Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarah Amelia

Stigma Konservatif vis-a-vis Perempuan

Agama | Thursday, 25 May 2023, 01:53 WIB

“Nduk, wong wedok iku kudu nduweni tabiyat sing alus, ora pareng ndebat lan nurut karo aturan omah”. Duduk manis tanpa intervensi dengan kesemrawutan dunia. Kita terjebak dalam asumsi lawas dan aturan-aturan yang sedari kecil tidak boleh diberikan pertanyaan ‘kenapa?’. Pernyataan yang terkesan remeh ternyata memiliki atensi yang dapat mempengaruhi pola primordealisme. Hanya saja, permasalahan ini sangat krusial dan patut dikorekasi. Kadangkala, perempuan seringkali dikesampingkan dalam beberapa ranah layaknya pendidikan, keluarga, pekerjaan, dan kekuasaan (politik). Yang demikian tadi membuat kita bertanya-tanya, apa sebenarnya penyebab utama seseorang dapat berlaku demikian (?).

Jika menilik pada sebuah artikel, ke-identikan perempuan terhadap kata sumur, dapur, Kasur- merupakan stigma yang muncul dari organisasi perempuan yang didirikan pemerintah pada zaman orde baru. Stigma tersebut menjadi doktrin bahwa perempuan hanya perlu mahir dalam tiga hal tersebut. Alasan yang dikemukakan terkait kodrat perempuan yang dicipkatan untuk mengurus hal-hal yang sifatnya domestik- seperti mengurus rumah, suami dan anak.

Kodrat secara etimologi memiliki arti kekuasaan (tuhan); hukum alam; sifat asli. Jika diartikan dalam Bahasa arab qudroh memiliki arti kehendak tuhan, ketentuan atau ukuran. Sesuatu yang murni yang telah menjadi ketetapan tuhan terkhusus pada biologis manusia. Sejatinya perempuan merupakan makhluk tuhan yang memiliki hak dan kewajiaban yang sama dengan laki-laki- baik itu kewajiban beribadah maupun hak kebebasan dalam menjalani kehidupan. Di era modern sekarang ini istilah “perempuan, dirumah aja” acapkali terdengar lebih prihatin – dengan maraknnya catcalling atau kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di publik. Pada tahun 2021 United Nation Population Fund (UNFPA) bekerja sama dengan komnas perempuan melakukan survei mengenai kekerasan seksual di mata anak muda Indonesia- hasil survei membuktikan 91,6 persen pernah mengalami, melihat, atau mendengar secara langsung setidaknya satu jenis kekerasan seksual.

Dalam pembahasan kontemporer, kaum perempuan masih berada dalam posisi subordinat, marginal, dan terdiskriminasi. Posisi ini secara nyata sering kali mengantarkan perempuan pada pernyataan rentan terhadap penindasan dan kekerasan.

Perdebatan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan gender dikalangan masyarakat muslim mencuat semakin kuat. Termasuk yang berkaitan dengan pernyataan-pernyataan sebagian masyarakat yang meyakini dan melegitimasi posisi subordinat perempuan ini dengan mengatasnamakan agama, kritik juga pikiran-pikiran pembaharu yang turut menyerukan prinsip keadilan dan kesetraan manusia dalam nilai-nilai kemanusiaan–memunculkan sekte yang kerap dikenal dengan sebutan feminisme.

Layaknya, kartini muda yang memperjuangakan hak-hak keperempuanan untuk mendapatkan edukasi yang sama dengan laki-laki. Malala yousafzai perempuan asal lembah swat, Pakistan turut memperjuangkan hal yang sama untuk bangsanya ia mengkritisi sebuah rumusan yang berkembang pada masanya “in pakistan when ladies say they need freedom, individuals figure this implies rather not submit to our dads, siblings or spouses.” Malala tidak menyetujui hal tersebut. Baginya Ketika perempuan berbicara tentang kebebasan, hal tersebut bukan berarti melawan tradisi, melawan ajaran agama, ataupun sikap tidak hormat terhadap laki-laki, melainkan untuk menentukan jalan hidup bagi diri mereka, bebas bekerja, dan bebas memperoleh Pendidikan.

Maka dengan itu arahan juga perbaikan stigma yang sifatnya konservatif ini dapat diganti dengan stigma postif, bahwa perempuan memiliki opportunity untuk memperbaiki asas keilmuan, interaksi sosial juga kemajemukan yang membatasi ruang gerak perempuan.

Berbeda dengan paham feminisme, perempuan dengan strata kedua dibawah laki-laki tidak memiliki kesamaan kapasitas biologis. Permisalannya, ibu saya seorang ibu rumah tangga – beliau ahli dalam mengurus pekerjaan domestik – tapi tidak dengan urusan memperbaiki atap rumah yang bocor, antena televisi yang putus atau memperbaiki saklar rumah yang rusak. Lalu pada Surat Al-Hujurat, Ayat 13 Allah Swt berfirman : “ Hai manusia! Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber – taqwa.” Dengan begitu kita dapat melihat bahwa perempuan dan laki-laki memang makhluk tuhan yang memiliki derajat yang sama, tetapi fungsinya berbeda. Juga ketakwaanlah yang menjadi pembeda terhadap keduanya.

