Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kumpulan Opini Mahasiswa Unair

Identitas, Logik dan Filsafat

Lainnnya | Wednesday, 24 May 2023, 17:52 WIB
ilustrasi logika foto: kompas com

Diawali kegupuhan saya di pagi hari setelah shalat subuh, saya teringat dengan konsep Kapal Theseus, kapal yang ditumpangi seorang pahlawan dalam mitologi Yunani dalam melawan monster di zaman kuno. Analogi kapal ini menunjukkan dilema klasik soal identitas.
Andaikan ada suatu kapal, kapal klasik abad perunggu awal dimana masih menggunakan bahan dasar kayu dan masih menggunakan tenaga dayung, selama di perjalanan, pastilah ia berhenti di berbagai dermaga untuk di reparasi bagian bagiannya yang rusak selama perjalanan, baik karena ombak, karang dan bajak laut, sehingga seluruh komponennya perlahan tapi pasti, harus diganti. Pada akhir perjalanan, apakah ia tetap kapal yang sama?
Bagaimana orang-orang yang melihat keseluruhan objek sebagai penjumlahan bagian-bagiannya, tidak lebih maka ia akan melihat sebetulnya ketika Kapal Theseus ini bersandar di dermaga terakhir, itu pasti kapal yang lain.
Tapi, juga aneh apabila itu disebut kapal yang berbeda, toh dia berangkat dengan misi yang sama dan ada kontinuitas disana, ada kesinambuangan, toh walaupun bagian bagiannya diganti, itu tetap satu rangkaian utuh. Ini disebut pendekatan gestahlt, yang menyatakan bahwa keseluruhan bukanlah penjumlahan antar bagian-bagiannya.
Paragraf paradoks gundukan pasir dirumuskan dalam konduksi hipotetik (imajiner) dimana jika kita punya satu gundukan pasir, kalau kita kurangi satu butir pasir dari gundukan itu, itu tetap gundukan pasir kan? kalau dikurangi satu butir lagi, itu tetap disebut gundukan pasir kan? tapi jika diteruskan lama-lama akan habis pasirnya, atau setidaknya tinggal sedikit. disini terjadi kebingungan, batas yang diterapkan menjadi kabur, pada pengurangan ke berapa bisa hilang gundukannya (sisa pasirnya dengan kata lain, predikat kita soal gundukan pasir ini punya batasan yang kabur).
Kasusnya sama dengan Kapal Theseus itu tadi, setelah lama, muncullah akar berpikir logika baru yang disebut Fuzzy Logic (logika yang samar), intinya logika ini harus bisa mengatasi dimana nilai kebenaran itu tidak bisa diterapkan secara saklek antara satu dan nol. berbeda dengan sistem logika klasik yang memunculkan hasil terbatas pada dua hasil, satu-nol, setengah salah, setengah benar.
Dewasa ini logika fuzzy ini banyak diterapkan pada matematika dan engeenering untuk kasus-kasus yang sangat konkret. seperti membuat algoritma bagi AC untuk meningkatkan-menurutkan temperaturnya
Tapi, ada kasus yang sama seperti dua contoh diatas namun belum bisa teratasi hingga sekarang yakni konsep emergence atau ketimbulan, atau sesuatu yang timbul artinya munculnya sifat-sifat baru ketika kita melihat hal-hal sederhana, "setiap orang bekerja dengan logikanya sendiri dalam menjalani hidup dengan kemauannya sendiri, tampak kacau dalam tekanan, tapi jika kita melihat bentuk makro-nya dilihat secara keseluruhan bisa muncul gambaran yang tertata." konsep ini menggarisbawahi sesuatu yang kacau ditingkat mikro ini sebenarnya teratur dan tertata, seolah disepakati padahal bergerak sendiri sesuai kebutuhannya. contoh paling mudah yakni pada ekosistem hutan dimana terlihat kacau, saling memangsa namun pada keseluruhan itu tampak sebagai pola yang tertata
Penulis : Rahardian Pratama 111221273

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image