Betul Nggak Sih, Hidup Adalah Sebuah Kompetisi?
Eduaksi | 2021-12-22 16:53:54“Jika dia sudah lebih dulu menjadi orang yang berhasil. Maka, aku tidak boleh kalah!”
Sedang ramai diperbincangkan seseorang dengan usia dibawah 30 tahun sudah dapat menggapai hal yang dicita-citakan. Seperti halnya diusia 23 tahun, Jerome Polin sudah berhasil menjadi seorang konten kretor dengan pendapatan yang tentunya bombastis! Tidak hanya itu, Jerome Polin juga menjadi pemilik dari Menantea yaitu suatu bisnis minuman teh yang sudah tidak asing bagi kita semua. Perlu diingat, tentunya jalan yang ditempuh Jerome Polin untuk menjadi seseorang yang berhasil tidak semudah yang kita bayangkan.
Pencapaian yang diraih oleh Jerome Polin pada usianya yang masih dibawah 25 tahun tentu membuka mata para generasi muda lainnya. Hal tersebut tentu dapat kita jadikan sebagai motivasi agar terus berusaha atas hal yang kita inginkan. Namun, bagaimana jika menganggap usia dari Jerome Polin adalah tolok ukur dari sebuah kesuksesan, Apakah hal tersebut salah? Menurut saya, menjadikan usia dari keberhasilan orang lain sebagai tolok ukur atau standarisasi untuk sebuah kesuksesan adalah hal yang salah, karena pasti hal tersebut akan berujung pada kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Padahal tentunya sudah jelas, rintangan yang akan kita tempuh, serta bagaimana cara kita menyelesaikan rintangan tersebut tentu berbeda dan pastinya hasil akhir yang akan kita raih itu pun berbeda.
Dapat kita ambil contoh, Dr. Susi Pudjiastuti. Beliau merupakan seorang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di Indonesia. Sebelum menjadi seseorang yang sukses, beliau sempat menjadi penjual bed cover, dan ikan. Namun, hal tersebut tidak memadamkan semangat beliau sampai akhirnya pada usia 31 tahun, beliau berhasil mendirikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product, yaitu sebuah pabrik pengolahan ikan yang mana produk unggulan yang dimiliki oleh perusahaan beliau adalah berupa udang lobster dengan merk “Susi Brand”.
Jika kita amati bersama, rupanya setiap orang sama-sama memiliki potensi untuk sukses. Namun, itu semua semua tergantung pada diri kita masing-masing, jika kita memiliki keinginan untuk sukses, maka lakukan lah hal-hal yang membawa kita pada kesuksesan tersebut. Menjadikan usia orang lain sebagai target dan memfokuskan hal tersebut sebagai motivasi untuk sukses itu boleh. Namun, yang tidak diperbolehkan adalah membandingkan pencapaian yang telah diraih oleh orang lain, dengan pencapaian yang telah kita raih. Biasanya hal seperti ini nantinya akan berujung pada kita untuk mendorong diri kita melakukan hal yang biasa kita sebut dengan toxic productivity.
Apa Itu, Toxic Productivity?
Mari kita gali lebih dalam mengenai toxic productivity. Seorang psikologis klinis dari Hampshire, Inggris. Dr. Julie Smith pernah mengatakan bahwasannya toxic productivity merupakan sebuah obsesi atau rasa candu untuk terus meningkatkan kualitas diri, dan kemudian selalu merasa bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Dengan kata lain, toxic productivity adalah kecanduan untuk terus melakukan hal produktif.
Memang, untuk terus produktif tidak lah salah. Namun, yang dikhawatirkan adalah hal tersebut dilakukan secara terus menerus tanpa mengetahui batasan bagi diri kita. Seperti halnya, mengesampingkan kebutuhan yang harus kita penuhi sebagai makhluk hidup, misalnya makan, minum, kemudian bersosialisasi dengan orang banyak, dan sebagainya. Produktivitas tersebut juga akan berubah menjadi hal yang tidak apabila kita mulai memiliki rasa bersalah ketika kita rehat sejenak dari aktivitas yang menyibukkan. Padahal, manusia pada umumnya pasti butuh istirahat, butuh makan dan butuh minum.
Berikut hal yang dapat dilakukan untuk menghindari toxic productivity:
1.Kembali maknai arti istirahat. Definisikan istirahat sesuai dengan kebutuhan kita, kemudian kenali juga apa kebutuhan badan kita secara fisik dan mental dalam hal beristirahat. Istirahat tak hanya berleha-leha atau menikmati makan di tengah bekerja. Jangan selalu forsir diri kita hingga enggan beristirahat.
