Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Milzam Ralibi Zahid

Konflik Natuna dan implikasinya terhadap Politik Bebas aktif Indonesia

Politik | Monday, 08 May 2023, 17:48 WIB
Tangkapan rekaman video saat KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Penjaga Pantai China di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin (30/12).

Ketegangan persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China di Laut China Selatan (LTS), khususnya di perairan Natuna, terus meningkat karena AS membentuk aliansi dengan Australia dan Inggris. Lantas apakah kebijakan luar negeri yang mengalir bebas masih berperan dalam merespon ketegangan ini?

Diketahui, salah satu perairan Indonesia, Natuna, merupakan penghasil minyak dan gas bumi yang kaya. Padahal, cadangan gas terbesar Indonesia sebesar 49,87 triliun kaki kubik (TCF) berada di Natuna, tepat di dalam Blok Natuna Timur, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam. Maka tak heran jika Natuna dikenal sebagai kawasan dengan cadangan gas terbesar di Asia dan Pasifik.

Potensi sumber daya alam yang kaya tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi yang mengundang investor Amerika untuk berinvestasi di Kepulauan Natuna, setuju. Tawaran itu diajukan kepada Menteri Luar Negeri era Donald Trump Mike Pompeo.

Selain menawarkan ruang investasi Amerika, Indonesia mengajak pemerintah Jepang melakukan hal yang sama di Natuna. Ajakan ini tidak lepas dari kerjasama yang terjalin baik antara Indonesia dan Jepang dalam pengembangan pusat kelautan dan perikanan di Natuna.

Sektor ini berpotensi menjadi sumber ekspor yang menjanjikan bagi negara. Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau menyebutkan, nilai ekspor ikan dan udang dari Kabupaten Natuna meningkat pada 2019. Pada September 2019, ekspor ikan dan udang asal Natuna sebanyak 11.050 kilogram dengan nilai 31.258,23 USD. Kemudian, pada November 2019, naik menjadi 8.654 kilogram senilai $42.681,73. Dan Desember mencapai 18.554 kilogram senilai $60.499,47.

Kekayaan sumber daya alam inilah yang menjadi daya tarik utama Natuna. Maka jangan heran jika banyak kontroversi di perairan ini ketika kapal-kapal dari negara asing seperti China menyerbu. Padahal, menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), perairan Natuna termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Namun, alasan China mengklaim perairan Natuna terkait dengan sembilan garis putus-putus. Sementara itu, China secara sepihak meletakkan dasar bagi Nine-Dash Line. Perbedaan pandangan kerap memicu kontroversi yang berujung pada gesekan antara Indonesia dan China di perairan Natuna.

Di tengah pergerakan China, ternyata Amerika Serikat tak diam meski di era Joe Biden. Langkahnya di Natuna tercermin dalam kesepakatan antara Amerika Serikat dan Indonesia untuk membangun pusat pelatihan maritim baru senilai $3,5 juta, atau 50 miliar rupiah, di wilayah Batam Kepulauan Riau.

Dioperasikan oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla), pusat pelatihan ini memiliki beberapa fasilitas seperti ruang kelas, barak, dan landasan peluncuran. Akibatnya, China dilaporkan menanggapi dengan menempatkan pesawat siluman 8Q dan pesawat KJ-500 Airbone Early Warning and Control (AEW&C) di lapangan udara Fiery Cross Reef, lebih khusus lagi di Kepulauan Spratly.

Sekaligus, fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mendapat tekanan dari dua negara adidaya yang saling "pamer" di perairan Natuna. Lalu apa implikasinya bagi Indonesia?

Security Dilemma di Perairan Natuna

Indonesia menanggapi kedatangan ribuan kapal dari China dan Vietnam di perairan Natuna oleh Sekjen Bakamla Laksamana Muda S. Irawan bahwa keterbatasan sarana dan prasarana menjadi penyebab sulitnya mengusir kapal-kapal tersebut keluar dari perairan Natuna.

