Transpuan di Putaran Masyarakat Metropolitan
Politik | 2023-05-22 19:12:25Kelompok transgender, salah satunya transpuan, saat ini dianggap “menyimpang” dalam masyarakat kita. Hal ini karena dalam masyarakat telah terpatri bahwa hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, sehingga kelompok ketiga—kelompok transgender—dianggap menyalahi hukum alam. Selain anggapan bahwa kelompok minoritas ini “menyimpang,” mereka juga seringkali dikaitkan dengan praktik prostitusi dan narkoba. Kelompok transpuan pun mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat seperti rasa jijik, ketakutan, dan kebencian—disebut sebagai homophobia atau transphobia. Oleh karenanya, muncul stigma bahwa transpuan adalah “penyakit” yang harus diobati agar sembuh dan kembali ke jalan yang benar (Panjaitan, 2022).
Persepsi buruk masyarakat ini semakin diperparah dengan berbagai isu yang seolah-olah menjadi “pembenaran” atas asumsi masyarakat terhadap kelompok transpuan tersebut. Misalnya baru-baru ini, polisi menetapkan seorang transpuan berinisial LL sebagai tersangka dalam kasus tewasnya seorang perempuan berinisial I di apartemen daerah Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada 15 Juni 2022. Di lokasi tersebut, polisi juga menemukan sejumlah barang bukti, berupa bong atau alat isap sabu yang terbuat dari botol bekas serta plastik klip sabu (CNN, 2022). Berkaca dari hal tersebut, lantas bagaimanakah sebenarnya transpuan dipandang dalam masyarakat, terutama di lingkungan metropolitan di mana lebih sering dijumpai kelompok transpuan ini?
Penulis berpendapat bahwa masyarakat telah memberikan framing negatif terhadap kelompok transpuan. Framing inilah yang akhirnya mengarahkan segala kritik dan penilaian negatif yang langsung tertuju pada kelompok minoritas ini tanpa mempertimbangkan sudut pandang dari kelompok transpuan sendiri.
Sebelum berbicara mengenai framing negatif tersebut, pertama, penulis akan terlebih dahulu membahas bagaimana framing tersebut muncul. Dalam dunia saat ini, peran media sangatlah besar, terutama di daerah metropolitan yang sudah sangat maju dengan berbagai digitalisasinya sehingga memungkinkan penyebaran informasi semakin cepat melalui platform online. Kemunculan framing negatif terhadap kelompok transpuan juga sangat dipengaruhi oleh peran media ini. Berbagai berita terkait kelompok transpuan di media cenderung memasukkan unsur transphobia yang membuat masyarakat merasakan kebencian dan ketakutan. Selain itu, lebih banyak berita transpuan yang muncul ketika mereka menjadi korban atau pelaku tindakan kriminal sehingga memperkuat “efek negatif” dari kelompok ini (Tuasikal, 2020 dalam Panjaitan, 2022). Beberapa portal media juga menggunakan kata-kata yang sensitif dalam pemberitaan kelompok transpuan. Media
biasanya lebih mementingkan judul yang clickbait alih-alih memperhatikan penggunaan kata yang berpotensi menyinggung kelompok minoritas ini. Tak jarang juga, media membuat acara dengan menggunakan kelompok transpuan atau istilah yang berkaitan dengannya sebagai bahan lelucon (Panjaitan, 2022). Paparan media yang “negatif” ini akhirnya memberi pelabelan terhadap kelompok transpuan dan melanggengkan stigma masyarakat terhadapnya. Media-media tersebut menggiring opini masyarakat yang dapat mengeneralisir bahwa transpuan identik dengan perilaku yang negatif atau penyimpangan. Di sisi lain, media tidak memberikan tempat bagi transpuan untuk membentuk atau mengkonstruksi identitas dan gambaran citra transpuan yang sebenarnya. Hal ini lah yang kemudian memicu munculnya framing negatif terhadap kelompok transpuan sehingga menyebabkan kelompok ini merasa terancam dan tidak terepresentasi dalam masyarakat.
