Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Ketika Abdi Istana Berburuk Sangka Kepada Sang Raja

Agama | Friday, 14 Apr 2023, 03:50 WIB

Dalam waktu sekejap, kehidupan para abdi istana melejit. Harta, pangkat, dan jabatan begitu mudah mereka peroleh. Mereka pun tak segan-segan melakukan “flexing” atas berbagai hal yang telah mereka raih. Mereka yang tadinya berpakaian biasa, datang ke istana berjalan kaki, kini sudah berubah.

Di belakang istana yang dahulu hanya berjejer beragam alas kaki yang sudah agak lusuh, kini berjejer tiang-tiang untuk menambatkan kuda para pekerja, abdi istana. Beragam alas kaki lusuh berganti beragam alas kaki mewah mengkilat. Demikian pula dengan ruangan kerja, kini tidak lagi berbau keringat, namun berganti bau harum parfum mewah. Makanan mereka pun tidak lagi sederhana seperti dahulu, beragam makanan dan minuman mewah tersedia di setiap meja kerja. Saku baju mereka pun kini sarat lembaran uang.

Para abdi istana benar-benar hidup sejahtera dan mewah, meskipun gaya hidup mewah mereka sangat tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Raja pun sudah mengetahui pola dan gaya hidup para abdinya.

Dari sekian banyak abdi istana yang hidup mewah, hanya seorang tukang sapu dan pengurus taman istana yang dari tahun ke tahun kehidupannya tak ada perubahan. Ia masih berada pada level karyawan kelas pas-pasan, padahal ia seorang karyawan senior.

Sebagai manusia biasa, perasaan iri dan berburuk sangka sering berbisik di hatinya. “Mengapa Sang Raja tidak begitu peduli dengan kesetiaanku bekerja di istana? Mengapa para pekerja baru begitu sejahtera dan bisa hidup mewah sementara diriku malah semakin tersingkirkan? Aku sudah diperlakukan tidak adil.”

Pada suatu kesempatan, ia menghadap Raja dengan maksud mengajukan permohonan pensiun dari pekerjaannya. Sang Raja yang sengaja menerimanya secara langsung tak menjawab. Ia memalingkan muka ke arah taman istana nan asri yang setiap hari dirawat pekerja yang mengajukan pensiun tersebut.

Sesudah sekian lama hening, tak ada kata-kata, Sang Raja berkata, “Apakah hatimu sudah bulat untuk berhenti bekerja dan meninggalkanku, istana, dan taman-taman yang biasa kau rawat?”

Pekerja tersebut tertunduk, tak berani menatap wajah Sang raja. Ia menegaskan, dirinya sudah bulat untuk berhenti mengabdi di istana. Beberapa kali Sang Raja menyuruhnya untuk mempertimbangkannya kembali, namun jawaban pekerja tersebut sama. Akhirnya dengan berat hati, Sang Raja melepas pekerja tersebut.

Selang beberapa bulan setelah pengunduran dirinya, ia kedatangan utusan Sang Raja yang mengabarkan Sang Raja sakit keras, dan ingin bertemu langsung dengannya sebelum ia meninggal. Ia pun segera berangkat menuju istana.

Benar sekali, banyak orang yang hilir mudik di sekitar istana. Sesampainya di istana, Sang Pekerja diarahkan petugas istana untuk langsung menuju kamar Sang Raja. Ia begitu heran yang nampak disitimewakan, sementara para tamu dan beberapa orang terdekat raja tak diperbolehkan masuk ke kamar Sang Raja.

Ia nampak sedih ketika melihat Sang Raja berbaring tak berdaya. Kemudian ia mendekatinya dan membisikkan kedatangan dirinya. Nampaknya Sang Raja mendengar bisikannya, matanya terbuka dan melirik kepada mantan pekerja yang bertahun-tahun setia mengabdi dan menjadi pelayannya.

Dengan suara pelan Sang Raja menyuruh salah seorang kerabatnya untuk mengambil kertas di lemari pakaiannya. Setelah kertas yang terlipat ada dalam genggamannya, tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir Sang Raja. Karena lama tak ada suara, pekerja tersebut memberanikan diri melihat wajah Sang Raja. Ia terkejut, karena Sang Raja tengah menangis, air matanya berlinang sambil mendekap lipatan kertas di dadanya.

Mengetahui pekerja tersebut menatapnya, Sang Raja memberikan kertas tersebut, dan menyuruhnya untuk membuka dan membacanya. Namun belum sempat membacanya, Sang Raja sudah tidak bersuara dan bergerak lagi. Sang Raja wafat.