Situasi ini tentu dapat mengganggu keamanan Indonesia karena kapal-kapal Amerika juga terlihat sekitar 50 mil laut dari kawasan Natuna. Situasi semakin mengkhawatirkan jika dibuat aliansi tripartit, yang meliputi Amerika Serikat, Australia, dan Inggris. Tujuan aliansi ini adalah untuk menghentikan pengaruh China di kawasan Laut China Selatan (LTS). Namun, satu hal yang akan menjadi sorotan saat aliansi ini terbentuk adalah rencana AS untuk memberikan akses teknologi kepada Australia yang akan mengarah pada pembangunan delapan kapal selam nuklir.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menanggapinya dengan mengingatkan Australia untuk menghormati komitmennya terhadap nonproliferasi nuklir. Pada dasarnya, Kementerian Luar Negeri menekankan bahwa Australia harus memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan.

Secara umum, perjanjian ini membahas tentang perlunya negara-negara Indo-Pasifik saling menghormati wilayah masing-masing dan menjamin perdamaian kawasan. Maka wajar jika Indonesia mengkhawatirkan keamanan negaranya ketika melihat Amerika Serikat berolahraga bersama dengan dua negara lainnya, Australia dan Inggris. Terkait dengan situasi tersebut, kita dapat memahami situasi Natuna, khususnya Indonesia dan Australia, yang sedang menghadapi dilema keamanan. Artikel The Security Dilemma and Ethnic Conflict oleh Barry R. Posen menegaskan bahwa, secara realistis, area prioritas negara mana pun adalah keamanan. Sehingga setiap negara berlomba-lomba meningkatkan keamanannya untuk meminimalisir ancaman dari negara lain.

Pada dasarnya semua negara menginginkan perdamaian, tetapi dari sudut pandang anarkis. Solusi untuk ini adalah memperkuat pertahanan. Di sinilah dilema keamanan mulai muncul, yaitu suatu negara meningkatkan keamanannya sebagai tanggapan atas tindakan serupa oleh negara lain. Bentuk kerjasama ini juga dinilai sulit karena ada ketidakpercayaan antar negara, sehingga tidak ada negara yang saling percaya.

Dengan fenomena tersebut, Indonesia tetap menganut prinsip politik luar negeri yang liberal aktif agar tidak bergabung dengan kekuatan besar lainnya, Amerika Serikat dan China. Lantas, apakah politik luar negeri free action masih relevan diterapkan di perairan Natuna di tengah persaingan dua negara besar itu?

Bebas-Aktif Masih Relevan?

Kebijakan luar negeri yang aktif secara bebas tetap menjadi prinsip utama Indonesia dalam menentukan posisinya, khususnya dalam isu Laut China Selatan. Indonesia mencapai ini dengan tidak berjanji atau secara terbuka memilih untuk mendukung AS atau China. Jika Indonesia saat ini telah menjalin pusat maritim bersama dengan Amerika Serikat, hal tersebut tidak bisa dijadikan indikator bahwa Indonesia telah berpihak pada negeri Paman Sam tersebut.

Artikel "Understanding Deterrence" oleh Michael J. Mazarr menjelaskan bahwa suatu negara dapat mencoba menekan negara lain untuk tidak mengambil tindakan yang mengancam. Merujuk pada pemahaman tersebut, kerjasama Indonesia-AS dalam membangun pusat maritim dapat dikategorikan menerapkan konsep deterrence terhadap China, khususnya di perairan Natuna. Hal ini tidak terlepas dari pergerakan kapal China di perairan tersebut.

Nah, masalah lama yang bisa menjadi kendala adalah keterbatasan alutsista untuk meningkatkan kedaulatan. Hal itu terlihat dari pernyataan Bakamla dalam rapat gabungan Komisi I DPR yang menegaskan masih kekurangan sarana dan prasarana untuk melakukan patroli laut. Maka jangan heran jika Indonesia berusaha menekan negara lain dengan konsep deterrence karena tidak memiliki kemampuan militer yang cukup. Namun, jika Indonesia ingin meningkatkan kemampuan militernya, pemerintah bisa melihat ke Swiss. Kebijakan luar negeri negara ini memiliki prinsip netralitas, sehingga setiap kebijakannya harus terkait dengan prinsip ini. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Departemen Penyelamatan dan Olahraga (DDPS) Kementerian Pertahanan Federal, kenetralan Swiss menyatakan harus menjaga perdamaian sambil melanjutkan kerja sama militer dengan negara lain. Hingga saat ini, pemerintah Swiss menganut prinsip ini dengan ketat

Referensi :

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51143850

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230120083810-4-407001/kala-sang-naga-berambisi-di-harta-karun-laut-china-selatan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image