Kedua, bagaimana framing negatif tersebut mulai terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat. Banyaknya stigma negatif dan transphobia menyebabkan terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok transpuan. Dikutip dari Factor & Rothblum (2007 dalam Arayasirikul & Wilson, 2019), sebuah penelitian menemukan bahwa kelompok transpuan memperoleh lapangan kerja yang lebih sempit dan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan kelompok “normal.” Mereka juga seringkali diserang secara fisik, ditolak perumahan, mengalami pelecehan, dan devaluasi diri. Implikasinya, kelompok ini bekerja sebagai pengamen dan pekerja seks komersial (PSK) demi memenuhi kebutuhan hidup karena kesulitan mendapatkan pekerjaan (Panjaitan, 2022). Tak hanya dibidang ekonomi dan sosial, transpuan juga mengalami diskriminasi di bidang kesehatan (Arayasirikul & Wilson, 2019). Tuntutan pekerjaan dan minimnya fasilitas kesehatan membuat mereka lebih mudah terjangkit penyakit vital, seperti HIV/AIDS. Namun, alih- alih mencari tahu latar belakang tersebut, masyarakat justru langsung menganggap transpuan sebagai penyebar HIV/AIDS.
Contoh nyata mengenai framing negatif masyarakat terhadap kelompok transpuan ini dapat dilihat dari kasus Mira. Pada April 2020, terdapat seorang transpuan di Cilincing, Jakarta Utara bernama Mira yang dibakar hidup-hidup akibat dituduh mencuri telepon genggam dan sebuah dompet oleh enam orang tak dikenal. Peristiwa ini bermula ketika sopir truk berinisial KM mengadukan kehilangan barang. Para pelaku pun langsung menuduh Mira yang melakukan pencurian tersebut dan kemudian menghampirinya di kontrakan untuk diinterogasi. Mira menyatakan bahwa ia tidak mengambil barang tersebut, tetapi para pelaku tetap memukuli Mira sampai babak belur dan tidak berdaya. Para pelaku juga menyiramkan bensin ke tubuh Mira lalu menyulutnya dengan api hingga akhirnya Mira terbakar (Irsandy, 2020). Dari peristiwa tersebut dapat dilihat bahwa framing negatif
terhadap kelompok transpuan ini telah mengarahkan prasangka dan tindakan negatif masyarakat terhadap kelompok transpuan dan memberikan pembenaran atas tindakan tersebut. Kelompok transpuan yang sudah dianggap “tercela” dinilai wajar untuk dicurigai dan dihukum bahkan tanpa mempertimbangkan pernyataan dari sisi kelompok transpuan.
Kondisi kelompok transgender, terutama transpuan, di masyarakat memang sangat memprihatinkan. Diskriminasi, penyerangan, dan pelecehan masih banyak ditujukan kepada mereka. Peran media dalam hal ini sangatlah signifikan karena pada nyatanya media lah yang menggiring dan melanggengkan opini masyarakat sehingga framing negatif terhadap kelompok transpuan ini muncul. Terlebih lagi di kawasan metropolitan yang telah mengalami kemajuan pesat di media online. Hal ini tentunya semakin mempercepat pembentukan framing negatif tersebut, menjadikannya lebih sulit dihilangkan dari masyarakat. Untuk menangani hal ini, perlu peran serta pemerintah untuk “membersihkan” media dari penggiringan opini masyarakat terhadap kelompok transpuan. Salah satunya dapat dilakukan dengan merumuskan aturan tentang penggunaan kata, istilah, dan simbol yang sensitif terhadap kelompok transpuan. Selain itu, penting juga untuk memberikan tempat bagi kelompok ini agar dapat merepresentasikan suaranya di masyarakat. Misalnya melalui peningkatan partisipasi kelompok transpuan di media, pelibatannya dalam pemerintahan, dan memberikan dukungan terhadap perjuangan hak- hak kelompok transpuan dalam proses perumusan kebijakan. Dengan demikian, diharapkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini dapat dihilangkan atau setidaknya dapat berkurang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
