Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

M Natsir dan Masyumi

Sejarah | Wednesday, 05 Apr 2023, 08:29 WIB

Mohamad Natsir merupakan nama yang melegenda dalam narasi Islam politik di Indonesia, sosoknya tidak bisa dilepaskan dari Partai Islam Masyumi, satu-satunya partai Islam yang pernah mendapatkan suara signifikan dalam pemilu sepanjang republik Indonesia berdiri, serta belum terlampaui pencapaian suaranya oleh partai Islam kontemporer sampai saat ini.

sumber : www.republika.co.id

Natsir sebagai Ketua Umum Masyumi memiliki pandangan, bahwa Islam ialah agama yang mencakup semua dimensi kehidupan manusia, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan sesama manusia. Bagi Natsir, Islam merupakan agama yang membimbing manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia juga memiliki keyakinan bentuk negara dikehendaki harus diatur menggunakan syariat Islam (Suhelmi, 2012).

Partai Islam Masyumi

Kelahiran Partai Islam Masyumi diawali dari penyelenggaraan Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, salah satu hasil terpenting keputusan kongres umat Islam itu, meneguhkan Masyumi menjadi partai politik yang menjadi satu-satunya saluran politik bagi umat Islam Indonesia (Zamjani, 2009).

Terdapat dua keanggotaan di dalam Masyumi, yaitu keanggotaan bersifat personal atau perorangan, serta keanggotaan istimewa dari ormas Islam. Di dalam keanggotaan istimewa itu, hampir semua ormas Islam masuk menjadi anggotanya, maka tidak heran kepengurusan Masyumi dari pusat sampai daerah memasukan unsur-unsur umat Islam, baik dari kalangan Islam tradisional maupun Islam modernis, terdapat representasi dari NU, PSII, Persis, Muhammadiyah dan ormas Islam lain (Syaifullah, 2018).

Partai Islam Masyumi menjadi partai politik yang mempunyai komitmen kuat pada nilai-nilai keislaman, dalam anggaran dasarnya ditegaskan bahwa tujuan terbentuknya partai ini terlaksananya ajaran serta hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara (Luth, 1999).

Partai Masyumi memiliki visi mensejahterakan rakyat serta membangun sebuah pemerintahaan dibingkai dengan Islam, kejelasan identitas keislaman ditegaskan secara gamblang, sebagai wujud rasa percaya diri untuk menawarkan gagasan-gagasan ideologis kepada masyarakat, serta siap untuk beradu konsep dengan berbagai pemikiran politik. Tetapi sikap politik Partai Masyumi tidak bersifat tertutup atau anti toleransi, Masyumi membangun tradisi toleransi dalam batas-batasan jelas, di mana masing-masing umat beragama bisa saling menghargai dan menghormati, tanpa saling mengorbankan akidahnya (Artawijaya, 2014).

Moderasi berpolitik dibuktikan Masyumi dengan menjalin kerja sama politik dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik ketika membendung pengaruh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam parlemen. Tetapi Masyumi konsisten memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di lembaga konstituante, bersama-sama menjalin koalisi politik dengan partai-partai Islam.

Perjuangan Konstituante

Konstituante merupakan lembaga yang ditugaskan merumuskan dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Para anggotanya dipilih melalui Pemilu 1955. Di konstituante terjadi polarisasi dua kekuatan, antara mereka menginginkan Islam sebagai dasar negara, serta menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Setiap kali lembaga konstituante bersidang selama bertahun-tahun, dua kekuatan ini sama-sama kuat, sehingga keputusan mengenai dasar negara tidak bisa diambil secara bulat (Ismail, 2017).

Perdebatan dasar negara berujung keputusan reses tanggal 2 Juni 1959, dalam reses sesungguhnya terjadi kesepakatan lewat lobi politik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Menurut Masyumi mereka sebenarnya konsisten memperjuangkan dasar negara Islam melalui jalur damai serta konstitusional lewat sistem demokrasi. Tetapi, kalau mayoritas rakyat tidak menghendaki maka Masyumi akan mengalah (Wawancara Adnan Buyung Nasution, dalam Seri Buku Tempo: Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan, Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim).