2.Tetapkan target yang realistis sesuai dengan kebutuhan diri kita. Memang terkadang toxic productivity dilakukan karena adanya motivasi tentang harapan dan tujuan yang membumbung tinggi dan harapan yang tak realistis itu membuat kita selalu mengusahakan apapun untuk mencapai sampai mengorbankan hal lain. Maka dari itu, tetapkan tujuan yang realistis sesuai dengan kebutuhan kita.
3. Beri batasan jelas dalam pekerjaan. Salah satu hal yang membuat kita melakukan toxic productivity adalah kaburnya batasan dalam pekerjaan kita. Sehingga ketika kita merasa bisa melakukan semuanya, kita langsung melakukannya tanpa memikirkan apakah pekerjaan tersebut masuk ke dalam wilayah tugas kita atau tidak.
Lantas, Anggapan “hidup adalah sebuah kompetisi” Apakah Betul?
Tentu, hidup adalah sebuah kompetisi. Kita semua berjuang atas hal yang kita inginkan agar tercapai. Kita semua juga berjuang atas segala hal yang kita hadapi di dunia ini.
Kerap kali kompetisi ini dianggap sebagai hal yang negatif. Padahal, jika kita melihat dari berbagai sudut pandang, kompetisi tidak melulu sifatnya negatif. Seperti apa contohnya? Yaitu, berkompetisi untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri sendiri. Bagaimana eksekusinya? Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mulai mengubah pola hidup yang tadinya buruk, menjadi pola hidup yang baik, seperti halnya mulai mencoba untuk bangun pagi, membaca buku, mendekatkan diri kepada tuhan, mulai menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang disekitar, atau berolah raga. Memang tidak mudah, namun jika kita memiliki kemauan dan selalu berusaha, pasti kita semua akan dipermudah. Jika memang hasil akhir dari perjuangan kita tidak sesuai dengan harapan, kita masih memiliki kesempatan untuk mencoba.
Siapa Kompetitor Kita Sebenarnya?
Setelah melihat pembahasan sebelumnya. Sudah dapat dipastikan bahwasannya, competitor atau pesaing dari diri kita adalah diri kita sendiri. Ada hal yang memang harus “diberantas” pada diri kita, yaitu rasa malas. Mengapa demikian? Ini dikarenakan hal tersebut jika disepelekan nantinya akan memberi dampak yang buruk, baik bagi kesehatan secara fisik ataupun non fisik. Rasa malas harus diberantas karena dapat memberikan dampak seperti:
1.Terbiasa untuk melakukan sesuatu berdasarkan ego diri sendiri. Hal ini tentunya akan memberikan dampak yang tidak baik karena untuk kedepannya nanti, kita akan terbiasa dengan zona nyaman.
2. Kita menjadi kurang termotivasi dalam melakukan sesuatu. Pada umumnya orang-orang akan merasa bersemangat dan memiliki motivasi dalam melakukan sesuatu, nyatanya hal tersebut tidak berlaku jika kita memiliki rasa malas.
Kira-kira seperti itu pandangan yang dapat saya berikan mengenai kompetisi dalam hidup. Yang dapat saya simpulkan adalah, hidup memang kompetisi, dan competitor atau pesaing kita yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Bagaimana menurut kalian?
Referensi
1. viva.co.id (20 Oktober 2020) Siapa Susi Pudjiastuti. Diakses, pada 22 Desember 2021. https://www.viva.co.id/siapa/read/77-susi-pudjiastuti
2. idntimes.com. (tidak ada tanggal). 5 Dampak Nyata dari Sifat Suka Bermalas-malasan, Yuk lebih produktif!. https://www.idntimes.com/life/inspiration/eka-amira/5-dampak-nyata-dari-sifat-suka-bermalas-malasan-yuk-lebih-produktif-c1c2/5
3.cimsa.or.id. (tidak ada tanggal). Productivity: Know Your Limit Before It Turn Toxic. Diakses pada 22 Desember 2021. https://cimsa.or.id/news/index/productivity-know-your-limit-before-it-turns-toxic
4. zonautara.com (17 September 2021) Ini 5 Cara Menghindari Jebakan Dalam Toxic Productivity. Diakses pada 22 Desember 2021. https://zonautara.com/2021/09/17/ini-5-cara-menghindari-jebakan-dalam-toxic-productivity/
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.