AIR MATA MIDAH
Sastra | 2021-12-22 16:32:49Sebuah cerpen
Cahaya rembulan menghujani desa, masuk melalui jendela dan celah-celah dinding rumah penduduk. Di sebuah rumah terbaring jenazah. Orang itu meninggal tadi sore setelah kalah melawan penyakit stroke yang mennggerogoti tubuhnya sejak tiga tahun lalu. Beberapa orang bertakziah. Ada yang singgah, ada pula yang sekadar datang lalu pergi.
Jenazah itu aneh, mengeluarkan bau busuk dan lendir yang tak berkesudahan. Kata orang itu adalah azab.
“Kerno kena azab. Sudah pasti, sudah jelas,” kata Puji, tetangga Kerno.
“Hush, jangan asal ngomong. Kamu tidak tahu bagaimana Pak Kerno semasa hidup, kan? timpal Bambang salah satu menantu Kerno yang kebetulan mendengar perkataan Puji.
“Aku tahu betul bagiamana mertuamu itu. Aku sudah bertetangga dengannya puluhan tahun.”
“Oh ya?”
“Kau mungkin tidak mengenal dia. Kapan kau mulai tinggal di sini?” tanya Puji. Dan Bambang menyebut angka tahun. “Hm, pantas kau tidak tahu bagaimana masa lalu maertuamu. Baiklah sini kuberitahu,” Puji mendekatkan tubuhnya pada Bambang. Ia mulai bekata dengan nada yang lirih seperti berbisik.
“Semasa hidup mertuamu itu mandor bus. Ia adalah mandor yang disegani orang-orang pasar. Tapi bukan pekerjaan itu yang membuatnya terkenal. Ia dikenal orang karena dia adalah pengurus partai. Kau tahu, dia pernah menjabat ketua tim sukses salah satu calon bupati dan calon bupati itulah yang menjadi bupati kita sekarang. Orang-orang yakin keahlian Kerno itu menurun dari bapaknya.”
Kerno sebetulnya adalah orang biasa, tidak kaya, tapi juga tidak miskin. Ia sehari-hari bekerja sebagai mandor bus terminal. Pada suatu kali Kerno dipercaya sebagai mandor pembangunan pasar. Nilai proyek itu mencapai milyaran. Kerno tentu kecipratan. Setelah proyek itu selesai, dalam sekejap, Kerno menjadi orang kaya baru.
Adalah rahasia umum bahwa Kerno memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk. Mabuk, berjudi, dan sabung ayam adalah rutinitasnya. Dan yang paling buruk adalah main perempuan. Semua kebiasaan buruk itu semakin menjadi setelah ia memperoleh kekayaan. Entah sudah berapa perempuan yang menjadi selingkuhan Kerno. Anehnya walau berkali-kali ketahuan selingkuh ia mendapatkan kembali kepercayaan istrinya. Sang istri, Midah yakin bahwa Kerno akan berubah setelah meminta maaf.
Bulan menghilang di balik awan, namun cahaya bintang masih nampak. Orang-orang masih mengerubungi rumah itu sambil menutup hidung. “Sudah jelas ia dilaknat” kata seseorang, “itu karena dulu ia berbuat jahat pada istri dan anak-anaknya,” sambungnya. Kalimat itu kemudian disambung dengan kalimat-kalimat lain. Bisik-bisikpun tercipta. Makin lama makin riuh.
Beberapa saat kemudian datang perempuan baya bersama dua anaknya, seorang laki-laki dan seorang perempuan.
“Ssst, itu Midah, mantan istri Kerno” bisik seseorang. Dan memang itu adalah Midah. Ia bergegas masuk ke rumah bersama kedua anaknya. “Bapaaak!” tiba-tiba anak perempuan Minah berteriak histeris, teriakan itu disusul tangis keras yang seperti lolongan ajak. Si anak laki-laki juga menangis tersedu-sedu, tak kalah keras dari sang kakak.
Midah hanya diam dan sama sekali tidak menunjukkan raut wajah sedih. “Sabar, Nok, Dik” ucap Midah pada dua anaknya. Kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang. Bisik-bisik pun lama-lama menghilang.
“Syukurlah kalian datang,” seorang lelaki baya berpeci hitam tiba-tiba yang dikenal dengan nama Mbah Juli, mendekati Midah.
“Iya Pak, bagaimana?” tanya Midah.
“Dengan datangnya kedua anak ibu, jenazah Pak Kerno bisa segera dimandikan”
“Loh, istri almarhum kan ada?”
“Nah itu masalahnya, Bu. Istri almarhum tidak mau memandikan jenazah. Dengan demikian maka hanya anak-anak ibulah yang bisa dan boleh.”
Midah lalu ia dekati mereka dan mengatakan dengan penuh kelembutan bahwa jenazah harus segera dimandikan. Mereka menangis di depan jenazah sang bapak. Midah merangkul keduanya sambil berbisik “anak-anakku, kalian harus ikhlas. Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Sekarang, mandikanlah jenazah bapak kalian.” Dengan air mata meleleh di kedua pipi kedua anak Midah mengangguk dan bangkit mempersiapkan diri.
Jenazah Kerno tempatkan di keranda yang dikhususkan untuk memandikan mayat. Di sampingnya berember-ember air telah disiapkan. Dengan bimbingan Mbah Juli kedua anak Midah memandikan jenazah Kerno. Gerakannya perlahan dan sangat hati-hati karena mereka percaya orang mati masih bisa merasakan sakit, bahkan setetes airpun bisa membuat sang arwah menjerit-jerit.
Midah menyaksikan proses itu dari jarak yang tak jauh. Ia saksikan tubuh Kerno yang kini basah dan kaku. Itulah tubuh orang yang dahulu memberinya kepedihan, tubuh yang pernah bersetubuh dengannya dan lalu melahirkan anak-anak. Dan tangan itu, ah, Midah masih ingat betul setiap permukaannya. Itulah tangan yang dahulu pernah melingkarkan cincin di jari manisnya, tangan yang pada suatu waktu pernah membelainya penuh kasih sayang tetapi pada waktu lain memberi tamparan keras.
Perpisahan Midah dan Kerni diwarnai kepedihan dan mungkin juga kebencian. Bagi Midah perpisahan itu menyisakan luka yang teramat perih. Alasan utama perpisahan itu adalah karena Kerno memilih wanita lain.
Peristiwa itu memang sudah lewat lima tahun lalu. Tapi Midah masih ingat betul setiap detailnya. Midah masih ingat rasa sakit itu. Rasa sakit akibat tamparan, pukulan, dan tendangan itu, ah mengapa masih terasa sampai sekarang? Midah ingat, tapi Midah sudah memaafkan. Entah apa yang membuatnya memberi maaf. Entahlah.
“Kamu pikir aku tidak tahu, Mas?”
“Kamu termakan omongan orang. Dasar goblok!”
“Kamu sudah keterlaluan, Mas!”
“Dasar istri goblok!” Pok!
Pukulan itu mendarat tepat di wajah Minah.
Lima tahun berlalu tetapi bayang-bayang peristiwa itu masih belum hilang dari kepala MIdah. Ia hanyut dalam lamunan masa lalu. Tiba-tiba tanpa ia sadari proses pemandian jenazah sudah selesai dan si bungsu mendekatinya.
Si bungsu nampak bingung. Sambil menyeka air mata ia bertanya “Ibu, kau menangis?”
Semarang, 18 Januari 2021
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.