Kenali Hustle Culture dan Dampak Negatifnya pada Kesehatan Mental
Gaya Hidup | 2021-12-21 11:55:49Akhir-akhir ini Hustle Culture menjadi sebuah istilah yang populer di kalangan anak muda. Pada era digital dan juga pandemi sangat banyak seruan agar tetap produktif meskipun kerja dari rumah. Kisah hidup orang-orang yang sukses di usia muda membuat hustle culture ini semakin tren di generasi muda.
Sebenarnya, Apa itu Hustle Culture?
Hustle Culture adalah suatu gaya hidup di kalangan generasi muda yang menganggap dirinya akan sukses jika terus bekerja keras hingga kurangnya waktu untuk beristirahat. Orang-orang yang menganut Hustle Culture adalah para workaholic yang bekerja hingga lupa waktu.
Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh psikolog asal Amerika yaitu Wayne Oates pada tahun 1971 di bukunya yang berjudul ”Confessions of a workaholic : the facts about work addiction”.
Hustle Culture bukan hanya terjadi pada para pekerja saja, tetapi juga dapat terjadi pada pelajar. Contohnya seperti belajar hingga lupa waktu, mengikuti sangat banyak kegiatan seperti organisasi, les, dan ekstrakurikuler.
Mengapa Hustle Culture Dapat Terjadi?
Menurut penelitian (Clark et al., 2016) penyebab hustle culture bukanlah bentuk kesetiaan pada perusahaan. Akan tetapi, kepribadian yang ada pada diri seseorang. Kebanyakan dari mereka gila kerja karena memiliki sifat perfeksionis. Perfeksionis yang dimaksud di sini adalah berhasil dalam segala bidang, termasuk finansial.
Tanpa disadari, adanya teknologi seperti e-mail dan rapat secara online yang mempermudah akses komunikasi juga dapat menjadi pemicu terjadinya hustle culture.
Dampak Buruk dari Hustle Culture
Mengganggu work-life balance
Work-life balance adalah suatu kondisi di mana seseorang dapat mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaan secara seimbang. Jika seseorang bekerja secara terus-menerus maka itu akan mengurangi waktunya untuk dirinya sendiri maupun bersama keluarga.
Meningkatkan stres yang dapat mengganggu kesehatan mental
Bekerja keras tanpa henti dapat meningkatkan stres yang dapat mengganggu kesehatan mental. Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu depresi, burnout, gangguan kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri.
Meningkatkan resiko penyakit
Bekerja keras adalah hal baik, tetapi jika kurang istirahat akan memiliki dampak buruk pada kesehatan. Berdasarkan penelitian (Virtanen & Kivimäki, 2018) pekerja dengan jam kerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti serangan jantung dan jantung koroner.
Cara Mengatasi Hustle Culture
● Kesehatan adalah nomor satu.
Bekerjalah secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup bukan hidup untuk bekerja, jika kita sakit maka pekerjaan kita akan terbengkalai bukan? Selain itu penghasilanmu akan terpakai untuk kebutuhan obat dan sebagainya.
● Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Sukses bukan hanya dari bekerja, karena tidak ada jaminan jika kamu bekerja lebih keras maka kamu akan lebih sukses. Berilah apresiasi pada dirimu atas segala pencapaian yang telah kamu lewati selama ini. Lakukanlah dengan jalan dan kecepatanmu sendiri.
● Membuat skala prioritas
Cermatlah dalam mengatur waktu. Jangan lupa meluangkan waktu, karena tubuh dan mental juga perlu istirahat agar dapat bekerja dengan produktif kembali.
Referensi :
Clark, M. A., Michel, J. S., Zhdanova, L., Pui, S. Y., & Baltes, B. B. (2016). All Work and No Play? A Meta-Analytic Examination of the Correlates and Outcomes of Workaholism. Journal of Management, 42(7), 1836–1873. https://doi.org/10.1177/0149206314522301
Virtanen, M., & Kivimäki, M. (2018). Long Working Hours and Risk of Cardiovascular Disease. Current Cardiology Reports, 20(11), 1–7. https://doi.org/10.1007/s11886-018-1049-9
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.