Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nayla Autar07

Citra Perempuan dalam Novel Azab dan Sengsara

Sastra | Wednesday, 17 May 2023, 22:27 WIB

Sastra dikenal sebagai bahasa dengan keindahan dan kaya akan unsur estetika. Banyak ragam sastra, dan karya yang populer diketahui sebagai novel, di mana isinya mengandung rangkaian cerita kehidupan dengan watak dan sifat si tokoh. Kilas balik beberapa cerita novel yang tak pernah padam dari pembicaraan masa ke masa, seperti cerita Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Karya-karya ini menjadi tonggak kesusastraan bangsa Indonesia. Dibalik cerita menguras emosi dan air mata, adalah yang menarik novel-novel masyhur itu menampilkan sosok perempuan yang jadi tokoh utama, bukan sebagai pemilik bahagia tapi penerima segala jenis duka dalam cerita.

Perempuan lekat dengan kasur, dapur, dan sumur, di mana ia kerap kali dianggap sang pemilik kasta rendah dibanding laki-laki yang diagungkan. Bukankah pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu setara? Berbekal penindasan, pesakitan, dan stigma yang terus berkembang mengecam kebebasan perempuan, maka hadirlah gebrakan perlawanan disebut emansipasi, tertuanglah dalam kata feminisme, yakni gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan, dan keadilan hak perempuan. Dalam tulisan sastrawan Indonesia, Merari Siregar penulis angkatan Balai Pustaka menuangkan cerita seorang anak dara yang luhur budinya namun hidup dalam kemelaratan dunia. Ia telurkan novel Azab dan Sengsara, yang mengangkat kisah budaya yang kental akan adat istiadat, keyakinan masyarakat dahulu akan kekuatan ramalan nasib, dan kesenjangan sosial. Pada novel ini akan tampaklah tokoh perempuan dalam berbagai peran dan pandangan.

Novel Azab dan Sengsara menampilkan dua tokoh utama sepasang muda-mudi yang saling kasih-mengasihi, ialah Mariamin dan Aminuddin. Seiring bergantilah bulan, tahun dan tibalah fase dewasa, saat dua sejoli ini harusnya siap dipersatukan dalam ikatan suci perkawinan namun itu hanyalah mimpi belaka. Mariamin dianggap tidak sepadan dengan Aminuddin yang berasal dari keluarga berada, apalah Mariamin seorang gadis miskin yang hidup bersama sang ibu dan adiknya seorang. Luruh rasa dada Aminuddin kala sang ayah menjodohkannya dengan lain perempuan, maka ia kirimkan sepucuk surat permohonan ampun kepada Mariamin. Tiada daya dan upaya bagi anak dara itu dan hidup dengan penuh luka hatinya ditinggal kawin sang pujaan hati. Ibunya yang sudah menduga akan hal itu, berupaya membahagiakan sang putri dengan mengawinkan Mariamin kepada duda berkecukupan bernama Kasibun dan beralih hidup di kota.

Begitulah perempuan dianggap tak laku jika sudah waktunya kawin tak kunjung kawin, maka perjodohan dianggap solusi terbaik. Apalah yang diharapkan dari pernikahan tanpa dasar cinta itu, tanpa tau bibit, bebet, bobot orang itu, akhirnya berujung aniaya yang dituai Mariamin. Sebab itu, ia bercerai dan pulang ke kampung dengan berbekal nama buruk dan malu. Penghabisan cerita ini Mariamin tiada lagi sengsara, sebab jiwanya telah kembali dengan tenang ke keabadian. Dalam novel ini bukan hanya Mariamin sebagai tokoh perempuan, ada ibunya yang juga berjuang keras dalam kehidupan sebagai perempuan lemah, dan tokoh perempuan lainnya.

Dari novel Azab dan Sengsara dapatlah kita menganalisis citra perempuan dalam beberapa peran yang terkandung dalam cerita, diantaranya:

1. Citra perempuan sebagai seorang anak

Digambarkan Mariamin sebagai anak baik hatinya, dan tidak ingin memberatkan orang tua. Tersebutlah ia anak yang berbakti dari tutur kata dan laku baiknya terhadap orang tua, hingga maksud perjodohan dari sang ibu diterima olehnya atas niat berbakti dan meringankan pikiran sang ibu tua renta itu. Karakter sebagai anak berbakti terlihat dalam kutipan berikut:

“Janganlah ibuku bersusah hati, masakan mau ananda memeberatkan hati ibu. Ananda menangis tadi karena ananda bodoh dan pikiranku muda, sekarang tak mau ananda lagi menangis. Tidurlah ibuku, hari sudah jauh malam” (Azab dan Sengsara, 2001:23). Mariamin tak ingin menyusahkan ibunya, bahkan kala ia sedih dan kesusahan hatipun ia hendak tanggung sajalah sendiri.

