Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Sebuah Resistensi

Eduaksi | 2021-12-21 19:48:49
PILAR RI

Banyak orang menilai sebuah resistensi adalah keharusan dalam hidup, berjuang untuk lebih baik dan terus berusaha menuai hasil yang maksimal.

Resistensi digunakan untuk menguatkan argumen bahwa ini benar dan itu salah.

Iwan Setiawan, Ph D Ketua Perkumpulan Instruktur Pelatihan Kerja Republik Indonesia(PILAR-RI) Periode 2020-2025 menulis artikel singkat ini untuk memberikan gambaran bagaimana sebuah resistensi itu berproses.

Perihal resistensi mereka harusnya punya kaidah untuk belajar mendengar dan punya kearifan untuk menjelma menjadi orang yang bisa diterima di semua sisi masyarakat.

Banyak cara untuk menjelma menjadi orang yang siap diterima. Beberapa tahun lalu saya pernah mengajar di sebuah kampus negeri dan juga memimpin sebuah sekolah yang notabene sekolah tersebut jelas membutuhkan perhatian lebih dalam segi ekonomi.

Seringnya saya bertemu dengan lapisan masyarakat yang ada disekitar sekolah, dari yang preman, timer angkot, tukang cuci, tukang dagang dan lain sebagainya.

Bagaimana saya bisa masuk dan bergaul?

Lewat komunikasi, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa formal, lebih kepercakapan sehari-hari layaknya kita bicara dengan "lo" "gue" , "Bo's", "aye" bahkan "ane" "ente".

Cara ini lebih efektif untuk membuat mereka mengerti dan lebih paham tentang bagaimana keadaan sekolah dan kampus mereka lebih dihargai karena diajak untuk bicara. "Itukan bahasa tinggi-tinggi ya pak, tapi kita mengerti maksudnya apa"

Mereka tidak terganggu dengan resistensi mereka. Mereka merasa aman dan nyaman untuk mengeluarkan pendapat serta tidak canggung. Ini yang kita namakan service excellent.

Ada lagi saya pernah mengajar di sebuah sekolah yang bagus.

Bagaimana membuat banyak orang tua mengerti bahasa sekolah? Dengan berbaur layaknya mereka dan masuk kedalam lingkaran agar mudah untuk memberikan informasi, jelas dengan bahasa yang berbeda dengan keadaan di atas. Dan hasilnya oke banget.

Kedua case di atas jelas berbeda cara dan berbeda trik. Tetap kita harus menjaga norma dan kesantunan dengan suara yang lebih lembut serta dengan humor jenaka yang membuat suasana tidak kaku.

Banyak orang berlindung dengan sebuah resistensi palsu karena mereka tidak mau terusik dengan kenyamanan yang telah mereka jalani. Berasumsi bahwa bahasa "lo" "Gue" dianggap tabu, tapi efektif jika tepat penggunaannya.

Bahkan bahasa "saya" "kamu" " anda" yang terlihat lebih intelek akan juga tidak mempan bahkan malah membuat gap baru saat komunikasi di tempat yang kurang pas.

Banyak mereka merasa sudah melakukan terbaik juga mengenai pelayanan terbaik untuk sekolah, kampus atau tempat mereka bekerja, "engga perlu diajarin pak, saya sudah khatam".

Kalo memang sudah khatam kenapa masih kurang maksimal pelayanan sekolahnya, begini-begini saja kantor kita, perlakuan guru-gurunya, perlakuan karyawan yang sekarang jadi bos kita? Ketika diiminta evaluasi mereka bilang sudah melakukan.

Evaluasi bukan sekedar dirapatkan terus selesai tapi bagaimana tindak lanjutnya program apa yang harus tak lanjut. Ketika diiminta seperti ini mereka diam.

Banyak yang keluar diam-diam dengan alasan yang beragam. Alasannya pakai bahasa lo gue, alasannya suara terlalu kencang, tidak terima kalo kepala sekolah selalu salah, tidak terima kalau sekelas manajer atau direktur itu juga bisa salah.

Loh anda manajer ya anda penentu kebijakan. Kok bisa berargumen begitu.Itulah ketika banyak sekolah, kampus bahkan kantor melakukan resistensi dengan cara yang salah, bagai katak dalam tempurung.

Sebenarnya mental kepala sekolah, yayasan, pemimpin perusahaan, rektor kampus yang begini jelas sebenarnya juga sedang menutupi kekurangan mereka. Menutupi ketidakbisaan menghandle guru, dosen dan karyawan mereka

Sebenarnya yang dibutuhkan hanyalah dengarkan sampai selesai, ikuti hingga tuntas.

Kebanyakan orang yang mendengar setengah-setengah dan tidak mengikuti sampai tuntas mereka banyak merugikan orang lain. Atau mungkin mereka takut kena ganjil genap.

Dan sebuah pengalaman yang luar biasa sebuah resistensi karena terlalu banyak Baper dan tak mau mendengar sampai selesai. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image