Prawoto, Wakil Ketua Majelis Konsituante dari Masyumi, ketika itu menuturkan kelompok mereka sebenarnya, sedang bersiap bersidang kembali dengan maksud menerima Pancasila, sebagai sebuah langkah politik mementingkan kepentingan bangsa lebih besar, namun belum sempat bersidang. Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan untuk pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, bahkan di tahun 1960 Partai Masyumi sendiri dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah, karena dianggap terlibat berbagai pergolakan dibeberapa daerah (Kamil, 2013).

Politik Negarawan Natsir

Pasca tumbangnya Orde Lama, Mohamad Natsir bersama politisi Masyumi lain, bermaksud merehabilitasi Masyumi, supaya bisa kembali eksis di panggung politik nasional, tetapi sayangnya keinginan tersebut tidak mendapat restu dari Presiden Soeharto. Tetapi meski tidak mendapat restu mendirikan kembali Masyumi, Natsir memilih menjadi seorang negarawan, tetap membantu pemerintahan menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umat.

Dalam buku berjudul M. Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah (2019), diceritakan mengenai kenegarawanan seorang Mohammad Natsir. Ketika pemerintahan Orde Baru menempuh kebijakan politik luar negeri berbeda dengan Orde Lama, dengan mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

Pemerintah Orde Baru mengutus Ali Moertopo mengunjungi Natsir, meminta beliau menggunakan pengaruhnya. Sebab utusan dari Indonesia akan bertolak ke negara jiran, tetapi belum mendapatkan kepastian akan diterima oleh siapa, ketegangan politik memang belum mereda dikedua belah pihak, meski pemerintahan di Indonesia telah berganti.

Bahkan dikabarkan Perdana Menteri Malaysia meninggalkan Kuala Lumpur, seakan mengelak bertemu dengan utusan pemerintah Orde Baru. Natsir sendiri dikenal dekat Tengku Abdul Rahman (Perdana Menteri), akhirnya ia menulis selembar surat meminta kesedian Perdana Mentri untuk bertemu dengan delegasi dari Indonesia.

Surat disampaikan ke Tengku Abdul Rahman melalui sekretarisnya, setelah membaca surat dari M. Natsir, sang perdana menteri akhirnya mempersilahkan delegasi Indonesia bertemu dengannya esok hari dan langsung dikediamannya. Inilah pengaruh besar sosok politisi muslim M. Natsir dari Partai Masyumi yang memang dikenal sebagai negarawan bereputasi dunia.

Kisah melobi Perdana Mentri Malaysia ini menjadi fakta kenegarawan seorang Natsir, tetap membantu pemerintahan Orde Baru, meski keinginan merehabilitasi Masyumi tidak dikabulkan. Sebuah sikap mesti dicontoh politisi kita saat ini, bahwa perbedaan politik bukan batu ganjalan untuk melangkah bersama dalam membangun Indonesia.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Ketua Bidang Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Karawang.

Referensi Artikel

1. Artawijaya. Keteladanan Partai Masyumi (Harian Republika, Tanggal 20 Maret 2014).

2. Ismail, F. 2017. Panorama Sejarah Islam dan Politik Di Indonesia (Yogyakarta, Ircisod).

3. Kamil, S. 2013. Islam Politik Di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Anti Korupsi, Demokrasi, NII, M I dan Perda Syariah (Jakarta, PSIA UIN Jakarta).

4. Natsir, M. 2019. Politik Melalui Jalur Dakwah. (Jakarta, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).

5. Syaifullah. 2018. Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah).

6. Seri Buku Tempo: Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan, Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim (Jakarta: KPG, 2011)

7. Suhelmi, A. 2012. Polemik Negara Islam Soekarno vs Natsir (Jakarta, Universitas Indonesia Press).

8. Luth, T. 1999. M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya (Jakarta, Gema Insani Press)

9. Zamjani, I. 2009. Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia Dalam Periode Formatif (Jakarta, Dian Rakyat).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image