2. Citra perempuan sebagai seorang istri

Ibu Mariamin sosok kembang desa yang juga menikah sebab perjodohan dengan suaminya Sutan Baringin yang buruk budinya itu. Sebagai istri yang menanti nafkah di rumah sajalah sembari mengurus anak, ia adalah sosok penuh kesabaran dan istri yang penuh bakti akan suami. Tergambar jelas dalam kutipan berikut:

“Ibu Mariamin lagi menunggu-nunggu suaminya datang, supaya mereka itu makan pagi. Meskipun perutnya sudah lapar, karena pada waktu itu telah pukul sembilan, tiadalah sampai hatinya makan lebih dahulu” (Azab dan Sengsara, 2001:83). Seorang istri yang selalu mengutamakan suami selaku kepala rumah tangga, menjunjung tinggi rasa hormat dan patuh meskipun tidaklah baik karakter sang suami. Bahwasanya bagaimanapun suami kewajiban istrilah patuh dan berbakti ditampilkan dalam cerita ini.

3. Citra perempuan sebagai seorang ibu

Ibu Mariamin adalah sosok teramat sabar, sejak menikahi suaminya ia patuh dan penuh cinta merawat dua buah hatinya. Apalah yang diharapakan seorang ibu kecuali kebahagian sang anak, yang pada akhir ibunya kawinkan Mariamin jua kepada seorang duda berkecukupan.

“Itu jangan anaknda tentukan, karena Riam masih anak-anak, ibulah yang lebih tahu akan hal itu. Dalam perkawinan, perkataan orang tualah yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja” (Azab dan Sengsara, 2001:115).

“Itulah sebabnya, maka ibu ingin mempersuamikan anakku, dengan Kassibun, karena gajinya pun besar, kata orang. Ingatlah perkawinan ini saja yang dapat menyudahkan sengsara kita, sependapat-dapatnyalah anakanda menurtu perkataan bunda itu” (Azab dan Sengsara, 2001:147). Begitulah seorang ibu yang memberi solusi dari kesengsaraan sang anak, yakni mengawinkan ia dengan orang berada. Namun, siapalah yang menanggung di kemudian hari jika jodoh sang anak tiada sesuai pikiran dan tabiat dengan suaminya? Tentulah Mariamin yang menanggung luka dalam rumah tangga itu.

4. Citra perempuan di dalam masyarakat

Perempuan dianggap dipandangan orang setempat kegagalan akan berumah tangga, akibat istri yang tiada patuh akan suami. Walaupun fakta cerita ini Mariaminlah yang kena aniaya tapi tetap dijadikan kambing hitam. Terlihat jelas perbedaan hukuman yang diterima antara laki-laki dan perempuan, hal ini tergambar dalam kutipan:

“Akan tetapi apakah hukuman yang diterima laki-laki yang bengis itu? Tiada lain daripada ia didenda dua puluh lima rupiah, dan perkawinan mereka itu diputuskan. Kesudahannya Mariamin terpaksa pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara” (Azab dan Sengsara, 2001:160-161). Berdasarkan kutipan tersebut beban moral hanya ditujukan kepada perempuan, dan adat istiadat yang memandang perempuan dengan kasta bawah.

Perempuan dalam novel Azab dan Sengsara lengkap dari segala peran dan presepsi, dimana perempuan dianggap lemah, harus taat pada tata aturan adat istiadat, tidak dapat memilih jalan mana yang ingin dilewati dalam kehidupan. Perempuan digambarkan dalam kungkungan stigma masyarakat yang begitu melekat. Merari Siregar menuangkan hasil pengamatan dan keresahan akan adat istiadat seperti kawin paksa, perceraian, dan kesenjangan sosial dalam roman ini. Penulis menyisipkan banyak sekali nilai-nilai moral, sungguh betapa kata-kata mampu menyihir pembaca dengan mengugah kesadaran pribadi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image