Usai prosesi pemulusaraan dan penguburan jenazah, pekerja tersebut membuka kertas titipan Sang Raja. Ia membacanya di hadapan keluarga Sang Raja sebagaimana amanat yang tertera dalam kertas tersebut. Begitu membacanya, ia sangat terkejut dengan isinya.

“Aku bangga memiliki pekerja yang setia seperti kau. Aku menghormati dan menyayangimu. Aku ingin selalu dekat denganmu, betapa aku bahagia ketika kau melayani segala kebutuhanku. Namun, jika rasa hormat dan sayangku ingin kau terjemahkan dalam wujud benda seperti yang pernah kau katakan ketika kau akan pamit, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil rasa sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu. Aku sengaja menyembunyikan dan memberikannya pada saat-saat terakhir nyawa berpisah dengan ragaku. Terimalah, semoga kau bahagia, dan sudah merasa diperlakukan adil olehku.”

Tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir pekerja tersebut, hanya tetesan air mata yang membasahi kertas. Ia begitu menyesal telah berburuk sangka kepada Sang Raja. Ia baru menyadari, betapa Sang Raja sangat mengagumi, menghormati, dan menyayangi dirinya.

Mari kita merenung sejenak. Seringkah kita memiliki perasaan diperlakukan tidak adil seperti Sang Pekerja dalam cerita tersebut? Rasanya, jangankan kepada sesama manusia, kepada Allah pun terkadang kita berburuk sangka.

“Ya Allah, sudah kutunaikkan titah dan perintah-Mu. Ibadah wajib dan sunat sudah kutunaikkan. Istighfar dan zikirpun selalu membasahi bibirku sampai tenggorokanku kering. Siang aku menahan lapar, malam aku kurangi tidur demi mengagungkan-Mu. Tapi, mengapa Kau nampak tak juga mengabulkan permohonanku. Aku memohon kekayaan, Kau beri aku kefakiran. Aku memohon kekuatan dan kesehatan, Kau beri aku kelemahan dan penyakit.“

“Aku memohon kemuliaan, Kau beri aku kehinaan. Kutunaikan zakat, infaq, dan sedekah dengan jaminan dari-Mu hartaku akan diganti berlipat puluhan sampai ratusan kali, nyatanya aku malah mendapatkan kerugian dalam segala urusan hartaku. Sementara orang-orang yang bergelimang maksiat kepada-Mu, nampak Kau penuhi segala permohonan dan keinginannya.”

Pernahkah hati kita berbisik seperti itu sampai-sampai kita merasa heran dengan pengabdian kita kepada-Nya? Itulah yang disebut suuzhan billah, berburuk sangka kepada Allah. Jika sikap kita demikian, kita nampak seperti pekerja tadi yang berburuk sangka kepada Sang Raja.

Mari kita terus merenungkan sikap berburuk sangka kita kepada-Nya. Jika kita sudah menyadarinya, segeralah beristighfar. Kita telah lancang, menuduh hal yang sangat tidak layak kepada Zat Yang Maha Adil dalam memperlakukan hamba-hamba dan seluruh Makhluk-Nya.

Kita harus belajar menatap “wajah” Allah Yang Maha Diraja dan Maha Adil. Ketika kita memohon kepada-Nya, dan Ia mengabulkannya, itu merupakan anugerah dan keadilan-Nya. Demikian pula, ketika kita memohon kepada-Nya, dan Ia menunda pengabulannya, itu pun merupakan anugerah dan keadilan-Nya. Ia Maha Mengetahui akan kondisi dan kebutuhan kita yang sebenarnya.

Berbaik sangka kepada Allah (husnuzhan billah) merupakan cara yang paling baik dan sikap ini akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia akhirat. Apapun permohonan kita kepada-Nya tidak akan berakhir sia-sia.

Kewajiban kita hanya melakukan ikhtiar semaksimal mungkin, kemudian “melaporkan” segala ikhtiar kita kepada Allah melalui lantunan do’a. Dengan kata lain, jika kita sudah berikhtiar semaksimal mungkin untuk memenuhi keinginan kita sampai segala upaya kita berada di ambang batas, berdo’alah, dan tuluslah dalam melakukannya agar do’a-do’a kita naik, “bertarung” dengan takdir kehidupan di langit atas.

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah :186)

Ilustrasi : berdo'a (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image