Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image hany puspa pratiwi

Ini Alasan Mengapa Momen Lebaran Menjadi Menakutkan.

Info Terkini | Monday, 29 May 2023, 22:31 WIB

Pernahkah kalian diberikan pertanyaan ‘kapan nikah?’, ‘Kapan lulus?’, ‘Kapan punya momongan (anak)?’, dan pertanyaan-pertanyaan lain seputar pencapaian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul ketika dirasa kita sudah menempuh usia yang semestinya atau awamnya telah mencapai hal-hal tersebut. Namun mengapa hal tersebut terjadi? Tidak jarang kita merasa terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apakah hal tersebut hanya sebatas basa-basi?

Hal tersebut ternyata tidak hanya sebatas basa-basi dan dapat dianalisis secara sosiologis. Pertanyaan-pertanyaan di awal yang dirasa merupakan pencapaian pada waktu atau umurnya ini merupakan hasil dari bagaimana yang awamnya terjadi. Pemahaman awam ini merupakan hasil dari dominasi atau maraknya nilai yang dipahami masyarakat. Padahal kita sadari bahwa hidup itu tidak hanya sebatas hitam dan putih. Banyak faktor-faktor dalam kehidupan kita sehari-hari yang mempengaruhi atau mendeterminasi alur hidup kita.

Untuk menjadi apa yang kita inginkan, tidak hanya membutuhkan modal, media (arena), dan juga kebiasaan (habitus). Tiga konsep mengenai modal, media (arena), dan juga kebiasaan (habitus) merupakan konsep yang dikemukakan oleh sosiolog postmodern Pierre Bourdieu. Dari konsep ini manusia dapat menjadi apa yang mereka inginkan jika memiliki modal (baik material, sosial, budaya, prestise, dll), media atau wadah, dan juga kebiasaan yang membangun suatu individu untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Contohnya, di saat kita ingin menjadi musisi, kita memerlukan modal seperti kemampuan dan juga instrumen atau alat musik, tidak hanya itu kita juga membutuhkan wadah untuk dapat berkreasi dan berekspresi (gigs, acara manggung, festival, dan lain-lain), dan yang terakhir kebiasaan (habitus) yang mendukung kita menjadi musisi seperti memperdalam ilmu musik.

Hal tersebut sayangnya tidak benar-benar sesuai dengan kondisi di kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kita sebagai individu untuk mencapai apa yang kita inginkan. Salah satu faktor penghambat untuk kita mencapai tujuan kita adalah nilai-nilai atau simbol yang dimaknai secara awam oleh masyarakat. ‘Jadi musisi? Emang ada duitnya’, nah anggapan-anggapan tersebut diciptakan oleh anggapan awam dan juga realitas di masyarakat bahwa sukar bagi musisi untuk dapat sejahterah. Anggapan-anggapan awam semacam itu disebut sebagai dominasi simbolik oleh Pierre Bourdieu. Anggapan-anggapan yang mencapai proses menguasai ini menjadi penghambat bagaimana kita dapat mencapai tujuan kita masing-masing.

Lalu apakah jika kita menolak anggapan awam, maka kita tidak realistis? Anggapan awam untuk bisa dikatakan realistis sangat susah, karena bukan berarti anggapan yang awam atau orang banyak percayai bisa dikatakan logis. Namun sebaliknya, bukan berarti pendapat yang kita percayai pribadi juga bisa menjadi logis. Solusinya adalah bagaimana kita dapat mencampurkan kedua anggapan yang berasal dari diri sendiri dan juga orang lain dengan memberikan tolok ukur atas apa yang terjadi di realita kita sehari-hari. Sehingga kita dapat mengetahui apa yang benar-benar seharusnya kita lakukan untuk langkah selanjutnya.

Referensi

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image