Sapi Potong dan Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara
Kebijakan | 2024-11-04 21:45:48Ketika kita menelusuri jejak sejarah kebijakan peternakan di Indonesia, terutama dalam konteks pengembangan sapi potong, kita tidak bisa mengabaikan peran krusial dari keputusan pemerintah. Upaya untuk mencapai swasembada daging sapi telah melibatkan serangkaian kebijakan yang bergulir dalam periode-periode kritis. Dari periode awal 2000-2005 yang belum mampu memenuhi target, hingga periode berikutnya 2006-2010 yang juga menghadapi kendala serupa, tantangan dalam mencapai swasembada daging sapi tetap terasa. Meskipun Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) pada periode 2010-2014 menetapkan target ambisius untuk memenuhi 90% kebutuhan daging sapi nasional dari produksi dalam negeri, realitas masih belum sepenuhnya tercapai.
Dalam menghadapi tantangan ini, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewanmeluncurkan Masterplan Pengembangan Peternakan pada tahun 2015dengan fokus khusus pada pengembangan peternakan sapi potong di seluruh provinsi. Rangkaian kebijakan ini, yang meliputi UU No. 18 Tahun 2009, PP No. 48/2011, serta Permentan No. 48 dan No. 64/2011 mengenai pengelolaan sumber bibit, menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan sektor ini. Tak kalah penting, dukungan pemerintah daerah memainkan peran vital dalam merealisasikan kebijakan ini, menjadikan pengembangan sapi potong sebagai bagian integral dari strategi nasional untuk ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi.
Di tengah keindahan alam dan kekayaan budaya Sulawesi Tenggara, terdapat potensi ekonomi yang kian menjanjikan yaitu usaha peternakan sapi potong. Tulisan ini mengeksplorasi pengembangan sapi potong di Provinsi Sulawesi Tenggara, sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki potensi pertanian besar. Sulawesi Tenggara menghadapi tantangan dan peluang unik dalam pengembangan sektor peternakankhususnya sapi potong, yang memainkan peran penting dalam ekonomi dan sosial regional. Sapi potong tidak hanya sebagai sumber pangan, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan pendapatan peternak, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan berkelanjutan.
Kondisi saat ini
Dengan data dari Badan Pusat Statistik, populasi sapi potong di Sulawesi Tenggara rata-rata mencapai 360.757 ekor dalam lima tahun terakhir. Sulawesi Tenggara, khususnya Kabupaten Konawe Selatan, ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit sapi Bali menurut SK Menteri Pertanian Nomor: 803/Kpts/PK.030/12/2016. Peternak sapi Bali di Kabupaten Konawe Selatan sebagian besar adalah peternak rakyat, yang berperan penting dalam penyediaan bibit. Sebagian besar usaha peternakan sapi Bali dimiliki oleh masyarakat setempat, menawarkan peluang pengembangan yang signifikan.
Dalam disertasi Musram Abadi (2024) berjudul "Model Pengembangan dan Keberlanjutan Kawasan Sentra Bibit Sapi Bali Berbasis Peternakan Rakyat Di Kabupaten Konawe Selatan", dikemukakan bahwa penyediaan bibit sapi Bali berkualitas secara berkesinambungan sangat penting. Upaya pengembangan ini membutuhkan kerja sama antara pemerintah, peternak, dan stakeholders terkait untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit.
Sapi Baliyang berasal dari banteng yang telah dijinakkantermasuk dalam familia Bovidae, genus Bos dan subgenus Bibovinemenyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan negara lain. Sapi Bali dikenal karena kemampuan reproduksi tinggi dan kemampuannya sebagai ternak kerja. Pemeliharaan sapi Bali di Sulawesi Tenggara dibedakan menjadi tiga sistem diantaranya yaitu sistem intensif, semi-intensif, dan ekstensif terkontrol. Sistem pemeliharaan ini mempengaruhi pola usaha, yang terdiri dari penggemukan dan pembibitan. Penggemukan dilakukan dengan memanfaatkan hasil perkebunan, sedangkan pembibitan seringkali kurang diminati karena memerlukan waktu pemeliharaan panjang.Menurut penelitian Nafiu et al. (2020) bahwa sistem pemeliharaan ekstensif terkontrol atau tradisional masih sangat donimanan di wilayah Sulawesi Tenggara.
