Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Josephine Agus

Kasus Rabies pada Manusia dan Peran Dokter Hewan dalam Upaya Pencegahannya

Pets and Garden | 2023-05-22 16:32:41
Virus rabies (Sumber: https://pixabay.com/id/)

Rabies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus pada otak dan sistem saraf pusat. Virus rabies termasuk ke dalam ordo Mononegavirales dari famili Rhabdoviridae. Virus penyebab rabies umumnya ditularkan ke manusia melalui gigitan, air liur, cakaran , serta kontak langsung dengan otak atau jaringan saraf hewan yang terinfeksi. [1] Vektor utama penyebaran virus rabies adalah anjing, tetapi rabies sebenarnya juga bisa disebabkan oleh kucing, monyet, kelinci, kelelawar dan masih banyak hewan lainnya. Hewan yang memiliki risiko penularan virus rabies yang tinggi adalah hewan liar dan hewan peliharaan yang tidak menerima vaksin rabies.[2]

Di Indonesia sendiri, rabies masih menjadi masalah kesehatan yang mengancam masyarakat. Dilansir dari WHO, angka kematian akibat infeksi virus rabies yang sangat tinggi, menyentuh angka 100 persen. [3] Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, bisa dalam hitungan minggu ataupun bulan tergantung pada jarak lokasi gigitan dari otak. Setelah virus rabies mencapai otak, maka akan menyebabkan peradangan pada jaringan otak. Dalam waktu 3-5 hari, virus rabies sudah menyebabkan kerusakan yang parah pada jaringan otak sehingga gejala klinis infeksi rabies mulai terlihat. [1]

Hingga saat ini, belum tersedia terapi spesifik untuk menangani kasus rabies yang telah menunjukkan gejala klinis, seperti flu, pusing, demam, maupun kelemahan tubuh. Umumnya, pasien datang untuk mendapatkan pengobatan ketika gejala klinis rabies telah muncul, sementara gejala klinis infeksi rabies akan muncul saat menginjak stadium akhir. Oleh karena itu, tatalaksana kasus rabies lebih dititikberatkan pada pencegahan daripada terapi saat gejala klinis muncul.

Salah satu pencegahan timbulnya kasus rabies pada manusia adalah pemberian VAR setelah terjadi gigitan.[1] Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk dapat memberantas kasus rabies. Dalam upaya pemberantasan kasus rabies, maka diperlukan peran dari dokter hewan untuk menangani hewan-hewan yang terinfeksi ataupun memiliki risiko tinggi terhadap infeksi rabies. Hal ini dikarenakan dokter hewan memiliki wewenang penuh untuk melakukan pemeriksaan, penanganan, pencegahan, dan pengobatan terhadap hewan-hewan yang menunjukkan gejala rabies.

Dalam upaya pencegahan infeksi rabies pada manusia, dokter hewan bertanggung jawab untuk menegakkan diagnosis. Rabies pada hewan dapat muncul dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu furious form dan dumb form, yang menyebabkan deteksi pada infeksi virus rabies menjadi jauh lebih rumit. Tidak hanya melakukan pemeriksaan terhadap hewan kesayangan seperti anjing dan kucing, seorang dokter hewan juga harus melakukan pemeriksaan terhadap hewan-hewan yang berpotensi untuk terinfeksi virus rabies. Pemeriksaan terhadap hewan ternak, seperti sapi serta pada hewan liar, seperti kelelawar dan rubah perlu dilakukan mengingat hewan-hewan ini masuk ke dalam kelompok rentan.[4]

Selain itu, dokter hewan bertugas untuk memberikan vaksinasi pada hewan untuk mencegah infeksi rabies. Pemberian vaksinasi rabies pada hewan sangat krusial dalam upaya pencegahan infeksi virus rabies pada manusia. Vaksinasi rabies, tidak hanya diberikan pada hewan peliharaan, tetapi juga pada hewan-hewan yang hidup liar, seperti anjing dan kucing liar. Pada hewan peliharaan, umumnya vaksin rabies dapat diberikan pada rentang usia 12-16 minggu, kemudian perlu diberikan booster selang 1 tahun vaksinasi pertama. Selanjutnya vaksin rabies dapat diulang setiap 1-3 tahun sekali. [5]