Dina Muhamed Basiony, seorang penulis di kairo, mesir berkata: “kesetaraan bukanlah tentang persamaan. Ini tentang memahami kemampuan dan kebutuhan masing-masingg pihak dan menanganinya dengan sesuai.” Perempuan yang tidak memiliki tanggung jawab domestik, semisal, perempuan lajang atau kaum ibu yang anaknya sudah mandiri kemudian harus mengambil peran dalam kehidupan sosial masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam bekerja selayaknya laki-laki dan islam tidak membatasi ruang gerak perempuan atas itu.

Seperti kata Marquis De Vauvenargues ‘Alam tidak mengenal kesamaan; hukum,yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan’. Ada dalam satu talk show yang penulis ikuti pada hari perayaan kartini, ibu wan henny – memaparkan “bahwa penting bagi kita sebagai perempuan untuk tidak menjatuhkan satu nama diatas nama yang lainnya” terlepas dari perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki karakter dimana dirinya ingin dilihat lebih unggul diantara perempuan lain.

Pemahaman bahwa perempuan karir dan ibu rumah tangga memiliki Value yang berbeda kerapkali menjadi perbandingan dan tidak jarang pula menjadi tema besar pada setiap diskusi ke – mahasiswi-an. Padahal, Wanita karir atau ibu rumah tangga sejatinya sudah memiliki jihadnya masing-masing. Seumpama persalinan, atau konsultasi yang kaitannya erat dengan keperempuanan maka di butuhkan – seorang dokter dari kalangan perempuan. Syahdan, tidak boleh kita menstigma seakan-akan “perempuan karir” tidak baik mengurus urusan domestik ketimbang “perempuan rumahan” tidak ada pembenaran pada diskriminasi status sosial. Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah Saw. Permah bersabda: sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian.

Kembali pada pembahasan perempuan dan laki-laki. Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia sudah memberikan aturan tentang peranan sebagai perempuan maupun laki-laki. Walaupun pada kenyataannya islam lebih mengedepankan laki-laki dalam kaitan ibadah – tetapi bukan berarti mar`ah atau perempuan dinilai sebagai makhluk yang tidak memiliki derajat sebagaimana yang termaktub dalam Surat An-Nisa Ayat 34. Pada masa jahiliyah setiap anak perempuan yang lahir – dianggap sebagai aib dalam keluarga – kekhawatiran mereka terhadap hal tersebut membuat mereka membunuh bayi perempuan mereka. Lalu islam datang dengan memberikan hak-hak perempuan sebagaimana manusia merdeka, mengangkat derajat perempuan sebagaimna makhluk yang memiliki kehormatan dan kedudukan yang baik – hingga kita dapat bernafas lega hingga hari ini. Maka sangat disayangkan apabila perjuangan perempuan dari abad ke abad hanya ditanggalkan kedalam tiga cangkupan seperti sumur, dapur dan Kasur.

Walker (1999) dalam bukunya, Gender and Relation Relationship, menyatakan diberbagai komunitas perlakuan diskriminatif dan mendomestifikasi perempuan bukanlah proses yang tiba-tiba. Konstruksi sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan selama ini terbangun melalui proses sosialisasi secara turun-temurun, baik secara budaya maupun melalu tafsir keliru terhadap ajaran agama. `Aisyah Ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa mengurus suatu urusan anak-anak perempuan, lalu berbuat baik kepada mereka, maka akan menjadi penghalang baginya siksaan neraka”. Lalu pada riwayat hadist Muslim yang diriwayatkan oleh Abu Burdah, Rasululallah Saw. Bersabda : “Setiap laki-laki yang memiliki hamba perempuan lalu mengajarkan dan mendidiknya dengan baik, kemudian memerdekakannya dan memperisterinya, maka ia mendapatkan dua pahala”.

Jika melihat masyarakat urban saat ini, yang tidak terlepas dari kehebohkan arus globalisasi – fenomena terkait munculnya paham patriarki, matriarki, feminisme, childfree, dll. Kini menjadi tren dikalangan influenser juga dikalangan para pemikir. Pemahaman agama yang kurang tepat memicu terjadinya kesalah pahaman yang hakiki – yang tidak menempatka u`ruf pada biah atau maqomnya – hal tersebut merupakan refleksi dari konsep yang telah lama berkembang, pada tahun 1980-an yang tidak terlepas dari gelombang westernized-globalization, yang didalamnya terdapat era postmodernism yang menjadikan diversitas terhadap suatu hukum. Keberagaman konsep tersebut tidak bisa kita cegah, kita hanya bisa meng-iyakan bahwa konsep tersebut nyata adanya, dan harus menggaris bawahi bahwa fenomena tersebut hanyalah sebuah konsep. Ya, sebuah konsep yang terlahir dari pikiran-pikiran kemanusiaan. Tidak ada boundaries yang dapat menjadi pembatas atas pemikiran manusia yang kadang kala jenaka dan timbul dari nafsu yang tak terbatas. Demi kewarasan hidup, hemat penulis – membenahi diri dari kehidupan konservatif kepada hal yang sifatnya edukatif yang dapat menambah nilai moralitas dalam berkehidupan jauh lebih baik daripada memberi pembenaran terhadap afirmasi yang membuat kita no better than before . Dengan begitu kita tidak mudah terberdaya pada afirmasi negatif yang diberikan orang lain terhadap kita. Semoga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image