Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image RAISHA NURHALIZA

Perjuangan Melawan Kelas dan Struktur Sosial dalam Novel Bumi Manusia

Sastra | Friday, 05 May 2023, 16:05 WIB

Novel “Bumi Manusia” yang menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan melawan kelas dan struktur sosial yang sudah dibangun. Novel ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, atau yang lebih akrab disapa Pram. Pram merupakan salah satu sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Putra pertama dari seorang Kepala Sekolah Institut Budi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing. Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor berita Domei telah memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis.

Bumi manusia merupakan roman bagian pertama dari Tetralogi Buru yang membuat kita bertanya-tanya, apakah artinya menjadi bangsa Indonesia? Berlatar di era kolonial Belanda, roman ini mengisahkan tentang seorang pribumi bernama Minke, seorang keturunan priyayi Jawa yang mendapatkan privilege untuk dapat mengenyam pendidikan ala Eropa di H.B.S. Hanya orang Totok (Eropa asli), Indo (campuran), dan orang pribumi yang berkedudukan tinggi yang boleh bersekolah di sana.

Minke sangat mengagumi betul bagaimana pendidikan ala Eropa, mulai dari ilmu pengetahuannya, budayanya, dan semua yang berbau Eropa. Namun, banyaknya ilmu yang ia terima, tak cukup berarti membuat hidupnya aman sejahtera. Ia kerap berselisih dengan keluarga lantaran pertentangan antara mengikuti modernisasi atau mempertahankan tradisi. Dia dianggap bukan Jawa lagi oleh keluarganya akibat nilai-nilai yang telah diterimanya. Perdebatan antara membenarkan yang biasa dan membiasakan yang benar, ditulis sangat berani di sini.

Suatu hari, Minke diajak oleh temannya, Suurhoff, untuk pergi ke suatu Rumah di Wonokromo. Disana, ia bertemu dengan Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema. Nyai ialah seorang perempuan Jawa tulen, ia tak mendapatkan akses pendidikan sama sekali. Tetapi, beliau sukses dalam mengelola usaha suaminya dikala suaminya sendiri hanya bermabuk-mabukan dan bermain di rumah bordil. Nyai merupakan tokoh yang sangat menonjol dalam buku ini, ia menjadi simbol dimana walaupun hak-hak perempuan direndahkan pada masa itu, Nyai tetap jauh lebih “berguna” daripada suaminya. Tanpa kesetaraan dalam hidup, seorang Nyai bisa melampaui Mellema yang penuh fasilitas.

Tetapi apa daya, di akhir cerita setelah berbagai konflik dan pembunuhan Mellema, Nyai dipaksa keluar dari rumahnya karena ia hanya istri simpanan dan tidak mempunyai hak asuh atas anak-anaknya. Selain Nyai, Minke juga dipertemukan dengan seorang gadis bernama Annelies yang tidak lain adalah anak Nyai. Secara ironis, ia menjadi tulang punggung keluarganya dengan mengelola usaha Mellema.

Dengan seiring berjalannya cerita, Minke dan Annelies kemudian menjalin cinta. Tetapi, tragedi demi tragedi muncul dan membuat mereka harus berpisah. Walaupun sudah menikah, Annelies dipaksa untuk pindah ke negara asalnya. Semua berbuntut dari kejadian yang sama, yakni pembunuhan Mellema di rumah bordil.

Tidak hanya sebatas itu, kisah asmara Minke dan Annelies juga menjadi salah satu hal lain yang perlu Minke perjuangkan. Minke dan Annelies kemudian menjalin cinta. Tetapi, tragedi demi tragedi muncul dan membuat mereka harus berpisah. Walaupun sudah menikah, Annelies dipaksa untuk pindah ke negara asalnya. Semua berbuntut dari kejadian yang sama, yakni pembunuhan Mellema di rumah bordil. Di sinilah Minke melihat, bahwa tembok pembatas antara kalangan pribumi dan Eropa tidak dapat terlampaui. Keadilan dan hukum hanya berjalan untuk melindungi ras kulit putih sendiri, sedangkan pribumi hanya akan tetap tertindas, dijatuhkan derajatnya serendah-rendahnya.

Memang benar yang tertulis di buku ini. “Tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.” Eropa yang merupakan guru bagi Minke, tempat ia belajar banyak hal, nyatanya tidak mampu mewujudkan hukum dan keadilan yang diajarkan dalam perbuatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image