Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denny Kodrat

Mewujudkan Teacher Wellbeing dengan Jabar Juara Lahir Batin

Edukasi | Thursday, 01 Jun 2023, 13:42 WIB

“Sekolah Juara untuk Semua” demikian tagline pada spanduk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang terpampang di sekolah-sekolah negeri Provinsi Jawa Barat. Moto tersebut derivasi visi “Jabar Juara Lahir Batin dengan inovasi dan kolaborasi.” Semangat inovasi dan kolaborasi selaras dengan keahlian yang harus dikuasai oleh peserta didik di abad 21 ini, bahkan pembelajaran abad 21 tersebut diperkuat dengan kebijakan “Sekolah Ramah Anak” (SRA) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan siswa (student wellbeing) dalam proses belajar di sekolah. Menuntut ilmu dilandaskan dengan cinta dan kebahagiaan. Belajar tidak lagi menjadi beban dan tuntutan, namun kebutuhan untuk membangun peradaban.

Secara logis, SRA dan student wellbeing tidak akan berjalan optimal meski regulasi dan kebijakan telah memperkuat program tersebut, tanpa pemegang kebijakan, dalam hal ini pemerintah daerah, bila dalam implementasinya mengabaikan kesejahteraan guru (teacher wellbeing). Kesejahteraan yang dimaksud bukan hanya aspek kesejahteraan finansial, namun perlindungan hukum dan jaminan karir.

Ironi Teacher Wellbeing

Kegaduhan kebijakan terhadap karir guru sempat terjadi di Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu, tepatnya saat terjadi seleksi calon pengawas pada pertengahan April 2023. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menghentikan proses seleksi dengan alasan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 29 Tahun 2023, tentang Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Guru, Jabatan Fungsional Pamong Belajar, Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah, dan Jabatan Fungsional Penilik. Peserta seleksi merasa kecewa karena proses seleksi pengawas ini dihentikan di tengah jalan saat seluruh persyaratan telah lengkap diunggah. Salah satu syarat yang sulit dipenuhi untuk mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan oleh instansi induk, yaitu sertifikat guru penggerak. Dinas Pendidikan, dalam hal ini Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), tidak memberikan klarifikasi yang memadai kepada seluruh peserta seleksi hingga saat ini.

Selepas kegaduhan tersebut, guru-guru yang memiliki sertifikat guru penggerak diundang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagai calon peserta uji kompetensi yang akan dilaksanakan 5 Juni 2023, dengan menggunggah beberapa persyaratan diantaranya pindaian ijazah, SK PNS, sertifikat pendidik, sertifikat guru penggerak dan juga mengisi curriculum vitae dan pengalaman berorganisasi serta membimbing. Kegaduhan muncul kembali saat seluruh guru penggerak Jawa Barat dinyatakan tidak lolos administrasi uji kompetensi disebabkan Dinas Pendidikan terlambat mengirimkan surat ajuan yang ditandatangani Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), dalam hal ini Gubernur. Artinya, dalam kurun dua bulan sudah dua “tindakan” pemerintah daerah menyingguh ranah teacher wellbeing.

Betapa tidak, rasa kecewa yang dialami guru-guru yang mengikuti seleksi wajar terjadi. Mereka sudah mengorbankan waktu, tenaga, uang, dan urusan lainnya. Pascapembatalan dan keputusan tidak lolos uji kompetensi karena dinas terlambat menyampaikan usulan lagi-lagi menambah dalam kekecewaan. Padahal, guru adalah garda terdepan (front liner officers) dalam mendidik anak bangsa. Tidak adil rasanya, bila pemerintah menuntut guru untuk mewujudkan student wellbeing, namun hak-hak guru dalam berkarir tidak mendapatkan jaminan yang memadai.