Peluang dan tantangan
Populasi sapi potong yang tinggi di Sulawesi Tenggara menawarkan potensi besar untuk menambah nilai tambah dalam usaha ternak dan meningkatkan konsumsi protein hewani. Pengembangan sapi potong memerlukan strategi dan kebijakan, termasuk pencegahan pemotongan ternak betina produktif, optimalisasi inseminasi buatan, pemberdayaan rumah potong hewan (RPH), pengembangan integrasi ternak dan tanaman, serta penyediaan teknologi pakan dan sarana ternak.
Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa sapi adalah komoditas basis di beberapa kabupaten seperti Muna, Konawe, Konawe Selatan, Bombana, Buton Utara, dan Konawe Utara. Namun, dalam jangka panjang, hanya Kabupaten Konawe Selatan dan Konawe Utara yang memiliki potensi sapi sebagai komoditas basis yang signifikan. Pengembangan sapi potong di wilayah ini perlu dilakukan dengan keterlibatan semua pihak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan memastikan keberlanjutan sektor peternakan.
Pengelolaan ternak sapi di Sulawesi Tenggara masih tradisional dengan skala kecil (1-5 ekor) dan kualitas pakan serta teknologi yang rendah. Hal ini menyebabkan penurunan performa sapi bali karena seleksi negatif dan inbreeding. Program pembibitan sapi bali menghadapi tantangan seperti biaya tinggi, masa panen lama, dan risiko seperti wabah penyakit dan bencana alam. Meskipun pemerintah telah melaksanakan program dan riset, fokusnya masih di balai pembibitan, belum pada peternakan rakyat.
Menurut Abdullah et al. (2014; 2019) bahwa salah satu tantangan peningkatan produktifitas ternak sapi bali pada peternakan rakyat diantaranya adalah kurangnya pengetahuan peternak terhadap teknologi peternakan dan kebutuhan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayah peternak, sehingga teknologi bidang peternakan sangat dibutuhkan mengingat minimnya pengetahuan peternak dalam pengelolaan usaha ternaknya.
Starategi dan solusi
Pengembangan berkelanjutan memerlukan perbaikan mutu bibit dan pakan, kondisi ekonomi, sosial budaya peternak, serta penguatan kelembagaan dengan model pembibitan berbasis peternakan rakyat. (1) Peningkatan mutu bibit dan pakan meningkatkan produktivitas ternak,yang berimbas pada kualitas produk dan daya saing di pasar. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sektor peternakan yang produktif juga dapat menarik investasi dan pengembangan infrastruktur, yang mendukung pengembangan wilayah secara keseluruhan; (2) Peningkatan ekonomi peternak melalui pelatihan, akses ke modal, dan teknologi berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan peternak yang meningkat meningkatkan daya beli dan konsumsi lokal, yang merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah.
Selain itu, keberhasilan ekonomi peternak dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup, mendukung pengembangan wilayah yang inklusif; (3) Peningkatan kondisi sosial budaya peternak, seperti melalui pendidikan dan pelatihan, memperkuat kapasitas komunitas untuk beradaptasi dengan perubahan dan mengelola usaha dengan lebih baik. Kesadaran sosial dan budaya yang lebih baik mendukung kerjasama antar peternak dan pemangku kepentingan lainnya, memperkuat jaringan sosial, dan meningkatkan stabilitas sosial, yang penting untuk pengembangan wilayah yang harmonis; (4) Penguatan kelembagaan, seperti lembaga peternakan dan kelompok tani, meningkatkan efisiensi manajemen, pengambilan keputusan, dan akses ke sumber daya. Kelembagaan yang kuat mendukung koordinasi yang lebih baik antara peternak, pemerintah, dan pihak swasta, mempercepat implementasi program pengembangan, dan mendorong inisiatif lokal yang berkontribusi pada pengembangan wilayah; (5) Model pembibitan yang berbasis pada peternakan rakyat memungkinkan adaptasi dengan kebutuhan lokal dan kondisi spesifik wilayah.
Model ini mendukung keberlanjutan usaha ternak sapi potong dengan melibatkan komunitas lokal secara langsung, mempromosikan partisipasi aktif dalam proses pengembangan, dan memastikan bahwa manfaat ekonomi dari pengembangan peternakan dirasakan secara merata di seluruh wilayah. Secara keseluruhan, upaya untuk memperbaiki aspek-aspek tersebut mendukung pengembangan wilayah dengan menciptakan ekonomi yang lebih dinamis, masyarakat yang lebih sejahtera, dan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Ini mendorong pertumbuhan wilayah secara holistik, mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan untuk mencapai kemajuan yang menyeluruh.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.