Sebagai hewan yang paling umum pada transmisi virus rabies, maka diperlukan kontrol pengendalian. Meskipun telah dilakukan vaksin tahunan, baik pada anjing peliharaan maupun anjing liar, tetapi pengendalian populasi juga sangat penting dalam upaya pencegahan penyebaran virus rabies. Karena berbagai alasan, tidak mungkin untuk sepenuhnya menghilangkan populasi anjing liar pada berbagai provinsi di Indonesia. Oleh karena itu dokter hewan bertugas untuk melakukan pengendalian populasi anjing liar dengan cara melakukan kastrasi pada hewan jantan dan ovariohisterektomi pada hewan betina. Kedua prosedur ini lebih dikenal sebagai prosedur steril pada hewan. [4]

Dokter hewan juga memiliki tugas untuk merawat hewan yang terindikasi melakukan kontak dengan hewan lain yang terjangkit virus rabies maupun hewan yang sudah terinfeksi virus rabies. Apabila hewan peliharaan terindikasi berkontak dengan hewan lain yang terinfeksi virus rabies dan sudah mendapatkan vaksinasi, maka perlu untuk diberikan vaksin rabies kembali sesegera mungkin. Kemudian, dokter hewan akan melakukan observasi selama 45 hari. Jika hewan menunjukkan gejala klinis yang mengindikasikan adanya infeksi virus rabies, maka dokter hewan harus melakukan euthanasia pada hewan tersebut dan menyerahkannya pada laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.[6]

Selain melakukan pemeriksaan, penegakan diagnosis, dan penanganan, dokter hewan juga memiliki kewajiban untuk memberikan edukasi kepada masyarakat luas mengenai gejala rabies pada hewan. Hewan yang terindikasi terinfeksi virus rabies dapat menunjukkan tanda-tanda kelemahan tubuh, anorexia, kesulitan bernafas dan menelan, produksi air liur berlebihan, serta perilaku yang agresif. Selain itu, dokter hewan juga dapat memberikan edukasi seputar tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah transmisi virus rabies pada manusia, seperti tidak menyentuh dan memberi makan hewan liar.[5]

Meskipun begitu, pencegahan transmisi virus rabies pada manusia tidak hanya dilakukan oleh dokter hewan. Tenaga kesehatan lainnya, seperti dokter dan perawat juga mengambil peran penting dalam pencegahan infeksi rabies pada manusia. Lebih daripada itu semua, penting bagi setiap individu untuk memiliki kesadaran akan bahaya infeksi virus rabies sehingga setiap dari kita dapat terhindar dari penyakit mematikan tersebut.

Josephine Agus - mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Referensi:

1. Budayanti NN. Penerapan konsep one health dalam penanganan kasus rabies. Yogyakarta: Deepublish; 2020

2. Alodokter. Rabies [Internet]. 2023 [10 Mei 2023]. Tersedia dari: https://www.alodokter.com/rabies

3. WHO. Rabies [Internet]. 2023 [10 Mei 2023]. Tersedia dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies#:~:text=Once%20clinical%20symptoms%20appear%2C%20rabies%20is%20virtually%20100%25%20fatal.

4. Maddur MS, Kaveri SV, Bayry J.World rabies day: a prime role for veterinarians in rabies control [Internet]. 2010 [10 Mei 2023]. Tersedia dari: https://www.idntimes.com/life/education/dwi-wahyu-intani/penulisan-daftar-pustaka-vancouver-c1c2?page=all

5. Brobnis ET. Rabies, the epitome of one health: a veterinarian’s role. 2022 [10 Mei 2023]. Tersedia dari: https://indevets.com/blog/rabies-the-epitome-of-one-health-a-veterinarians-role/

6. CDC.gov. Rabies. 2022 [10 Mei 2023]. Tersedia dari: https://www.cdc.gov/rabies/index.html

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image