Kampanye Youtube dan Isu Mental Health

Provinsi Jawa Barat memiliki cara unik dalam proses seleksi calon pengawas, salah satunya, peserta calon pengawas memaparkan mengapa mereka layak menjadi pengawas dalam video berdurasi maksimal 60 detik, diunggah ke Youtube. Sekilas hal ini baik, bahwa guru-guru yang menjadi calon pengawas memiliki segudang prestasi dan visi saat kelak ia menjadi pengawas. Ratusan bahkan ribuan orang menonton, memberikan komentar, dan like. Namun sejatinya ada yang terlewatkan. Perlindungan terhadap marwah guru saat mereka dinyatakan gagal mengikuti seleksi. Tidak sedikit guru-guru yang seharusnya dijaga marwahnya, kesehatan mentalnya, mengalami masalah mental health, rasa malu, kecewa dan tentunya mengecewakan siapa saja yang telah mendukungnya, terlebih alasan gagalnya tersebut tidak ia dapatkan secara memadai. Padahal, ada cara menilai yang lebih humanis, yang dapat dilakukan oleh panitia seleksi, yaitu membuka database aplikasi TRK yang setiap hari diisi oleh para guru (aktivitas harian), kuisioner, penilaian 360 derajat, bahkan hasil asesmen talent yang rutin dilaksanakan setahun sekali oleh BKD. Jika itu dirasa tidak cukup, panitia seleksi dapat mengujinya dengan berbagai platform, dengan tetap menjaga marwah dan kesehatan mental peserta seleksi.

Pemerintah pusat melonggarkan syarat menduduki Jabatan Fungsional Pengawas dengan persyaratan minimal golongan pangkat 3c, penata, memiliki sertifikat pendidik dan guru penggerak, memiliki prestasi kinerja tahunan baik, sarjana (S-1), sehat jasmani rohani dan memiliki sertifikat lulus uji kompetensi, disaat diperlukan ratusan pengawas di Jawa Barat. Lalu pertanyaan menggelitiknya, kenapa pemerintah daerah menetapkan tambahan syarat yang nampaknya lebih sulit daripada pemerintah pusat?

Keterbukaan, komunikasi dan tegak lurus terhadap peraturan perundang-undangan diperlukan agar setiap guru dijamin karirnya untuk bersama-sama mewujudkan visi Jabar Juara Lahir Batin tersebut.

Pendidikan merupakan sektor unik. Ia memang tidak seseksi bidang ekonomi, politik, energi, pariwisata, dan hiburan. Namun, ia selalu ada pada bidang-bidang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia. Dalam hal ekonomi, tidak ada negara yang Produk Domestik Bruto (PDB) rendah, memiliki kualitas pendidikan tinggi. PDB dan mutu pendidikan selalu berjalan seiring. Maka, pihak yang mengelola dan menjadi stakeholders pendidikan harus hati-hati membuat kebijakan, terlebih yang berkaitan dengan nasib guru. Rumus sederhana dalam pendidikan, inti dari pendidikan adalah kegiatan pembelajaran. Dan inti dari kegiatan pembelajaran adanya interaksi antara guru dan siswa. Terobosan yang dilakukan oleh Kementerian seyogyanya diikuti pula dengan perubahan mindset pengelolaan pendidikan di tingkat pemerintah daerah. Guru-guru muda, yang kelak akan senior, perlu dibimbing dan diberi kesempatan mengembangkan kompetensinya agar ia lebih mencintai pekerjaan yang tidak seksi dan kalah sejahtera dibandingkan sektor lain. Guru-guru senior terus dikembangkan dan dimotivasi untuk berbagi praktik baik pembelajaran kepada guru-guru muda.

Pendidikan dan pelatihan seperti pendidikan guru penggerak, sekolah penggerak, musyawarah guru mata pelajaran, seminar dan lokakarya sejenis terus ditingkatkan agar guru-guru semakin terasah kompetensi profesional dan pedagoginya. Tidak ada lagi dikotomi guru penggerak dan bukan penggerak, yang saat ini tajam terjadi di lapangan. Sebagaimana tidak ada lagi pembeda istilah antara guru sertifikasi dan non sertifikasi. Semuanya insan pendidik yang memiliki hak untuk dijaga marwah dan kesejahteraannya untuk kemajuan peradaban.

