Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Romi Febriyanto Saputro

Keaksaraan, Literasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 11 May 2023, 15:05 WIB

Oleh Romi Febriyanto Saputro, Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Mengacu pada hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, angka buta aksara di Indonesia tinggal 1.56 persen atau 2,7 juta orang. Jumlah tersebut menurun dibanding data buta aksara pada 2020 dengan angka 1,71 persen atau sekitar 2.9 juta orang.

Menurut Permendikbud Nomor 8 Tahun 2014, dalam konteks pendidikan untuk semua (Education for All) dan peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia yang dilandasi oleh prinsip pendidikan sepanjang hayat, pendidikan keaksaraan memiliki fungsi strategis untuk memenuhi hak pendidikan dasar bagi warga negara. Gerakan pendidikan keaksaraan yang dimulai sejak lebih dari enam dekade yang lalu, telah mengalami perkembangan mulai dari konsep pemberantasan buta huruf (PBH) sampai pada pentingnya seseorang memiliki literasi dalam segala bidang kehidupan.

Istilah literasi ini ketika sampai ke Indonesia diartikan secara berbeda oleh pihak yang berbeda pula. Ada yang mengartikan melek aksara seperti pada program keaksaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ada pula yang mengartikan melek informasi seperti pada program gemar membaca Perpustakaan Nasional RI. Angka melek aksara di Indonesia memang sudah cukup tinggi tetapi angka melek informasi (literasi) masih cukup rendah. Penyebaran hoaks alias berita bohong yang sangat massif di negeri ini adalah salah bukti tingkat literasi informasi yang masih rendah. Masyarakat gagal untuk membedakan informasi yang benar dan informasi bohong.

Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) 2019 hasil penelitian menunjukkan angka bahwa aktivitas literasi di tanah air termasuk dalam kategori aktivitas literasi rendah, yaitu berada di angka 37,32. Nilai tersebut tersusun atas, dimensi kecakapan sebesar 75,92; dimensi akses sebesar 23,09; dimensi alternatif 40,49; dan dimensi budaya sebesar 28,50. Distribusi pada keempat dimensi sekaligus memperlihatkan sumbangan masing-masing dimensi dimana akses dan budaya menyumbang peranan terkecil. Ternyata, mereka yang sudah dapat membaca tidak secara otomatis mau membaca.

Indeks yang digagas Pusat Penelitian Kebijakan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut memetakan 4 dimensi dalam aktivitas literasi dengan menggunakan berbagai data sekunder. Empat dimensi yang diukur dalam indeks ini antara lain, pertama, kecakapan dengan indikator angka bebas buta aksara dan rata-rata lama sekolah. Kedua, akses yang terdiri atas perpustakaan di berbagai lingkup daerah, seperti perpusatakaan umum, komunitas, sekolah, kabupaten/kota, dan sebagainya. Ketiga, dimensi alternatif yakni penggunaan media selain buku konvensional seperti buku digital. Keempat, dimensi budaya yang bisa diterjemahkan sebagai kebiasaan membaca.

Selama ini program keaksaraan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan program gemar membaca dari Perpustakaan Nasional RI belum pernah ketemu pada satu titik. Padahal kedua program ini sangat berkaitan karena punya satu titik pertemuan yang disebut pemberdayaan masyarakat. Edi Suharto (2005) berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan usaha untuk memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam menemukan solusi dan memenuhi kebutuhan hidup.

Permendikbud Nomor 8 Tahun 2014 mengungkapkan bahwa konsep literasi muncul karena didorong oleh kenyataan pesatnya perubahan sosial dan perkembangan masyarakat yang "memaksa" seseorang untuk melek aksara dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks ini muncul konsep keaksaraan-ganda atau multi-keaksaraan sejalan dengan pendidikan keaksaraan yang dikembangkan oleh UNESCO dalam istilah pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan masyarakat (Literacy Initiative for Empowerment) sebagai gerakan internasional yang dimasudkan agar setiap orang dapat memperoleh pendidikan keaksaraan sebagai hak asasinya, terutama kaum wanita.

Istilah “Literacy Initiative for Empowerment” dapat pula diartikan dengan literasi untuk pemberdayaan masyarakat seperti yang dipakai oleh Perpustakaan Nasional RI dalam program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Menurut program ini literasi memiliki fungsi penting dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat. Literasi merupakan hak setiap warga untuk memperoleh manfaat berupa peningkatan kualitas hidup.

