Generative A.I. : Teknologi untuk Kebaikan, Keburukan, dan Kelucuan
Teknologi | 2023-06-01 19:44:22Dampak baik dari perkembangan teknologi terkadang juga ditemani oleh dampak buruk yang secara tidak langsung diciptakannya. Contohnya seperti penemuan komputer yang diharapkan dapat mengurangi jam kerja manusia, justru membuat manusia untuk bekerja lebih keras dan menaikkan standar produktivitas. Mirip halnya dengan adanya Artificial Intelligence atau yang disingkat dengan AI, tepatnya Generative AI. Berawal dari sistem chatbots dan agen konversasi, sekarang Generative AI sudah dapat menghasilkan produk digital yang lebih spesifik seperti gambar, suara, musik, artikel dan bahkan video. Salah satu Generative AI yang terkenal adalah model generative adversarial networks model yang disingkat dengan GAN.
Munculnya GAN pertama kali di mata publik menjadi atraksi digital yang menarik dan lucu. Namun, tidak lama setelah itu menjadi objek perdebatan yang sangat kontroversial. Sama seperti pertama kali komputer diciptakan, orang-orang haruslah beradaptasi dengan teknologi itu. Akan tetapi, bagaimana cara kita beradaptasi dengan teknologi yang dapat menggantikan kita sepenuhnya? Kira-kira seperti itulah pikiran publik akan penemuan ini. Di bidang edukasi, upaya anti-AI Generatif sudah banyak dikembangkan. Dibuat sistem untuk mendeteksi apakah karya yang dikirim murid-murid sekolah itu dibuat sendiri oleh murid tersebut atau dibuat otomatis menggunakan AI. Ironisnya, sistem-sistem pendeteksian itu sendiri pun menggunakan teknologi AI untuk mendeteksi campur tangan AI lain.
Di bidang lain seperti karya seni, AI secara kolektif dilihat sebagai sesuatu yang sangat menghancurkan, hingga diadakannya kampanye anti-AI di dalam komunitas mereka. Para artis yang bekerja bertahun-tahun, menyempurnakan gaya gambar mereka, berlatih teori-teori menggambar, dan mungkin menghadapi kritik yang pahit dalam karir menggambar mereka, tiba-tiba tergantikan dengan sistem yang bekerja sangat cepat, akurat dan memberikan gambar yang terlihat selalu indah. Beberapa situs seni telah beradaptasi ke fenomena ini dengan menambahkan kategori khusus “Dibuat oleh AI” untuk mengisolasi gambar-gambar buatan AI dengan gambar-gambar asli yang dibuat manusia. Upaya ini dapat dikatakan sukses walaupun masih banyak artis yang mengalami krisis identitas pada karir menggambarnya.
Intensitas perdebatan mengenai AI Generatif paling tinggi berada di bidang musik dan suara. Teknologi AI di bidang suara membolehkan suara bicara seseorang untuk di “salin” dan diterapkan pada teks sebagai narator, atau pada musik sebagai vokalis. Sudah sering keluar konten yang dibuat oleh AI yang menampilkan suara berbicara seseorang terkenal yang sangat mirip dengan orang itu aslinya. Suara yang mirip itu lalu dapat digunakan untuk menarasi teks cerita, komentar video gim, dan bahkan vokalis pada musik berbeda bahasa. Teknologi penyalinan suara ini dilihat sebagai yang paling berdampak, karena sistem ini memanipulasi sesuatu yang sangat personal, untuk manusia yaitu suara bicara. Berbeda dengan AI generatif pada teks atau gambar, dimana manusia yang terdampak dapat membuat sesuatu yang lebih bagus atau berbeda dari yang dibuat oleh AI, kita tidak bisa mengganti suara berbicara kita dengan mudah. Suara kita sangatlah personal, unik dan menjadi identitas kita. Hal terburuk yang dapat dipikirkan pun terjadi alhasil dari inovasi ini, penipuan yang menggunakan suara dari teman atau keluarga korban. Sudah ada beberapa kasus kriminal yang nyata tentang bagaimana mereka ditipu oleh suara AI yang menyebabkan mereka kehilangan jutaan dolar Amerika.
Dampak voice cloning yang terdengar sangatlah buruk ini nyatanya tidak menjadi fokus dari pandangan publik. Orang-orang lebih mengagumi kemampuan sistem ini pada bidang hiburan. Musik Jepang yang dinyanyikan Presiden Indonesia, tiga Presiden Amerika Serikat bermain video gim bersama, narator berita terkenal menarasikan meme lucu, dan seorang selebriti yang terkenal bijak dibuat untuk menarasikan sesuatu yang sangat eksplisit; adalah beberapa contoh penggunaan teknologi ini untuk hiburan. Namun lagi-lagi, hal ini membawa dampak buruk yang tidak terlihat untuk perusahaan musik. Perusahaan musik yang mensponsori penyanyi-penyanyi merasa bahwa properti nya (vokalis yang bekerja sama dengan perusahaan tersebut) digunakan dengan tidak sah. Walaupun musik yang digunakan bukanlah musik yang di rilis oleh perusahaan tersebut, perusahaan musik merasa bahwa suara vokal yang di buat itu juga menjadi properti dari mereka. Hal ini menjadi kasus terbuka umum yang masih sering dibicarakan hingga saat ini.
Beberapa hal diatas menciptakan pandangan bahwa teknologi ini dibuat untuk tujuan yang tidak mulia, dan kata “AI” sekarang berkonotasi buruk, kemalasan, dan tidak etis. Pandangan masyarakat ini mungkin dikarenakan berita-berita mengenai keburukan AI yang paling sering keluar. Namun di belakang, AI sebenarnya sangat penting untuk kehidupan manusia. Salah satu penerapan AI dikenal dengan nama teknisnya “Expert System” ini menjadi fondasi dari banyak program-program komputer yang kita gunakan hari ini. Contohnya adalah penerapan expert system di bidang medis. Dokter dapat mendiagnosis seseorang dengan cepat karena bantuan expert system yang menganalisis ribuan atau jutaan gambar-gambar medis per detik. Sistem penanganan COVID-19 juga seringkali menerapkannya untuk mengurangi penyebaran, menganalisis pasien, dan lain-lain. Teknologi AI bukanlah suatu hal yang baru. Banyak artikel ilmiah yang membicarakan tentang penerapan AI di tahun 2000 ke bawah. Kecepatan pengembangan AI yang eksponensial dan kurangnya awareness dari pengguna menjadi alasan yang masuk akal akan kenapa orang-orang terkejut akan kemampuannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.