WTO dan Kebangkitan China di Asia Timur
Politik | 2021-12-20 16:45:08Sumber hukum yang sangat penting di dalam konsep perdagangan internasional adalah ketentuan General Agreement on Tarriff and Trade (GATT) atau persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan. Dalam perjalanannya GATT telah melahirkan World Trade Organization (WTO). GATT merupakan salah satu landasan WTO sehingga negara yang merupakan anggota WTO secara otomatis terikat dengan kebijakan-kebijakan GATT dan disebut sebagai negara anggota GATT/WTO. Disamping menjadi aturan mengenai tarif dan perdagangan, GATT juga menjadi aturan yang berkaitan dengan perjanjian mengenai jasa, penanaman modal, serta hak atas kekayaan intelektual. Pada dasarnya prinsip WTO adalah untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan internasional yang bebas, tertib, dan adil. WTO dalam menjalankan tugasnya dilandasi dengan beberapa prinsip yang menjadi pilar utama sehingga tujuan dari WTO bisa tercapai. Liberalisasi perdagangan yang diprakarsai melalui kebijakan WTO membuat negara anggota WTO mau tidak mau harus mengikuti aturan WTO.
Sejarah hubungan China dengan WTO dimulai dengan dibentuknya GATT yang tak lama setelah perang dunia kedua. Pada tahun 1980 China menjadi pengamat GATT yang akhirnya menjadi anggota Multi Fibre Arrangement (MFA). China secara resmi mengajukan keanggotaan GATT pada tahun 1989 melalui negosiasi yang sangat alot dengan secretariat GATT serta dengan mitra dagang China. Setelah bernegosiasi tentang syarat dan ketentuan keanggotaan selama lima belas tahun lamanya akhirnya China diakui WTO pada Tahun 2005 dan sebagai negara berkembang. Dengan menjadinya keanggotaan WTO China dijamin penuh dari sistem Bretton Woods, setelah bergabung dengan bank dunia pada tahun 1980. Peristiwa tersebut menandai babak baru dalam transisi China dari sosialisme ke pasar yang lebih besar. Masuknya China ke WTO memberikan kesempatan bagi pemerintah China untuk meningkatkan legitimasinya dimata rakyat China, jika masa transisi tersebut ditangani secara benar maka akan meningkatkan taraf hidup.
China telah memulai perdagangan multilateral setelah menjadi keanggotaan WTO. Hal tersebut tentunya menjadi peluang besar bagi China karena China secara penuh telah menjalankan prinsip ekonomi pasar global. Akan tetapi dalam penerapannya China diindikasikan sedang berusaha membangun strategi untuk menyaingi perekonomian Amerika Serikat. Hal tersebut terlihat pada persaingan China-AS di Asia Timur karena secara geopolitik China diuntungkan, sedangkan Amerika memiliki modal yang cukup besar di Asia Timur. Melihat kawasan Asia Timur yang memiliki potensi tinggi, China mengkaji ulang tentang identitas Asia Timur demi kepentingan ekonominya. Tindakan tersebut mencerminkan upaya China untuk menjadi pemimpin kerjasama regional di Asia Timur.
Abad ke-21 ini China menganut prinsip non konfrontasi tetapi tetap proaktif yang memiliki tujuan untuk menggambarkan China yang tidak agresif serta mampu bekerjasama dengan baik. China memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan tujuan untuk membendung unipolaritas Amerika setelah perang dingin. China yang perlahan bangkit mulai mengejar strategi institusional dan multilateral di luar kawasannya guna mendesain ulang sektor ekonomi dan politiknya. China juga memiliki peran penting dalam stabilitas perdagangan internasional pasca krisis ekonomi global. Alasan China untuk bekerjasama di Asia Timur adalah untuk memotivasi negara-negara Asia Timur agar tidak mengalami krisis finansial dan negara-negara di Asia Timur ingin bekerjasama lebih erat dengan China. Setelah krisis ekonomi global pada 2008 banyak negara yang mengalami perlambatan ekonomi, salah satu negara yang mengalami perlambatan ekonomi adalah Amerika Serikat yang membuka peluang bagi China untuk menumbuhkan rasa percaya Korea Selatan dan Jepang sebagai sekutu China di Asia Timur.
Pasca krisis ekonomi global, China juga lebih dipercaya negara-negara untuk menanamkan modal asing yang lebih baik. penanaman modal asing dari China tersebut dapat diartikan sebagai upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasannya. Tidak hanya memberikan profit China juga memberikan pinjaman pada negara-negara di Asia Tenggara. Sedangkan rival dari China yaitu Amerika masih berupaya mempertahankan kebijakan neoliberalnya untuk mendevaluasi mata uangnya. Sebelum China mendominasi Asia Timur, Jepang menjadi penguasa di kawasan tersebut yang sangat mendominasi dalam sektor teknologi, industri, dan pembangunan. Akan tetapi kekuatan Jepang tidak relevan di masa sekarang karena China mulai muncul sebagai aktor strategis dan secara bertahap memfokuskan pada kebangkitan Pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional. Strategi investasi China ditopang oleh kebijakan China menginternasionalisasikan mata uang Yuan. Hal tersebut terlihat dengan konsistensi China yang tidak mendevaluasi Yuan pasca krisis di Asia yang masih tetap stabil. Akibatnya negara-negara di Asia Timur memberikan kepercayaan lebih pada China untuk berinvestasi. Kebanyakan dari seluruh rezim kerjasama regional memiliki dominasi yang mengarah pada kerjasama itu sendiri, baik dari aktor dalam negeri maupun negara aliansi.
Faktor yang membuat China sangat kuat di Asia Timur adalah adanya perluasan pengaruh politik yang disebut dapat menarik investasi. Strategi lainnya adalah China menerapkan pengelompokkan sektor industri yang didalamnya melibatkan pemerintah lokal. Pemerintah China merencanakan Beijing menjadi pusat politik, ekonomi, dan teknologi industri. Selain di Asia Timur, China juga menjadi aktor penting kerjasama ekonomi di Amerika Latin, China telah membuat konstelasi perdagangan serta regionalisme tidak dibatasi faktor geografis lagi. Hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya minat pasar negara berkembang dalam perdagangan dunia dan perdagangan komoditas, manufaktur, serta kerjasama ekonomi untuk mencapai Critical Mass. Penerapan open regionalism juga dapat menjadi ciri dari Pemerintah China dalam merangkul banyak kawasan strategis. China bisa dikatakan sangat konsisten dalam berekspansi antar regional maupun dari kota ke kota serta tidak terpengaruh pada Jepang dan Korea yang sama-sama sedang berkembang.
Dari pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Masuknya China ke WTO menjadi sejarah dalam perilaku yang global menimbulkan pergeseran kekuatan politik dan ekonomi global. Setelah resmi masuk dalam anggota WTO, China memiliki tanggungjawab dan hak untuk membentuk serta melaksanakan aturan perdagangan secara terbuka. Peristiwa masuknya China ke WTO selain menarik perhatian para pebisnis, hal tersebut juga akan mempengaruhi hubungan internasional dan ekonomi politik global yang pastinya akan ikut berubah. Pertumbuhan ekonomi China menunjukkan bahwa China akan menjadi pemimpin di Asia Timur pada masa mendatang. Perkembangan ekonomi yang pesat tersebut juga menyebabkan terjadinya dominasi serta hubungan antar negara di Asia Timur menjadi asimetris. Kerjasama bidang ekonomi di Asia Timur pada akhirnya diwarnai dengan ketidaktransparan dalam praktik-praktiknya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.