Cancel Culture di Indonesia
Info Terkini | 2023-05-30 16:23:10Akhir-akhir ini, media sosial Indonesia diramaikan dengan istilah Cancel Culture. Saat ada selebriti yang terkena skandal, warganet langsung menyebutkan istilah tersebut. Istilah tersebut merujuk pada bentuk boikot atau ajakan menolak yang ditujukan pada suatu acara, merk, film, ataupun seseorang. Akan tetapi, saat ini banyak orang menggunakannya untuk mengajak mem-boikot seorang selebriti.
Apakah Cancel Culture bisa diterapkan di Indonesia? Di Indonesia, penggunaan media sosial semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini memungkinkan para pengguna untuk menyuarakan pendapat mereka secara bebas dan mengorganisir gerakan pembatalan. Cancel Culture di Indonesia sering kali muncul dalam konteks masalah sosial, politik, dan isu-isu keagamaan.
Beberapa orang menggunakan Cancel Culture sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan sosial dan mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap perilaku yang dianggap tidak etis atau melanggar nilai-nilai masyarakat. Dalam beberapa kasus, Cancel Culture telah mengakibatkan orang atau perusahaan mengubah perilaku mereka, meminta maaf, atau bahkan mengalami konsekuensi yang signifikan seperti kehilangan pekerjaan atau reputasi yang tercoreng. Di sisi lain, Beberapa orang berpendapat bahwa pendekatan ini dapat berdampak negatif dalam beberapa hal. Misalnya, ada kekhawatiran bahwa pembatalan dapat mengarah pada penghakiman yang cepat dan tidak adil tanpa memberikan kesempatan untuk pembelajaran, perbaikan, atau pemulihan. Selain itu, ada juga risiko manipulasi atau penyalahgunaan cancel culture untuk tujuan yang tidak benar atau untuk membungkam orang yang memiliki pendapat berbeda.
Filsuf Karl Marx, seorang ahli diskusi tentang teori konflik sosial dalam masyarakat, melihat perubahan sebagai konflik. Konflik tersebut muncul di antara kelompok atau kelas dalam masyarakat dan mempengaruhi semua perubahan sosial. Belakangan, perubahan memunculkan kelompok atau kelas sosial baru yang berbeda dari kelompok yang menciptakan konflik. Teori konflik menunjukkan bahwa budaya pembatalan pada dasarnya adalah konflik atau pertentangan antara dua kelompok yaitu orang-orang terkenal seperti artis, politikus, musisi sebagai kelompok elite dan masyarakat umum sebagai kelompok inferior. Hal ini akhirnya menimbulkan kelompok baru yang ingin memisahkan identitas kelompok baru ini dari dua kelompok kelas.
Sebagai contoh, saat seorang public figure bertindak atau mengataka hal yang tidak sesuai nilai masyarakat lalu masyarakat mengetahuinya dan akan berusaha meng-cancel orang tersebut sehingga karir public figure tersebut hancur. Hal ini akan menjadi contoh kepada public figure lainnya untuk tidak bertindak melakukan hal yang sama, sehingga mereka akan selalu menjaga perkataan dan ucapan mereka untuk menjaga kestabilisan karir mereka.
Di Indonesia, fenomena Cancel Culture baru muncul sekitar tahun 2019 dan terpusat di Pulau Jawa. Budaya spill atau mengungkap suatu rahasia di media sosial turut meningkatkan fenomena Cancel Culture. Di Indonesia, Cancel Culture paling banyak menyerang pelaku yang diduga melakukan pelecehan secara seksual atau Tindakan yang melawan norma.
Contoh kasus Cancel Culture di Indonesia adalah kasus Arawinda yang terkena skandal perselingkuhan dengan suami wanita lain. Hal tersebut membuat orang-orang melakukan cancel culture terhadap Arawinda dan enggan menyaksikan film yang dibintangi oleh Arawinda. Akan tetapi, tidak semua orang melakukan Cancel Culture terhadap Arawinda. Mereka beranggapan bahwa hal personal aktris tidak ada hubungannya dengan film yang ia bintangi. Sehingga tidak apa meliha film tersebut terlepas dari masalah aktrisnya. Mengakhiri karir figur publik melalui cancel culture bukanlah hal yang mudah. Sebagian dari mereka memang benar-benar menghadapi penilaian negatif dan kritik. Tetapi tidak banyak dari mereka yang karirnya sepenuhnya berakhir akibat gerakan tersebut.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.