Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yuniar Maulidyana Putri

Ramadhan Pertama di Negeri Minoritas, dari WNI yang tinggal di Canberra

Agama | Friday, 07 Apr 2023, 15:45 WIB
sumber: foto pribadi Ismi Salamatus Salbiyah, buka bersama di KBRI Australia

Siapa yang tidak mengenal negara Australia? Salah satu negara minoritas muslim di dunia. Pada tahun 2021, jumlah penduduk negara ini mencapai 25.767 juta jiwa penduduk. Berdasarkan data Biro Statistik Australia, sekitar 3.2% dari jumlah tersebut beragama Islam atau hanya sebesar 209.150 ribu orang. Penduduk muslim yang ada di Australia mayoritas berasal dari negara Pakistan, Afghanistan, India dan Bangladesh. Di samping itu, banyak pelajar Indonesia yang menjadikan negara ini sebagai tujuan mereka dalam melanjutkan pendidikannya. Mengutip situs Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat sebanyak 11.000 mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Australia pada tahun 2022.

Lalu, bagaimana kondisi dan tantangan Ramadhan di negara yang minoritas ini?

Sama halnya dengan penduduk Muslim yang lainnya, masyarakat Muslim di Australia sangat antusias dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan ini. Bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan di mana ayat-ayat pertama Al-quran diturunkan kepada Nabi Muhammad. Umat Muslim di seluruh dunia menjalani bulan ini dengan berpuasa dari fajar hingga matahari terbenam setiap hari selama satu bulan lamanya, dengan menahan makan, minum, dan kebutuhan fisik serta memperbanyak doa dan tindakan amal lainnya. Selain itu, bulan ini merupakan salah satu bentuk ibadah atas ketaatan seorang muslim kepada Allah SWT.

Kondisi Ramadhan di Canberra, Australia

Pada hari Minggu, 02 April 2023, salah satu Warga Negara Indonesia (WNI), Ismi Salamatus Salbiyah, akan menceritakan bagaimana kondisi dan tantangan Ramadhan di Negeri Kanguru tersebut. Ia merantau ke Australia bersama suaminya yang berkuliah di Australia National University (ANU) sejak bulan Januari 2023, di Ibu Kota Australia, Canberra. Sehingga ini adalah pertama kalinya berpuasa di negeri minoritas muslim

Ramadhan tahun ini di Australia kebetulan lagi di musim panas, jadi disini kalau dingin itu dingin banget dan kalau panas yaa panasnya kebangetan. Nah, kalau musim panas gini, lama puasanya juga kurang lebih sama dengan di Indonesia atau kadang lebih singkat 1-2 jam saja. Sahur sekitar pukul 05.00 dan buka puasa pukul 07.00, jadi terangnya lebih lama daripada malam” kata Ismi saat itu.

Dia menceritakan bagaimana kondisi ketika Ramadhan di negara yang minoritas muslim.

Memang tidak seperti di Indonesia yang ketika Ramadhan sangat ramai masyarakat Islam yang merayakan, justru lingkungan di sini kayak lebih sunyi, sepi, tenang gitu. Dan bahkan orang-orang di sini yaa emang lebih suka suasana tenang, jadi jangan harap kalau disini ada orang jual keliling, atau bahka ada takbiran keliling” , tuturnya.

Meskipun vibes Ramadhan di Australia tidak seperti di indonesia, ternyata dengan suasana yang lebih tenang, sunyi, tentram seperti yang diceritakannya justru menjadi peluang untuk fokus beribadah.

Suasana yang seperti ini juga bisa jadi poin plus bagi saya karena di sini lebih kusyu’ beribadah, lebih fokus, dan lebih dapat lah vibes Ramadhannya dengan suasana yang tenang seperti ini”, tuturnya.

Di samping itu, meski ia adalah minoritas tetapi orang-orang di sana, baik native Australia maupun dari negara lain yang tinggal di sana hampir tiap hari membagikan sembako gratis untuk khalayak umum.

Jadi kami tinggal di suatu daerah anggaplah seperti RT atau komplek A, nah di RT ini ada sebuah komunitas yang berisi warga dari RT tersebut yang memiliki program membagikan barang, sembako, bahkan makanan secara gratis yang disediakan di atas meja, nah meja itu di letakkan di tempat umum. Jadi siapa saja yang mau ambil barang tersebut ya silahkan ambil. Alhamdulillah sih ya, ini juga memudahkan kami apalagi sebagai orang rantau, jadi lebih hemat. Tapi tentu ambilnya sesuai kebutuhan aja, karena kita juga harus berbagi dengan yang lainnya”, kata dia.

Suasana dan tradisi Ramadhan di Canberra, Australia

Untuk buka puasa bersama dan shalat Tarawih, di sini ada sejumlah masjid komunitas dari Arab, Bangladesh, Pakistan, bahkan dari komunitas Indonesia juga ada yang mengadakan acara buka bersama dan shalat Tarawih.

Kalau buka puasa bersama dan shalat tarawih, kebetulan baru kemarin haru Sabtu saya datang di acara buka bersama yang diadakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) bareng orang-orang Indonesia yang lainnya juga. Dan buka bersamanya dilakukan setiap hari Sabtu.”, ucap Ismi.

Tak hanya itu, bahkan komunitas muslim Indonesia di sana mengadakan acara-acara lainnya, seperti pesantren kilat yang diadakan untuk anak-anak, bahkan ada pengajian.

Sebelum acara buka bersama kemarin itu bahkan sempat ada Pesantren Kilat untuk anak-anak. Dan kemarin sebelum Ramadhan, saya dan suami mengikuti Kajian yang pemateri atau ustadznya juga dari Indonesia, iyaa di sini juga ada kajian lho. Dan yang mengadakan pengajian dari komunitas orang-orang Indonesia juga.Jadi, kita disini ngga merasa sendirian karena masih banyak masyarakat Indonesia dan kegiatan yang bisa kami jangkau.”, tutur dia.

Namun, karena Ismi masih pendatang baru dan masih baru satu minggu menjalankan ibadah puasa di sana sehingga Ia belum terlalu tahu banyak hal mengenai tradisi yang ada di sana.

Kalau tradisi lainnya mungkin saya belum bisa merasakan yaa karena ini juga baru satu minggu puasa di sini, jadi belum kelihatan untuk tradisi-tradisi yang lainnya. Tapi kurang lebih seperti itu, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, ditambah lagi masih ada komunitas Indonesia yang mengadakan acara untuk mendukung ibadah di bulan ramadhan. Jadi, di manapun kami umat muslim berada, pasti akan menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan maksimal, karena ini juga bulan yang spesial bagi kami”, ungkapnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image