Menjadi Ibu Yang Bahagia
Eduaksi | 2021-12-22 06:27:21Untuk seluruh ibu di luar sana, saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kita ingin menjadi ibu yang sempurna atau ibu yang bahagia?”. Ketika kita memilih menjadi ibu yang sempurna, artinya kita berusaha untuk menjadi ibu yang sesuai dengan tolak ukur ilmiah, agama, atau nilai yang berkembang dan di anut di masyarakat.
Menjadi ibu yang sempurna bisa jadi didefinisikan sebagai ibu yang menyusui anaknya sendiri, ibu yang melahirkan anaknya dengan cara normal, ibu yang tinggal di rumah, ibu yang memasak makanan sendiri untuk anaknya, dan berbagai definisi lain yang bisa kita tambahkan sendiri.
Lalu, bagaimana jika karena sebab tertentu, kita tidak bisa memenuhi kriteria-kriteria tersebut, masihkah kita akan tetap memaksakan diri melahirkan normal disaat kondisi medis mengharuskan kita untuk melahirkan secara sesar, masihkan kita akan tetap mengejar gelar ibu sempurna dengan mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri dikala kita memiliki 3 anak balita.
Ketika kita bersikukuh mengejar kesempurnaan itu, bagaimana dengan jiwa kita. Tak dapat dipungkiri, memiliki anak yang sehat, baik dan cerdas adalah impian semua orang. Semuanya orangtua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, apalagi jika semua prosesnya dilalui dengan mudah.
Layaknya rintangan banteng takeshi, mewujudkan manusia yang unggul dan cerdas membutuhkan proses dan waktu. Untuk mencapai itu, setidaknya seorang ibu harus melewati proses hamil, melahirkan dan pengasuhan. Sebagai catatan bersama, seluruh proses ini membutuhkan perjuangan dan kesabaran.
Dalam ketiga proses itu setidaknya ada satu benang merah yang umumnya dirasakan seorang ibu, yaitu adanya rasa lelah, apalagi jika saat melewati fase tersebut seorang ibu kurang mendapatkan dukungan dari suami, keluarga atau orang-orang terdekat.
Saat keinginan untuk menjadi ibu yang sempurna itu datang, diiringi dengan absennya dukungan dari lingkungan terdekat, saat itu kerapkali seorang ibu merasa stress dan depresi. Saat ini, masalah kesehatan mental cukup menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat. Terlebih jika keadaan itu menimpa seorang ibu, maka dampaknya akan melebar juga kepada keluarganya.
Sebuah pepatah mengatakan “hati yang bahagia adalah obat”. Ungkapan ini nampaknya harus dijadikan semacam motto hidup bagi setiap orang khususnya bagi seorang ibu. Berkaitan dengan mengasuh anak, apakah bahagia itu merupakan hasil ahir atau harus hadir di awal ketika proses pengasuhan akan dimulai.
Ketika bahagia merupakan hasil ahir, artinya mendidik dan membesarkan anak adalah proses menyenangkan dan merupakan perantara kebahagiaan kita. Sedangkan jika kebahagiaan itu kita posisikan di awal, berarti kita harus mencari kegiatan atau keadaan yang membuat kita merasa bahagia.
berkaitan dengan tulisan di atas, penyebab ketidakbahagiaan memang kerapkali bukan ditimbulkan dari kehadiran seorang anak, kehadairan mereka justru merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terihtung jumlahnya. Sebaliknya keadaan ini timbul karena adanya tekanan dari lingkungan dan peduli dengan ucapan sekitar.
Oleh karena itu, dalam konteks mengasuh anak, kebahagiaan harus dimunculkan di awal, karena kebahagiaan seorang ibu akan menular kepada anak dan keluarganya. Agar seorang ibu bisa bahagia, setidaknya langkah-langkah di bawah ini dapat membantu.
1. Menjaga Hubungan Baik dengan Sang Pencipta
Manusia itu hanya mengikuti hukum yang telah ditetapkan. Kita harus memasrahkan segala urusan dan masalah kepada sang maha kuasa. Menjaga hubungan baik dengan Allah dengan beribadah, berdo’a, meminta perlindungan, merupakan kunci utama menghadapi semua masalah. Dalam ajaran agama mana pun cara ini selalu di anjurkan oleh para pemuka agama. Selain kebahagiaan, menjaga hubungan dengan Allah dapat menciptakan kedamain sendiri dalam hidup.
2. Menjaga Hubungan Baik dengan Pasangan dan Keluarga
Di dunia ini, kita tak bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Meminta bantuan orang lain atau keluarga dalam mengasuh anak sangatlah normal dan sama sekali tidak melanggar ketetentuan apapun. Selama sebuah keluarga memiliki kecukupan finansial atau keluarga yang diminta bantuan tidak keberatan, semua bisa dilakukan. Oleh karenanya, hubungan yang baik dengan pasangan dan keluarga harus tetap dijaga.
3. Melakukan Hobby
Melakukan hal yang menyenangkan dapat membuat kita bahagia. Salah satu hal menyenangkan yang dapat dilakukan adalah dengan menekuni hobbi. Ketika seorang ibu sudah memiliki anak, serinhgkali ia melupakan waktu untuk melakukan hobinya, apakah itu masak, berolahraga, atau hanya sekedar perawatan diri di salon.
Carol A Bernstein, seorang asisten professor psikiatri dari Universitas New York mengatakan bahwa hobi bisa membawa kebahagiaan yang lebih besar. Hobbi sebenarnya dapat dilakukan jika siapapun memiliki waktu luang. Namun untuk menjaga kesehatan mental seorang ibu, dukungan dari suami dan keluarga sangat diperlukan agar seorang ibu bisa melakukan hobbinya.
4. Tidak Semua Harus Sesuai Teori
Siapa bilang semuanya harus sesuai teori? Apakah kita harus memaksakan tumbuh kembang seorang anak terjadi pada waktu yang ditetapkan oleh teori. Sebagian anak mungkin ada yang bisa berjalan lebih cepat dari anak laiannya, sebagian lain bisa jadi lebih lambat, dan karena masalah ini, selama kita masih memberikan perhatian semuanya wajar saja.
Pada dasarnya, menjadi ibu yang bahagia atau sempurna adalah pilihan dan hak setiap orang, namun, jika dalam mengejar kesempurnaan itu akan membawa dampak negatif bagi mental sendiri dan anak, baiknya kita memilih menjadi ibu yang bahagia. Ibu yang bahagia akan menular kepada anak-anaknya, dan anak yang bahagia akan tumbuh menjadi anak yang sehat lahir dan batin. Kesehatan adalah modalitas utama menggapai mimpi dan mengatasi masalah dalam hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.