Ad-Dakhik dalam Tafsir Bahaiyyah
Agama | 2023-04-09 09:53:55Oleh : Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi)
Ad-Dakhil dalam Tafsir Bahaiyyah Oleh : Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi)Secara terminologis ad-dakhil fi tafsir adalah penafsiran Al-Qur’an yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang valid dari agama. Dengan kata lain, ad-dakhil adalah penafsiran yang tidak memiliki landasan yang valid dan ilmiah baik dari Al-Qur’an, hadits shahih, pendapat sahabat, tabi’in, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad. Sejarah perkembangan ad-dakhil sendiri sudah muncul jauh sebelum Islam datang di Arab. Pada masa itu di Arab ada sekelompok ahli kitab yang sebagian besar beragama Yahudi dan berhijrah ke Arab karena para pemuka agama mereka meramal akan datangnya Nabi akhir zaman sebagai penerus Nabi Musa.
Singkatnya, ad-dakhil masuk ke dalam tafsir Al-Qur’an dalam dua jalan. Pertama, terjadinya pertemuan antara Nabi dengan sahabat ahli kitab dari bangsa Yahudi (Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzah) saat Nabi tinggal di Madinah. Kedua, masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam seperti Abdullah ibn Salam, Mukhayriq bin al-Naqir dan ka’b al-ahbar. Ketika sebagian orang Yahudi masuk Islam, maka banyak dari para sahabat yang bertanya pada mereka mengenai isi kitab Taurat dan Injil atau kisah-kisah umat terdahulu yang diceritakan secara global dalam Al-Qur’an. Pada awalnya Rasulullah melarang meriwayatkan dari ahli kitab, namun seiring berjalannya waktu dan penyebaran Islam semakin meluas, maka Nabi mengizinkan untuk meriwayatkan kisah-kisah israiliyat selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh sebab itu para ulama terdahulu telah melakukan upaya untuk meluruskan penafsiran-penafsiran yang mengandung ad-dakhil dengan penafsiran yang benar tanpa menyimpang dari makna Al-Qur’an itu sendiri. Upaya ini penting kiranya agar Al-Qur’an dan tafsirnya senantiasa berada di koridor yang benar dan jauh dari penyesatan individu atau sekelompok yang hanya mengandalkan fanatisme belaka.
Salah satu penafsiran yang mengandung ad-dakhil dan tergolong menyimpang adalah penafsiran dari kelompok bahaiyyah. Ajaran bahaiyyah sendiri atau yang bisa disebut juga babiyyah merupakan ajaran kebatinan campuran dari Islam, Yahudi, Nasrani, Buddha, kebatinan dan Zoraster yang telah disepakati ulama bahwa mereka telah keluar dari Islam. Sebabnya paham ini meyakini bahwa imam-imam mereka telah mendapat wahyu dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bukan penutup para Nabi. Ajaran ini sebenarnya bersumber dari ajaran syiah yang sangat mengagungkan imam-imam mereka melebihi agungnya para sahabat Nabi yang telah dijamin surga langsung dari Allah.
Berikut salah satu contoh penafsiran bahaiyyah yang menyimpang dan perbandingannya dengan penafsiran yang benar dari salah satu ulama tafsir zaman klasik.
Allah Taala berfirman :
اِذْ قَا لَ يُوْسُفُ لِاَ بِيْهِ يٰۤاَ بَتِ اِنِّيْ رَاَ يْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّا لشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ رَاَ يْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ
Terjemah : "(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, "Wahai Ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yusuf 12: Ayat 4)
Ad-Dakhil ayat ini dalam tafsir Bahaiyyah yaitu pemimpin sekte Bahaiyyah yang bernama Mirza Ali Muhammad dalam menafsirkan ayat ini dengan mengatakan “maksud Tuhan menyebut Yusuf adalah jiwa Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan putra sang wanita suci, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sesungguhnya yang dimaksud Tuhan dengan al-Syams adalah Fatimah, al-Qamar adalah Muhammad, al-Nujum adalah para imam yag haq yang disebut dalam Umm al-kitab. Mereka itulah yang bersedih dan menangis atas peristiwa yang dialami Yusuf dengan izin Allah, baik dalam keadaan sujud maupun berdiri.
Mirza Ali Muhammad menafsirkan ayat ini sebagai justifikasi terhadap doktrin sektenya, yaitu keyakinan terhadap keagungan keluarga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam mereka.
Sedangkan penafsiran yang benar pada Q.S. Yusuf [12] : 4 dalam kitab tafsir Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir karya Ibnu Katsir jilid 4 dijelaskan : Ibnu Abbas mengatakan : “mimpi para Nabi itu merupakan wahyu.” Para ulama tafsir telah membicarakan ta’bir (penafsiran) mimpi Yusuf itu bahwa sebelas bintang menunjukkan saudara-saudaranya yang berjumlah tepat sebelas orang laki-laki, sedang matahari dan bulan menunjukkan kepada ibu dan bapaknya, sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahhak, Qatadah, Sufyan ats-Tsauri dan ‘Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam.
Dengan demikian Tafsir dari mimpi Yusuf tersebut menjadi kenyataan setelah empat puluh tahun kemudian. Ada pula yang mengatakan delapan puluh tahun kemudian. Yaitu ketika ia menaikkan kedua orang tuanya di atas ‘arsy, yaitu singgasananya, sementara saudara-saudaranya berada di depannya, sedang mereka semua sujud kepadanya, dan Yusuf berkata kepada ayahnya “wahai ayah, inilah takwil mimpiku dahulu yag dijadikan Rabbku menjadi kenyataan.” (Q.S. Yusuf [12] : 100). Wallahu ‘alam bis shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.