Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karina Octaviana Dwi Rahmawati

Kedudukan Artificial Intelligence sebagai Subjek Hukum

Teknologi | Thursday, 25 May 2023, 15:18 WIB
Sumber : Shutterstock

Pesatnya perkembangan teknologi menghasilkan sebuah Kecerdasan Buatan atau biasa disebut Artificial Intelligence (AI) yang menjadi salah satu topik hangat perbincangan dunia. Ketika mendengar istilah tersebut hal pertama yang terlintas di pikiran adalah robot buatan. Tidak dapat dipungkiri, hal itu terjadi karena banyak animasi dalam film atau cerita yang mengekspresikan demikian. Sebagai contoh Film The Terminator (1984), Robo Cop (1987), AI : Artificial Intelligence (2001), A Space Odyssey (2001), I Robo (2004), Avangers : Age of Ultron (2012), Her (2013), Ex Machina (2014).

AI adalah simulasi proses kecerdasan manusia oleh sebuah teknologi yang dinamakan machine learning, terutama sistem komputer. Machine learning merupakan bidang ilmu komputer yang berasal dari disiplin kecerdasan buatan. Pada intinya, machine learning adalah kumpulan algoritma yang dapat mempelajari dan membuat prediksi berdasarkan data yang direkam, mengoptimalkan fungsi utilitas yang diberikan dalam ketidakpastian, mengekstrak struktur data tersembunyi, dan menggolongkan data menjadi deskripsi singkat. Aplikasi spesifik AI meliputi sistem pakar, pemrosesan bahasa alami, pengenalan suara, dan visi mesin. Secara umum, sistem AI bekerja dengan menyerap data pelatihan berlabel dalam jumlah besar, menganalisis data untuk korelasi dan pola yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi keadaan di masa mendatang.

Seiring berjalannya waktu, AI akan mengalami kemajuan yang lebih pesat dibanding manusia. Namun, perkembangan AI menjadi tantangan baru yang harus dihadapi dengan berbagai dampak yang ditimbulkan, seperti yang telah disampaikan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, pada November 2018 dalam pembukaan Indonesia Science Expo (ISE). Beliau menyampaikan kekhawatirannya terhadap ancaman-ancaman dari perkembangan teknologi.

AI sendiri dikategorikan menjadi dua, yakni AI lemah dan AI kuat. AI lemah yang juga dikenal sebagai Artificial Narrow Intelligence (ANI) merupakan AI yang dirancang dan dilatih untuk menyelesaikan tujuan tertentu. Sedangkan, AI kuat yang juga dikenal sebagai Artificial General Intelligence (AGI) menggambarkan pemrograman yang dapat mereplikasi kemampuan kognitif otak manusia.

Begitu AGI berfungsi seperti manusia, Ia dapat mencapai kecerdasan super dengan waktu singkat. Pada suatu titik AGI menjadi jutaan kali lebih cerdas dari manusia di dunia. Hingga suatu hari, dunia akan mengalami singularitas teknologi atau ledakan kecerdasan. Singularitas teknologi adalah keadaan kecerdasan buatan menjadi sangat maju sehingga terjadi ledakan ekstrem pengetahuan di seluruh dunia. Akan tetapi, kemajuan AI menimbulkan pertanyaan dan perdebatan tentang kedudukan hukumnya. Sebagai teknologi yang canggih dan kompleks, sangat dimungkinkan jika AI memiliki status yang sama dengan manusia dalam hukum.

Perspektif Hukum terhadap Artificial Intelligence

AI dapat melakukan tindakan hukum yang sama seperti manusia. Hal ini dibuktikan dengan berbagai fenomena. Pada tahun 2016, Microsoft mengembangkan AI chatter bot yang bernama “Tay”. Tay digambarkan sebagai gadis remaja. Tay dikembangkan untuk meningkatkan layanan dengan kemampuan berbahasa milenial yang mampu berinteraksi dengan manusia. Akan tetapi, Tay menyimpan dan tidak dapat memisahkan data sehingga menyebabkan kontroversi, yakni ketika bot memposting unggahan ofensif yang menghasut dan menyinggung di laman Twitter. Peristiwa itu menyebabkan Microsoft menutup layanan hanya dalam 16 jam setelah peluncuran. Adapun AI yang memungkinkan manusia berkomunikasi dengan robot, misalnya virtual reality atau fitur speech recognition bernama Siri pada Apple, Cortana pada Microsoft, Google talk pada Google, dan fitur chat box pada bot e-commerce. Dewasa ini, ditemukan AI yang mampu membuat beberapa Avatar menggunakan photo selfie dan AI yang mampu menjawab sebuah pertanyaan, yakni Midjourney, Dall-e, dan ChatGPT.

