Resensi novel Azab dan Sengsara -Kehidupan Penuh Sengsara-
Sastra | 2023-05-04 12:12:23Judul buku : Azab dan Sengsara
Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
ISBN : 979-407-18-4
Halaman : 163 hlm
Tahun Terbit : 2001
Cetakan : Keduapuluh dua
Azab dan Sengsara buah karya sastrawan ternama Indonesia angkatan Balai Pustaka ialah Merari Siregar. Terbit kali pertama pada tahun (1927), novel ini laris manis pada masanya. Selain Azab dan Sengasara, yang menjelma tonggak kesusastraan Indonesia, penulis juga piawai menyadur manuskrip sastrawan luar, kemudian tertuang dalam cerita Si Jamin dan Si Johan karya Justus van Maurik (1918). Novel ini mengangkat kisah budaya yang kental akan adat istiadat, keyakinan masyarakat dahulu akan kekuatan ramalan nasib, dan kesenjangan sosial. Tergambar lewat judul Azab dan Sengsara, kisah ini menampilkan tokoh utama mulanya ia seorang anak dara yang hidup berkecukupan. Ayahnya berasal dari kalangan bangsawan yang dilimpahi harta warisan. Namun harta tersebut pada akhirnya lenyap tanpa sisa, sebab budi buruk berisi ketamakan, kesombongan, dan keras kepala sang ayah menghantarkan ia bersama ibu dan seorang adiknya hidup dalam kemelaratan setelah kepergian sang ayah. Ia tinggal dan dewasa di kota Sipirok, Sumatera Utara, kota syahda kental akan adat istiadat dan perbedaan antar kasta.
Mariamin, itulah nama anak dara cantik nan luhur budinya. Sejak kecil ia menjalin tali persahabatan dengan saudara sepupuhnya Aminuddin. Beranjak dewasa perasaaan kian berubah, hilang sudah kata sahabat berganti kekasih. Sungguh betapa saling kasih-mengasihi dua muda-mudi itu, khayalan akan bersama sepanjang hidup terus jadi mimpi. Aminuddin, seorang pemuda baik berpamitanlah ia kepada sang kekasih untuk pergi merantau ke kota mencari sumber kehidupan, tujuan meminang Mariamin dikemudian hari, yang pada akhirnya tak pernah sampai. Bergantilah bulan antar bulan, kini Aminuddin itu telah makan gaji, siap sudah menjemput sang kekasih di kampung. Surat demi surat telah dilayangkan saban waktu kepada Mariamin. Sungguh alangkah senang anak dara itu, ia simpankan bubuk kopi hingga juada, niat menyambut calon mertua yang disampaikan Aminuddin akan menjemputnya ke kota.
Di lain rumah perdebatan antar orang tua Aminuddin tentang pilihan anaknya akan Mariamin. Memutuskan perkara itu, orang tua Aminuddin menyambangi dukun demi menerawang nasib anaknya. Apalah kata sang dukun, selain celaka akan dua muda-mudi itu jika bersatu. Bulat sudah tekad orang tua Aminuddin, ia ambil anak dara cantik lain dibawakan kepada Aminuddin untuk dinikahkan. Runtuh rasanya dada Aminuddin melihat perempuan lain yang datang di stasiun kala itu. Tiada daya dan upaya untuk menentang keputusan orang tua, Aminuddin berat hati menikalah dan ia kirimkan surat permohonan ampun kepada kekasih hatinya Mariamin. Bak petir siang bolong, tak akan Mariamin sangka, ketakutannya jadi nyata. Sejak hari itu ia hidup bagai tak hidup, memaksa raga bekerja namun kosong jiwa.
Ibu mana yang tega membiarkan anak daranya hidup terus-menerus sendiri dalam sengsara. Ia kawinkan Mariamin kepada seorang duda berkecukupan, Kasibun namanya. Meski tak ingin, Mariamin pun menikah, turuti suaminya itu menetap di kota. Apa yang diharapkan dari perjodohan tanpa tau bibit, bebet, bobot orang itu, akhirnya berujung aniaya yang dituai Mariamin. Sebab itu, ia bercerai dan pulang ke kampung dengan berbekal nama buruk dan malu. Dipandangan orang setempat kegagalan akan berumah tangga, akibat istri yang tiada patuh akan suami. Penghabisan kisah ini, tiada lagi rumah bambu yang didiamin Mariamin, ia telah pindah di tanah merah yang masih basah, tubuhnya telah menyatu dengan bumi. Entahlah apa-apa sebab kematiannya tak dijelaskan secara terang, yang jelas tiada lagi Mariamin merasakan azab dan sengsara di bumi. Jiwanya yang suci telah tenang di keabadiaan.
Merari Siregar menuangkan hasil pengamatan dan keresahan akan adat istiadat seperti kawin paksa, perceraian, dan kesenjangan sosial dalam roman ini. Penulis menyisipkan banyak sekali nilai-nilai moral, sungguh betapa kata-kata mampu menyihir pembaca dengan mengugah kesadaran pribadi. Kawin paksa bukanlah solusi untuk membahagiakan anak tercinta, bisa saja menjerumuskan sang anak ke dalam kehidupan pernikahan bak neraka karena tiada asas cinta. Begitupula nasib, tiadalah yang benar-benar mengetahui apa yang menjadi takdir baik buruk seorang anak manusia, kecuali Tuhan sang pencipta, dari itu benar-benar perbuatan salah percaya akan dukun seperti yang dilaksanakan orang tua Aminuddin. Cerita ini juga menyampaikan, tiadalah benar akan adanya kesenjangan sosial, baiklah semua untuk hidup berdampingan dalam tolong-menolong, tidak berlaku lagi zaman kini perbedaan kasta maupun perempuan dianggap rendah, ini merupakan pemikiran kolot.
Novel menakjubkan ini kaya akan makna, alur yang menarik, sarat akan diksi-diksi sastra, dan mengajak pembaca menelusuri adat istiadat serta keelokan negeri Sipirok, Sumatera Utara. Dibalik banyaknya kelebihan, ada juga beberapa bagian novel sulit dipahami, dari segi bahasa yang tidak baku, maupun kalimat-kalimat sastra yang multitafsir. Pesan moral paling menonjol dari cerita ini adalah sesulit apa ujian yang kita terima, tetap teguh dan percaya akan Tuhan yang menguatkan, limpahan kasih dan sayang kepada makhluknya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.