Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Pakel sebagai Akibat dari Gembar-Gembor Reformasi Agraria

Politik | Wednesday, 17 May 2023, 17:06 WIB
Sumber gambar: Tirto.id

Reformasi agraria sudah sejak lama digembor-gemborkan. Sejak pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi, reformasi agraria menjadi program kerja pemerintahan yang tak ada ujungnya. Hal ini dikarenakan kuatnya rantai kepemilikan lahan agraria oleh pihak yang memiliki kekuatan yang cukup berpengaruh. Lahan agraria yang dimiliki segelintir orang ini nampaknya susah sekali untuk diputus rantainya, dapat diibaratkan sebagai rantai besi yang berusaha diputus oleh tangan kosong, mustahil sekali. Hingga saat ini Presiden Joko Widodo membuat jalan baru untuk program reformasi agraria tersebut, dengan harapan reformasi agraria ini lebih tepat sasaran untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Jalan baru reformasi agraria untuk memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan kesenjangan ekonomi nyatanya masih belum nampak hilalnya. Apa yang akan diberantas dan dikurangi sama sekali belum hilang dan sepenuhnya berkurang, malah menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan. Bolehkah menyebut ini sebagai kesejahteraan rakyat? Jika boleh apakah standar kesejahteraan rakyat dihitung dari seberapa menderitanya rakyat Indonesia karena ditindas oleh ketidakadilan?

Konflik agraria sudah sejak lama berlalu-lalang di portal pemberitaan Indonesia, contohnya seperti konflik sengketa Waduk Sepat Surabaya antara warga Lakarsantri dengan korporasi; Pertambangan Andesit Desa Wados, Jawa Tengah yang dikepung oleh aparat dan dilakukan penangkapan puluhan masyarakat Desa Wados, Jawa Tengah, serta dilakukan penonaktifan internet; dan perampasan lahan sawit yang dilakukan oleh korporasi di Sulawesi Barat. Konflik yang serupa juga terjadi pada tahun 2018 dan baru-baru ini konflik tersebut menyita perhatian publik yaitu konflik agraria yang terjadi di Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur. Konflik ini sama dengan konflik agraria lainnya yang bersengketa dengan korporasi. Memang korporasi menjadi pihak yang paling sering bersengketa dengan masyarakat faktor yang mempengaruhi adalah tingginya kuasa dan materi yang dimiliki sehingga sangat mudah untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah seperti pembersihan hak milik atas tanah.

Penangkapan tiga petani menjadi puncak dari permasalahan lahan di Desa Pakel, Banyuwangi. Penangkapan tersebut nyatanya dapat disebut cacat prosedur, karena menurut beberapa portal berita, surat penangkapan yang seharusnya diserahkan oleh pihak yang berwajib malah dikirim melalui kurir. Benar bahwa sekarang manusia hidup di jaman yang serba instan dan cepat namun sesuatu yang sudah dikatakan prosedur harus dilakukan sesuai dengan aturan main yang berlaku. Seharusnya besarnya lembaga atau institusi terkait penangkapan tiga petani Desa Pakel tersebut ditunjang dengan prosedur penangkapan yang terstruktur pula. Lalu, citra apa yang akan diharapkan dari masyarakat? Saya kira masyarakat Indonesia sudah terlalu pintar untuk menilai rusak atau tidaknya sesuatu.

Ditarik dari waktu pemberian hak atas tanah oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1929 oleh warga Desa Pakel, Banyuwangi, konflik ini sudah hampir satu abad belum ada penyelesaian. Malah pada tahun 1980-an perusahaan perkebunan cengkih, PT Bumi Sari Maju Sukses mengklaim tanah tersebut merupakan areal perkebunan milik PT Bumi Sari. Ketimpangan hak milik atas tanah tersebut jika diperdebatkan dan ditempuh dengan jalur hukum tentunya akan menghasilkan keputusan yang menguntungkan pihak yang memiliki kuasa yang kuat. Hal itu bisa saja terjadi jika terdapat permainan kotor di baliknya. Konflik ini bisa selesai jika terdapat lembaga yang jujur.

Konflik agraria Desa Pakel pecah mulai tahun 1999-2000, pada tahun itu laki-laki di Desa Pakel melarikan diri ke kota dan bersembunyi. Karena banyaknya laki-laki di Desa Pakel yang melarikan di ke kota, otomatis di desa hanya tersisa perempuan dan anak-anak. Konflik agraria ini berdampak buruk bagi perempuan dan anak-anak di Desa Pakel. Para perempuan tersebut harus merasakan perasaan sedih dan takut ditambah lagi terdapat anak-anak yang terpaksa purus sekolah sebagai akibat dari terganggunya mata pencaharian dan orang tua yang kena tangkap aparat. Konflik agraria dampaknya dapat merambat ke aspek-aspek lain, bisa disebut merampas sebagian hidup seseorang. Konflik tersebut dapat mengganggu mental seseorang karena adanya perasaan ketakutan dan was-was jika sewaktu-waktu konflik agraria ini booming kembali. Hal itu membuat hidup seseorang tidak nyaman tentunya dapat menimbulkan ketegangan dan rasa jenuh. Lalu, tidak seharusnya konflik agraria di Desa Pakel merampas hak anak untuk mengenyam pendidikan. Bukankah pendidikan merupakan aset yang sangat penting bagi negara dan dapat dijadikan investasi di masa depan?

Tiga petani dari Desa Pakel tersebut dijerat dengan pasal 14 dan pasal 15 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong dan membuat onar. Penjeratan pasal tersebut tidak sesuai, karena yang dianggap berbuat onar dalam pasal tersebut adalah membuat kegaduhan dalam masyarakat. Nyatanya tiga petani tersebut tidak membuat kegaduhan dalam masyarakat. Mereka hanya menggunakan tanah yang dianggap sebagai tanah mereka yang sudah dibuktikan dengan adanya pemberian hak milik tanah pada masa kolonial Belanda.

Konflik Pakel merupakan salah satu contoh tidak meratanya keadilan agraria di tanah air ini. Selalu, dalam terjadinya konflik agraria rakyat kecil tertindas dan menjadi korban. Rakyat kecil bersengketa dengan korporat yang memiliki kuasa maka akan kalah karena tidak memiliki kuasa dalam bidang ekonomi maupun koneksi yang mampu menandingi kuasa korporat. Ketika rakyat kecil selalu ditindas apalah artinya sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jika melihat realita yang ada dalam masyarakat pertanyaan akan selalu muncul yaitu berapa lama keadilan akan terwujud di Indonesia?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image