Di bidang hukum, juga terjadi perkembangan AI, yakni Hakim AI dan Pengacara AI. Di Hangzhou-China, sejak 2017 telah diluncurkan Hakim AI yang terbatas pada sengketa hukum yang memiliki aspek digital, seperti sengketa hak cipta, sengketa jual-beli online, dan klaim liabilitas produk e-commerce. Selain itu, AI lebih akurat dalam menemukan masalah hukum dibandingkan pengacara. Guru Besar Hukum Stanford University, Duke University School of Law dan University of Southern California dalam menganalisis hasil kompetensi memahami kontrak menyatakan bahwa pertama kalinya Pengacara AI mengalahkan 20 pengacara manusia terlatih di Amerika dalam mengidentifikasi perjanjian dan menganalisa informasi. Pengacara AI bernama LawGeex mencapai 94 persen keakuratan dengan jangka waktu 26 menit dalam mengidentifikasi 30 sengketa hukum. Sedangkan, pengacara manusia rata-rata membutuhkan waktu 66 menit lebih lama. Adapun, kemunculan AI yang memberikan bantuan hukum di Inggris, yaitu DoNotPay Chat yang telah melayani lebih dari 1.000 bantuan hukum.

Dari berbagai fakta perkembangan AI, kecerdasan dan kecanggihan AI bisa dikatakan lebih unggul dari manusia. AI bukan hanya menjadi objek hukum di bawah perintah manusia, melainkan juga mampu melakukan tindakan selayaknya manusia. Dengan adanya fenomena tersebut AI dapat dikatakan memiliki kedudukan sebagai subjek hukum.

Kedudukan Artificial Intelligence sebagai Subjek Hukum

Secara teoritis, subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Subjek hukum terbagi menjadi dua, yakni subjek hukum orang dan subjek hukum bukan orang. Subjek hukum orang adalah manusia sebagai natuurlijke persoon. Natuurlijke persoon adalah orang yang mempunyai hak dan kewajiban, harta dan hutang. Artinya, orang yang dimaksud secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sedangkan, subjek hukum non orang atau rechts persoon adalah badan hukum. Rechts persoon sama dengan natuurlijke persoon tetapi perbedaan utama didasarkan pada “orang” yang secara alami adalah manusia. Rechts persoon merupakan sebuah organisasi yang memiliki hak dan memikul kewajiban namun tidak semua organisasi merupakan badan hukum.

Pada era kemajuan teknologi ini, berbagai kemungkinan dapat terjadi. Begitu pula dengan perkembangan AI. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini telah ditemukan AI yang menyerupai manusia. Pada tahun 2017, robot cantik bernama Sophia mendapatkan kewarganegaraan Arab Saudi yang diberikan oleh Riyadh, Ibukota Arab Saudi. Hal serupa terjadi di tahun yang sama, Pemerintahan Jepang memberikan izin tinggal kepada robot bernama Shibuya Mirai melalui peraturan khusus.

Secara konseptual, AI tidak dapat disamakan dengan manusia karena AI tidak memiliki sifat humanis. Manusia memang tidak memiliki kemampuan memproses informasi seperti kecepatan cahaya selayaknya komputer. Manusia juga mungkin tidak dapat mengidentifikasi permasalahan secara akurat dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, manusia dapat merencanakan dan memikirkan solusi untuk menyelesaikan masalah dengan bijak, manusia memiliki perasaan, etik, dan moral yang tidak dapat diajarkan pada kecerdasan buatan melalui bahasa pemrograman. Hal tersebut menimbulkan perdebatan mengenai kedudukan hukum AI.

AI dapat diberlakukan selayaknya entitas hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bila AI tergolong sebagai subjek hukum maka AI memiliki hak dan kewajiban hukum, sebagaimana manusia sebagai individu dan badan hukum. Sehingga, AI dapat mengikat kontrak dan bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, kedudukan hukum AI di Indonesia belum diatur secara khusus pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mampu mengakomodir kehadiran AI. Begitupun dengan pengaturan mengenai hak cipta sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, legalitas AI belum memiliki perlindungan hukum, khususnya di Indonesia.

Kondisi demikian memunculkan sudut pandang terkait kondisi ketika AI melakukan tindakan yang merugikan orang lain, seperti pelanggaran hak cipta atau privasi. Sampai saat ini, pertanggungjawaban atas tindakan atau pelanggaran yang dilakukan oleh AI masih menjadi isu hukum yang diperbincangkan.

Kedudukan Hukum Artificial Intelligence Menurut Pendapat Ahli

Menurut para ahli, kedudukan hukum AI masih bervariasi dan terus berkembang. Sebagian ahli berpendapat bahwa AI adalah subjek hukum dengan hak dan tanggung jawab yang sama seperti manusia. Hal demikian didasarkan pada argumen bahwa AI dapat bertindak secara mandiri dalam membuat keputusan yang berpengaruh bagi manusia sehingga AI mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.

Di sisi lain, sebagian ahli berpendapat bahwa AI tidak perlu memiliki status subjek hukum yang sama dengan manusia. Mereka berpendapat bahwa AI adalah objek hukum. Ketika AI melakukan pelanggaran, maka yang harus bertanggung jawab adalah pencipta atau pengguna AI.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disadari bahwa kedudukan AI sebagai subjek hukum merupakan permasalahan yang kompleks dan kontroversial. Oleh karena itu, masih perlu pengkajian lebih lanjut dalam menentukan kedudukan hukumnya. Regulasi hukum harus mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi agar mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi lingkungan dan masyarakat. Bukan hanya itu, manusia juga harus menciptakan dan menggunakan AI dengan bijak. Jangan sampai, sesuatu yang diciptakan oleh manusia justru merugikan dan memberi dampak buruk bagi mereka sendiri.

Penulis : Karina Octaviana Dwi Rahmawati (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image