Hal ini mendorong Perpustakaan Nasional RI sebagai pembina semua jenis perpustakaan dengan dukungan dari Bappenas berinisiatif untuk melakukan program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. Program ini bertujuan memperkuat peran perpustakaan umum dalam memberdayakan masyarakat melalui berbagai macam layanan literasi. Seperti sirkulasi buku, pelatihan komputer, pelatihan internet, pelatihan kerajinan tangan, pelatihan memasak dan berbagai kegiatan pelibatan komunitas.

Program keaksaraan (melek huruf) dan literasi (melek informasi) akan menjadi lebih bertuah jika disinergikan menjadi satu kegiatan Pemberdayaan Keaksaraan dan Literasi (PKL). Konsep PKL ini untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara melek huruf dan melek literasi. Dalam hal ini model tahapan pemberdayaan oleh Tim Delivery 2004 sebagaimana dikutip Totok Mardikanto dan Purwoko Subiyanto (2017) dapat dipergunakan. Tahap pertama, seleksi lokasi. Lokasi pemberdayaan adalah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), perpustakaan umum kabupaten/kota, perpustakaan kecamatan, dan perpustakaan desa. SKB, TBM, dan perpustakaan yang dipilih sebagai lokasi kegiatan sekaligus adalah aktor pelaksanaan kegiatan pemberdayaan. SKB, TBM, dan perpustakaan adalah sarana untuk memberantas buta aksara dan buta informasi.

Tahap kedua, sosialisasi pemberdayaan masyarakat. Tahap ini harus melibatkan semua komponen yang ada di masyarakat. Seperti komunitas perempuan, komunitas remaja, komunitas wirausaha, pemangku kepentingan, dan tokoh masyarakat. Urgensi melek aksara harus terus disandingkan dengan melek informasi yang tersedia di buku, dunia maya, maupun sumber informasi lain. Melek aksara tak cukup diukur dengan sekedar membaca alfabetis dan numerik melainkan harus mampu memproleh manfaat secara fungsional untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan adalah kekuatan untuk menuju hidup yang lebih sejahtera.

Tahap ketiga, proses pemberdayaan masyarakat. Proses ini merupakan rangkaian yang terdiri dari keaksaraan dasar, keaksaraan usaha mandiri, pelatihan teknologi informasi, dan aneka pelatihan yang menjadi kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaannya. Pada tahap ini, proses untuk menumbuhkan budaya baca dimulai dengan mengajarkan keaksaraan dasar. Membacakan buku kepada para penyandang buta aksara merupakan salah satu menu untuk merangsang syahwat membaca. Setelah mereka melek aksara diharapkan sudah memiliki nafsu berburu informasi melalui buku, internet, dan mengikuti aneka pelatihan untuk mempraktikkan isi buku.

Tahap keempat, pemandirian masyarakat. Menurut Oos M Anwas (2014), fokus pemberdayaan dapat dapat bersifat individu dan komunitas. Pemberdayaan yang bersifat individu merupakan proses untuk menguatkan pengetahuan, motivasi, keterampilan dan pengalaman individu sehingga mempunyai daya saing untuk mandiri. Pemberdayaan komunitas berarti menguatkan kemampuan komunitas dalam meningkatkan keberdayaan komunitas sehingga mendorong anggota komunitas untuk mandiri.

Pada tahap ini fasilitator pemberdayaan mendorong sasaran pemberdayaan agar berani mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh menjadi karya nyata. Misalnya, peserta yang sudah dilatih membuat kue dimotivasi agar mau membuat kue di rumah. Kemudian dibantu pemasaran melalui jalur online maupun offline. Selain itu, dihubungkan dengan pemangku kepentingan lain seperti Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan yang banyak bergerak dalam pemandirian masyarakat.

Dengan empat tahapan ini diharapkan pelaksanaan program keaksaraan tidak hanya sekedar menghilangkan angka buta huruf tetapi juga mengurangi angka buta informasi. Selain itu juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar literasi untuk kehidupan yang lebih baik bukan sekedar slogan melainkan mampu berkontribusi mewujudkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing tinggi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image