Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denny Kodrat

Menyoal Pendidikan Berkeadilan

Edukasi | Thursday, 18 May 2023, 17:07 WIB

Ramai di jagat media sosial kegiatan salah satu sekolah negeri di kota Bandung yang tengah bepergian ke Bali menggunakan moda Kereta Api dengan pengawalan pihak berwajib. Tidak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan siswa sebesar 5.5 juta, sehingga bila dikalikan jumlah siswa yang ikut, kegiatan ini senilai hampir 2 milyar rupiah (https://www.viva.co.id/trending/1600223-sewa-kereta-hingga-patwal-study-tour-sman-3-bandung-habiskan-dana-hampir-rp-2-miliar). Tidak ada yang salah, selama proses kegiatannya tidak ada pungutan. Namun, ada persoalan mendasar yang cukup menggelitik bagi penulis, apakah semua sekolah negeri dapat melakukan hal serupa? Terlebih, “Sekolah Juara untuk Semua” menjadi tagline Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Isu Pemerataan dan Aksesibilitas Pendidikan

Pemerataan dan aksesibilitas pendidikan menjadi salah satu isu dalam dunia pendidikan di Indonesia. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan bermutu di setiap jengkal tanah air dan pendidikan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanahkan pendidikan setiap daerah di negeri ini dikelola dengan standar minimal tertentu. Sehingga, kesenjangan mutu pendidikan satu daerah dengan daerah lain tidak terjadi. Sistem passing grade yang telah dipraktikan dahulu, memunculkan dikotomi sekolah. Dari mulai istilah favorit yang disematkan masyarakat dan klasterisasi sekolah yang dilakukan oleh pemerintah kala itu.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ditujukan untuk mengikis kesan sekolah favorit. Dengan pelibatan aktif masyarakat terhadap sekolah, diharapkan seluruh sekolah menjadi sekolah favorit. Semua sekolah sama karena mendasarkan pada regulasi yang sama dan menerapkan delapan standar pendidikan yang sama, terlebih sekolah negeri yang milik pemerintah dengan besaran dana BOS yang sama.

Untuk menjamin pemerataan dan aksesibilitas pendidikan, pemerintah membuat skema Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang berbeda. Menghilangkan sistem passing grade, mengubahnya dengan skema afirmasi prestasi, Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM), hingga zonasi. Sehingga, diharapkan tidak ada lagi satu sekolah yang dihuni oleh kelompok warga ekonomi mampu dan cerdas. Setiap warga negara, sesuai dengan peraturan, berhak untuk bersekolah dimanapun.

Dalam konteks pendidikan menengah di Jawa Barat, pemerintah daerah menghapus seluruh pungutan yang ada di sekolah negeri, dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPD). Uang bangunan, Sumbangan Pelayanan Pendidikan (SPP) dan sejenisnya dihapus dan terlarang dipraktikkan oleh sekolah. Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) siap-siap menjaring sekolah negeri yang berani melakukan pungutan. Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 97 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 44 Tahun 2022 tentang Komite Sekolah pada Sekolah Menengah Atas Negeri, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dan Sekolah Luar Biasa Negeri membuat setiap penarikan uang yang dilakukan oleh sekolah dan komite yang menyelisihi regulasi tersebut siap terkena sanksi baik pidana maupun pembinaan aparatur. Inilah yang membuat sekolah sangat berhati-hati saat ia mengalokasikan uang untuk berbagai kegiatan kesiswaan.

Dalam benak publik, sekolah harus gratis karena itu bagian dari janji politik kepala daerah, baik bupati, walikota atau gubernur. Tidak sedikit kepala sekolah yang mengambil jalan medioker dalam program sekolahnya karena khawatir memunculkan kegaduhan lalu viral. No Viral, No Justice. Pejabat manapun siap dicap salah dan menerima konsekuensi dari viralitasnya itu.

Apakah dengan kebijakan pemerintah atas pendidikan dapat mengatasi isu pemerataan dan aksesibilitas pendidikan khususnya di sekolah negeri? Hingga sebelum viralnya kegiatan salah satu sekolah menengah atas di kota Bandung yang menghabiskan dana hampir 2 milyar, publik menganggap kegiatan sekolah negeri murni hanya dibiayai oleh BOS dan BOPD. Tidak ada kegiatan gebyar, seremonial yang tidak sesuai dengan kodering pembiayaan. Namun ternyata tidak. Sekolah negeri lain perlu melakukan studi tiru atau belajar pada sekolah tersebut hingga dapat diketahui bagaimana cara membuat kegiatan semacam study tour dengan layanan premium, dimana orang tua tidak keberatan mengeluarkan sejumlah dana untuk kegiatan tersebut. Bila kegiatan ini tidak dapat ditiru, tidak bisa menjadi template bagi sekolah lain, berarti pemerataan dan aksesibilitas pendidikan masih menjadi isu yang harus dipecahkan.

Menyoal Pendidikan Berkeadilan

Publik perlu sepakat bahwa pendidikan bermutu memerlukan biaya yang besar. Konstitusi mengamanahkan, karenanya, 20 persen APBN dan APBD dialokasikan untuk pendidikan. Pendidikan adalah urat nadi peradaban sehingga alokasi dana APBN/APBD tersebut sejatinya merupakan investasi bagi kualitas sumber daya anak bangsa. Tentunya, sekolah gratis sebagai janji politik mengunci peluang bagi pimpinan sekolah untuk meminta sumbangan kepada masyarakat. Meski secara aturan dimungkinkan, namun “gratis” menutup peluang masyarakat memberikan kontribusi. Pimpinan sekolah perlu menggunakan strategi memberdayakan potensi sekolah sehingga dapat mengumpulkan dana yang diperlukan. Alumni atau dana Corporate Social Responsibility (CSR) dapat digunakan asalkan sekolah tersebut sudah memiliki alumni sukses atau memiliki hubungan baik dengan perusahaan di sekitar sekolah. Bila tidak, kecil harapan sekolah mendapatkan dana dari dua ha tersebut.

