Hustle Culture, Produktif atau Gila Kerja?
Gaya Hidup | 2023-05-26 12:32:53Terdapat suatu kutipan dari seorang penulis bernama Brianna Wiest yang akan mengubah cara berpikir kita tentang hidup ini. “Kenyataan yang lucu adalah bahwa orang yang mencapai hal-hal luar biasa tidak pernah menganggapnya luar biasa; mereka berpikir hal tersebut sebagai hal yang normal/umum”. Dengan menormalkan hal tersebut itulah yang membuatnya menjadi pola hidup dan rutinitas. Jadi segala upaya yang telah dilakukan pantas untuk dihargai.
Hustle Culture, sebuah frasa yang menggambarkan keadaan mayoritas pekerja dan mahasiswa sekarang ini. Hustle Culture berasal dari kata bahasa Inggris, hustle, memiliki arti energik, kondisi dimana seseorang bekerja lebih keras, lebih cepat, serta agresif dalam melakukan sesuatu, dan culture, yang berarti kebiasaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. Pengertian menurut pakar psikologi menyatakan bahwa hustle culture adalah budaya yang membuat seseorang menganut workaholism atau gila kerja (Setyawati, 2020). Hingga saat ini, hustle culture diartikan sebagai budaya yang hanya terfokus dalam suatu pekerjaan tanpa memperhatikan aspek apapun di sekitarnya. Dengan kata lain: Tiada hari tanpa bekerja dan karena itu tidak ada waktu untuk kehidupan pribadi. Budaya gila kerja ini telah menjadi tolok ukur bagi sebagian orang untuk mengukur hal-hal seperti produktivitas dan pencapaian.
Pada dasarnya bekerja keras adalah hal yang positif, tetapi ketika seseorang tersebut begitu fokus pada pekerjaannya hingga lupa akan kapasitas dirinya, saat itulah masalah muncul. Orang-orang yang terjebak dalam budaya hiruk pikuk seringkali tidak menyadari masalah yang muncul karena sudah begitu mendarah daging sehingga menjadi suatu kebiasaan yang mereka lakukan setiap hari. Akibatnya, mereka tidak bisa lagi mengenali respon negatif tubuh untuk istirahat saat membutuhkannya. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa berbahaya bagi tubuh. Mengutip dari hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Current Cardiology Reports, pekerja yang bekerja lebih dari 55 jam dalam sehari memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti jantung koroner. Kebiasaan kerja lembur juga ditemukan menjadi salah satu faktor pemicu penyakit diabetes, hipertensi, aritmia, dan bahkan stroke.
Pada umumnya hustle culture ini berlaku pada dunia kerja, namun sekarang ini sebagian besar mahasiswa mulai mengikuti arus hustle culture ini. Bagaimana tidak, hampir seluruh mahasiswa mulai memiliki pola pikir bahwa semakin banyak belajar, bekerja, maupun kegiatan sejenisnya tanpa memperhatikan aspek apapun akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Secara hasil memang benar adanya. Namun, apakah hal tersebut dapat menjamin kelancaran hidup mahasiswa? Tentu tidak. Kesehatan mental dan fisik akan terganggu karena penerapan prinsip hustle culture. Mengapa bisa terganggu? Mahasiswa yang memegang prinsip hustle culture ini selalu memprioritaskan pekerjaan mereka tanpa mempedulikan kapasitas tubuh mereka baik secara fisik maupun mental.
Fakta menyatakan bahwa tidak sedikit dari mahasiswa sekarang ini mengalami gejala burnout. Secara etimologis, burnout berasal dari bahasa Inggris yang berarti kelelahan, suntuk, yang diakibatkan oleh tingkat stres yang tinggi. Tidak lain dan tidak bukan stres tersebut berasal dari hasil penerapan hustle culture ini. Menurut Salmela-Aro & Upadyaya (2014), academic burnout sangat berpotensi untuk terjadi ketika beban dan tuntutan eksternal yang dialami seorang individu melebihi sumber daya yang tersedia. Dilansir dari LM Psikologi UGM, salah satu komponen dari academic burnout yaitu exhaustion. Aspek exhaustion mengacu pada keadaan kelelahan intens secara emosional maupun fisik akibat tuntutan pekerjaan yang berlebihan (Seidler et al., 2014; Adler-Milstein et al., 2020). Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa mayoritas mahasiswa sedang berada pada fase exhaustion yang tinggi. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa academic burnout yang disebabkan oleh penerapan hustle culture memberikan dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental mahasiswa.
Dalam akhirnya, hustle culture adalah fenomena yang kompleks dan bervariasi dalam interpretasinya. Penting untuk mengadopsi pendekatan yang bijaksana terhadap kerja keras dan aspirasi pribadi kita, dengan memperhatikan kesehatan, keseimbangan hidup, dan hubungan sosial. Meskipun hustle culture telah menjadi budaya yang sangat melekat bagi masyarakat, perlu diakui bahwa ada perspektif yang berbeda terkait dengan pendekatan ini. Sementara beberapa orang melihatnya sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk mencapai kesuksesan, yang lain mengkritik dampaknya yang mungkin merugikan pada kesehatan mental, keseimbangan hidup, dan pandangan holistik tentang kebahagiaan dan keberhasilan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.