digital, AI tentu merupakan bagian didalamnya. Seni memperbolehkan seniman untuk mengeksplorasi apa saja untuk membuat suatu karya. Disinilah kegunaan AI berada, sebagai jembatan antara seniman dengan pengembangan gagasan yang ia miliki. AI dapat mengenali pola dan hubungan dalam gambar untuk menghasilkan karya dengan gaya yang sama.
Hal yang memprihatinkan adalah bagaimana IA meniru gaya seni milik beberapa seniman. Gaya seni yang diciptakan seorang seniman tentu tidak diperbolehkan untuk dicuri. Masalah etika ini tentu saja berkaitan dengan hak cipta. Seni tidak lepas dari komersialisasi dan pencurian gaya lukisan dapat membuat seniman tersebut kehilangan harga pasarannya.
Di era globalisasi, seniman perlu beradaptasi dengan teknologi. Penggunaan AI dalam hal seni tidak dapat kita hindari. Regulasi dari AI sendiri perlu diperbarui karena pencurian gaya yang melanggar hak cipta milik seniman. Seniman perlu meningkatkan konsep, teknik, dan emosi dari hasil karyanya. Hal ini dilakukan mengingat AI yang tidak memiliki emosi dalam menghasilkan karya seni. Nilai jual karya seni hasil tangan manusia ada dalam seberapa rumit teknik yang ia gunakan, seberapa dalam makna dan emosi yang ditunjukkan dalam karya tersebut, dan seberapa penting konteks yang ada dibalik seni tersebut.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.