Saat sekolah melaksanakan kegiatan yang tidak dibiayai oleh BOS/BOPD, tentunya tidak sesederhana menyampaikan informasi kepada orang tua siswa bahwa hanya yang mampu yang dapat mengikuti kegiatan. Bila demikian, sekolah tengah melakukan praktik diskriminatif dalam program sekolahnya. Kegiatan dengan pelayanan bermutu hingga dikawal oleh aparat keamanan tentunya baik, terlebih semua siswa, baik yang mampu dan tidak mampu menikmati kegiatan tersebut. Setiap sekolah pasti memiliki siswa yang tidak mampu karena regulasi PPDB memberikan porsi 13 persen untuk KETM. Akan tetapi, sekolah melanggar nilai etis bila yang mengikuti kegiatan tersebut hanya mereka yang mampu bayar. Siswa tidak mampu lagi-lagi terpinggirkan, dan ini akan menjadi preseden buruk. Niat pemerintah menghapus diskriminasi layanan pendidikan di sekolah, meningkatkan pemerataan dan aksesibilitas pendidikan akhirnya hanya retorika belaka. Prinsip education for all tidak menjadi rambu-rambu dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pendidikan berkeadilan yang tidak diskriminatif, setiap warga dapat menikmati layanan pendidikan secara sama tanpa melihat status sosial masih menjadi pekerjaan rumah baik bagi sekolah dan stakeholders pendidikan. Sekolah negeri tertentu seakan-akan memiliki magnet karena label “sekolah favorit” belum terkikis habis, bahkan cenderung dilestarikan dengan program mencolok dan berbeda dibandingkan dengan sekolah negeri yang lain. Betapa tidak, program kunjungan ke Bali, sebagai contoh, dengan pengawalan dan menghabiskan dana 2 milyar tentunya sukar diikuti oleh sekolah-sekolah negeri yang lain.

Bahkan, dalam konteks kekinian, saat PPDB tengah disosialisasikan, dimana praktik-praktik menyimpang rawan terjadi, seperti suap, jual beli “kursi”, hingga Gubernur Ridwan Kamil meminta warga memviralkan saja bila ada praktik tersebut (https://bandung.kompas.com/read/2023/05/16/162059978/ridwan-kamil-ajak-masyarakat-viralkan-jual-beli-kursi-dan-pungli-ppdb-sma-di), menjadi pertanyaan besar, mengapa masyarakat seolah kurang percaya terhadap tata kelola PPDB yang dilaksanakan oleh sekolah dibandingkan UTBK atau sejenisnya yang dikelola oleh perguruan tinggi, sampai-sampai RK menginisiasi gerakan viral di atas, bisa jadi karena rasa keadilan dalam pendidikan belum dirasakan oleh masyarakat meski banyak regulasi telah dibuat.

Sebagai pemegang kebijakan pendidikan di tingkat daerah, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebaiknya melakukan langkah-langkah berikut untuk memastikan pendidikan berkeadilan, tidak diskriminatif. Pertama, mempertegas penerapan regulasi mengenai pengelolaan pendidikan sesuai amanah PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Manajemen berbasis sekolah diperkuat dengan melakukan monitoring evaluasi yang melibatkan stakeholders pendidikan seperti dewan pendidikan, komite sekolah, akademisi dan pemerhati pendidikan. Membuka keran aduan masyarakat dan menindaklanjuti dengan klarifikasi kepada pihak sekolah. Bila sekolah nyata-nyata membuat program yang tidak menyentuh seluruh siswa, kepala sekolah dapat dilakukan pembinaan.

Kedua, pemerintah memangkas birokrasi yang terlampau panjang dalam pelibatan masyarakat yang ingin memberikan kontribusi (sumbangan) pendidikan. Pengedukasian terhadap masyarakat bahwa mereka memiliki tanggung jawab dalam pendidikan perlu diperkuat. Skema subsidi perlu dibiasakan agar seluruh siswa dapat menikmati layanan dan program pendidikan. Tidak ada lagi kata-kata program ini hanya bagi yang mampu. Sementara yang tidak mampu tidak perlu ikut program tersebut. Ini yang menyelisihi prinsip education for all.

Ketiga, untuk menghadirkan pendidikan berkeadilan, pengelolaan sekolah perlu dijauhkan dari politik praktis, meski ini agak sulit. Jangan gara-gara tahun politik, kebijakan untuk sekolah dibuat populis agar mendapat dukungan masyarakat, namun untuk kepentingan jangka pendek. Strategi memviralkan setiap praktik menyimpang terkesan tepat, namun ini bukan solusi jangka panjang. Pemegang kebijakan perlu membangun sistem yang memastikan tidak terjadi praktik-praktik menyimpang yang dilakukan di sekolah. Terlebih, sekolah merupakan tempat penyemaian nilai-nilai baik yang seharusnya steril dari praktik menyimpang.

Terakhir, mengelola pendidikan perlu melibatkan kepekaan hati nurani, keluwesan logika dan kebijaksanaan. Terlebih lagi, pendidikan, mengutip M. Nuh Menteri Pendidikan Indonesia kala itu, merupakan senjata untuk memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan peradaban. Sehingga, suatu saat nanti orang-orang yang mengelola pendidikan adalah mereka yang telah selesai dengan urusan atau kepentingan material duniawi. Ia lebih memokuskan pada kepentingan akhirat yang lebih panjang dan berfokus mengurus pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Semoga! Wallahu’alam bishshawwab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image