Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Peran Kritis Mahasiswa

Politik | 2023-06-02 08:21:03

Gerakan mahasiswa dapat digolongkan sebagai salah satu dari gerakan sosial, memiliki peran sebagai agen demokratik yang membawa perubahan. Gerakan sosial sendiri dapat didefinisikan perilaku kolektif berupa trasformasi kesadaran, tentang eksistensi manusia dalam melakukan perubahaan ditengah-tengah atmosfer sistem politik bercorak kesewenang-wenangan serta penuh aroma penindasan.

Ilustrasi gerakan mahasiswa, sumber : https://mudanews.com, Photo : net/ilustrasi

Secara konseptual gerakan sosial dicirikan kerelaan para anggotannya untuk berkorban, serta berkecenderungan memiliki loyalitas kelompok sangat tinggi, sebagai kelompok sosial tidak puas dan kecewa, kemudian bangkit melakukan perlawanan. Gerakan mahasiswa sendiri senantiasa mengancam kemapanan, sebab sebagai kelompok kelas menengah mereka memiliki tugas mulia, sebagai kaum inteligensia yang tidak boleh duduk termangu di menara gading, ketika melihat berbagai penderitaan menimpa bangsanya dari sistem tidak setara dan timpang.

Peran Mahasiswa

Menurut Arbi Sanit dalam buku Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Moral dan Politik (1999), menjelaskan tugas utama mahasiswa membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasanya menyelenggarakan pemerintahan. Menurutnya mahasiswa memiliki beberapa peran sebagai aktor dari pergerakan sosial, yaitu (1) penggagas, (2) penerap, dan (3) pedukung ideologi.

Pertama, peran penggagas, mahasiswa merumuskan jalan keluar dari segala persoalan yang dihadapi bangsa. Peran ini diperankan mahasiswa pada masa pergerakan tahun 1920-an, ketika merumuskan nasionalisme, sosialisme, dan Islamisme sebagai spirit perlawanan menghadapi Belanda. Begitu juga dengan generasi mahasiswa 1966 dan 1998, mereka merumuskan pondasi demokrasi sebagai solusi dari ketidakstabilan dan ketidakpastian sistem politik ketika itu.

Kedua, peran penerap, mahasiswa menanamkan nilai-nilai sistem politik baru yang berbeda dari sistem politik mereka kritisi, bahkan ditumbangkan sebelumnya. Tentu menerapkan nilai baru dalam berpolitik tidak mudah, setelah budaya politik otoritarian tertanam kuat selama puluhan tahun, mahasiswa menjadi percontohan dalam hidup secara egaliter di sistem politik yang baru.

Ketiga, peran pendukung ideologi, mahasiswa senantiasa mendukung sebuah pemerintahan dinilai demokratis menjunjung keadilan dan kesejahteraan. Tentunya dukungan yang diberikan itu sebatas dukungan dalam koridor moral, bukan dukungan yang bersifat politis, karena mahasiswa sendiri bukan sebuah institusi politik memainkan peran politik praktis, tetapi gerakan moral tidak memiliki kepentingan untuk terlibat dan berebut jabatan politik diinstitusi pemerintahan.

Kesadaran Kritis

Mahasiswa harus mempunyai kesadaran kritis bersifat transformatif. Kesadaran kritis menyakini terdapat muatan kepentingan politik dalam semua aktifitas sosial, bahwa praksis sosial tidak bisa dipisahkan dari konteks ekonomi, kultural, dan politik. Tujuan dari kesadaran kritis memberdayakan kaum tertindas, dengan mentransformasi ketidakadilan sosial menjadi sistem egaliter. Kesadaran kritis memiliki karakteristik sangat khas, keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan dalam sistem sosial (Nuryatno, 2011).

Kesadaran kritis yang muncul dikalangan mahasiswa saat ini, seperti oase ditengah gurun pasir kering, tandus, gersang, dan panas. Ia seakan-akan menjadi barang sangat langka, ketika anak muda dimanjakan banyak pilihan “menikmati” kehidupan serba gemerlap, mewah, dan megah. Tentu membentuk kesadaran kritis tidak semudah membalikan telapak tangah, memerlukan kepekaan sosial dan kecerdasan emosi.

Kesadaran sosial sendiri menurut Paulo Freire dalam bukunya We Making The Road By Walking (dalam Kristeva, 2022) membagi kesadaran manusia ke dalam tiga bentuk kesadaran, yaitu (1) kesadaran magis, (2) kesadaran naif, dan (3) kesadaran kritis.

Pertama, kesadaran magis bentuk kesadaran tidak mampu mengaitkan hubungan sebab-akibat antara satu faktor dengan faktor lain, atau menerima kebenaran secara doktriner dan dogmatis, artinya ketika memahami absolutisme kebenaran dari fenomena sosial secara final. Kesadaran magis biasanya bersifat tanpa disertai analisis kritis. Misalnya kasus tanah longsor di sebuah daerah, dimaknai ketentuan adi kodrati harus diterima secara fantalis oleh masyarakat.

Kedua, kesadaran naif manifestasi dari kesadaran memandang faktor manusia sebagai akar penyebab dari segala permasalahan hadir di tengah-tengah masyarakat, sama sekali tidak menggugat munculnya ketimpangan sosial disebabkan struktur sosial timpang. Misalnya memandang faktor kemiskinan disebabkan manusia tidak memiliki semangat need for achievement, atau semangat untuk berkompetisi masih sangat rendah. Kesadaran naif tidak melihat setiap peristiwa sosial secara kritis, padahal salah satu faktor fenomena kemiskinan disebabkan kekeliruan dari kebijakan atau sistem kapitalisme global.

Ketiga, kesadaran kritis permasalahan sosial dilihat dari relasi struktur kekuasaan timpang, penuh penindasan dan ketidakadilan, menghubungkan satu faktor pada faktor lain, atau sebab-akibat. Misalnya memaknai musibah tanah longsor disebabkan penggundulan atau penebangan hutan tidak bertanggungjawab, akibatnya ketika hujan turun tidak terdapat akar pepohonan untuk penahan air, berdampak bencana banjir serta tanah longsor di beberapa daerah tertentu.

Dari ketiga kesadaran sosial itu, kelompok mahasiswa menjadi keniscayaan memiliki kesadaran kritis dalam memandang setiap persoalan sosial terjadi, mereka harus mampu melakukan pembacaan secara cermat dan tepat.

Penutup

Mahasiswa tidak lepas dari peran sebagai aktor perubahan, mereka melakukan perubahan menciptakan sistem konstruktif dalam upaya memperbaiki kondisi bangsa dan menegakan nilai bangsa yang telah tercabik-cabik.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).

Referensi Artikel

1. Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2022. Analisis Sosial : Membentuk Kesadaran Kritis (Yogyakrta : Pustaka Pelajar).

2. Nuryatno, M. Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis. (Yogyakarta : Resist Book).

3. Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Moral dan Politik. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image