Tantangan dan Harapan

Market place” guru seperti platform belanja di berbagai layanan situs. Meski barang ini belum jelas seperti apa dan belum terbit regulasi yang mendasarinya, namun publik dan pengamat pendidikan kembali terbawa gaduh. Bahwa solusi “kreatif” atas masalah yang berlarut-larut di sekolah negeri (tenaga/guru honorer) perlu dilakukan agar tuntas, semua kalangan nampak setuju. Namun cara komunikasi kepada publik dengan diksi yang lebih berterima, itupun perlu dipertimbangkan. Meski saat ini pendidikan di Indonesia sudah menjadi bagian industri, namun banyak kalangan pendidik yang belum menerima realita tersebut. Pendidikan disandingkan dengan bisnis, ibarat menggabungkan air dan minyak. Padahal secara fakta, dengan digulirkannya Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), industri dan pendidikan sudah berada pada frekuensi yang sama. Di perguruan tinggi, pengajar praktisi yang berasal dari kalangan profesional, pengusaha, dunia industri, sudah hilir mudik ke kampus. Begitupun sebaliknya, mahasiswa mengambil program magang dan studi independen bersertifikat (MSIB) yang hasilnya dilakukan pengakuan angka kredit (konversi nilai).

Bisnis pendidikan dengan “market place” ini nampaknya akan dicoba oleh kementerian di 2024 nanti. Agar secara real time, sekolah yang kekurangan guru dapat mengakses semacam aplikasi untuk menawarkan lowongan pekerjaan kepada sekian juta guru dari kalangan freshgraduate. Mungkin mirip-mirip media sosial linkedin cara kerjanya. Tentunya, dalam konteks mewujudkan teacher wellbeing, dinas pendidikan dan asosiasi profesi perlu berkolaborasi dalam memastikan apakah guru-guru di Jawa Barat ini mendapatkan hak yang sama dalam bekerja dan mengembangkan karir, ataukah ia dibiarkan terlantar memperjuangkan nasibnya sendiri. Selain itu, perlu ditanamkan jiwa negarawan kepada pejabat publik di tingkat daerah bahwa memperjuangkan nasib guru sesungguhnya sama dengan membangun masa depan peradaban. Bisa dibayangkan bila profesi guru kehilangan peminatnya, guru-guru beralih profesi dan bekerja di sektor lain, dapatkah kepala dinas dan jajarannya menjadi guru, datang ke sekolah, mengajar menggantikan guru-guru tersebut sebagai akibat tidak dirawatnya teacher wellbeings. Semoga tidak!

Almarhum Prof Nana Syaodih pernah menyatakan bahwa landasan mendidik adalah cinta (love). Seorang guru saat ia membimbing, mendidik dan mengajar harus berlandaskan cinta. Dengan hal ini, tidak akan ada diskriminasi dan tentunya pasti ramah anak. Bila ditarik secara luas, pengelolaan bidang pendidikan pun juga sama. Ia harus berlandaskan cinta dan kasih sayang. Guru merupakan profesi yang berupaya menghaluskan budi pekerti siswa, menajamkan pola pikir dan mengasah keterampilan. Bila tidak dengan cinta, guru pasti gagal mendidik siswa yang diharapkan bangsa ini. Pemerintah daerah tentunya harus memiliki cinta dalam mengelola guru. Jangan semata-mata demi kepentingan mengamankan jabatan, kebijakan yang dihasilkan menodai rasa cinta. Guru posisi yang lemah dan di bawah bila dilihat dari hirarki birokrasi. Namun, bangsa yang beradab dan maju, tentunya tidak akan pernah menzhalimi guru yang berposisi lemah tersebut. “Jabar Juara Lahir Batin” semoga selalu menjadi nafas pemerintah daerah dalam menjaga teacher wellbeing.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image