Bung Hatta, Koperasi, dan Perpustakaan
Pendidikan dan Literasi | 2023-03-16 13:52:37Menurut Undang-undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992, Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya penjelasan Pasal 33 antara lain menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Penjelasan Pasal 33 menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonomian. nasional.
Panji Anoraga & Ninik Widiyawati (2007) menuliskan bahwa koperasi lahir sebagai reaksi terhadap sistem liberalisme ekonomi, yang muncul pada abad ke-19. Kapitalisme dan ekonomi liberal memberikan kebebasan kepada individu tanpa batas untuk meraup laba yang berlimpah ruah tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Segala macam kontrak diberikan kepada individu pemilik modal untuk menguasai hajat hidup masyarakat. Kontraksi ekonomi ini melahirkan gerakan koperasi yang lebih mengutamakan kerjasama dan kebersamaan menuju masyarakat sejahtera.
Mavis Rose (1991) menegaskan bahwa Mohammad Hatta selaku Bapak Koperasi, mempunyai wawasan ekonomi kerakyatan tentang koperasi karena menginginkan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kemerdekaan rakyat bebas berpartisipasi dalam pemerintahan negerinya sendiri. Khazanah pandangan Hatta dalam bidang ekonomi dikenal sebagai ekonomi kerakyatan, ekonomi sosialis ala indonesia, ekonomi sosialis religius ataupun ekonomi pancasila. Pengejawantahan pemikiran Hatta untuk mewujudkan cita-cita perekonomian Indonesia atas dasar kerja sama dan kebersamaan yaitu dengan mendirikan koperasi.
Badan Pusat Statistik menguggah data bahwa jumlah koperasi aktif di tanah air mencapai 127.846 unit dengan volume usaha sebesar Rp182,35 triliun. Jumlah koperasi aktif pada tahun 2021 meningkat 0,56% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 127.124 unit. Jumlah koperasi aktif mengalami peningkatan pada kurun waktu tahun 2011 hingga 2017. Ironisnya, jumlah koperasi aktif menurun drastic sebesar 16,97% menjadi 126.343 unit pada tahun 2018. Hal ini terjadi seiring dengan langkah tegas yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) membubarkan koperasi yang tidak sehat. Tujuan kebijakan ini adalah mengubah paradigma pemberdayaan koperasi dari kuantitas menjadi kualitas.
Jumlah koperasi aktif di Indonesia turun lagi sebesar 2,61% menjadi 123.048 unit pada tahun 2019. Namun, jumlahnya kembali meningkat dalam dua tahun terakhir. Adapun, jumlah koperasi aktif paling banyak di Jawa Timur, yakni 22.845 unit. Jawa Barat dan Jawa Tengah menempati posisi selanjutnya dengan jumlah koperasi aktif masing-masing sebanyak 15.621 unit dan 10.270 unit. Sementara itu, Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan jumlah koperasi aktif paling sedikit, yakni 612 unit. Di atasnya ada Bangka Belitung dan Papua Barat dengan jumlah koperasi aktif berturut-turut sebanyak 711 unit dan 723 unit.
Peneliti pusat penelitian ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yeni Saptia, sebagaimana dilansir oleh Antara, 13 Juli 2019, mengatakan ketiadaan jaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) membuat koperasi sulit berkembang di Indonesia. Sebenarnya terkait dana likuiditas (funding), harusnya ada LPS bagi koperasi. Selama ini LPS hanya ada di Perbankan. Keberlangsungan koperasi yang ada di berbagai daerah, pada umumnya bertumpu pada permodalan yang diperoleh dari keanggotaan dan pinjaman dari perbankan meski masih terbatas. Selain permodalan yang diperoleh dari anggota dan perbankan, investor pun bisa menyuntikan dananya untuk dikelola oleh koperasi. Jadi (investor) tidak was-was dananya dibawa lari pengurus koperasi.
Selama ini ada kekhawatiran di masyarakat setelah ditemukan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, masih banyak koperasi kategori belum sehat. Bahkan ada juga koperasi bodong, yaitu koperasi yang tidak aktif lagi namun tetap menghimpun dana dari masyarakat. Hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada koperasi. Kalau tidak ada perhatian besar, keberadaan koperasi termarjinalkan. Padahal koperasi berperan penting memberikan kredit kepada pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Koperasi merupakan soko guru bisnis masyarakat yang belum memenuhi syarat untuk memanfaatkan layanan perbankan.
Fenomena koperasi yang tidak sehat saat ini sudah pernah dikritik oleh Bung Hatta. Beliau merasa masih banyak koperasi yang mengutamakan aspek komersial daripada sosial. Seperti perilaku menaikkan harga barang seenaknya atau melakukan intimidasi terhadap masyarakat yang tidak membeli di koperasi dengan menyebutnya tidak setia kawan. Padahal tujuan koperasi dibangun bukan untuk itu. Koperasi harus kembali kepada prinsip yang bersifat sukarela. Koperasi membangun tenaga lemah yang berserakan menjadi kekuatan baru dalam wujud organisasi. Kekuatan koperasi terletak pada kerjasama yang berdasarkan tolong-menolong serta tanggung jawab bersama. Bukan mengandalkan permusuhan keluar yang menjadi sifat utama melainkan memperkuat solidaritas ke dalam. Mendidik orang Insaf akan harga dirinya serta menanamkan rasa percaya pada diri sendiri. Demikian pernyataan Bapak Koperasi Indonesia seperti tertera dalam buku karya Zulfikri Suleman (2010) yang berjudul Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta.
M Fazil Pamungkas (2020) mencatat bahwa Bung Hatta juga menemukan ada koperasi yang melakukan persekutuan tidak adil dengan hanya menjual barang koperasi kepada anggotanya saja. Menurutnya bentuk koperasi demikian tidak menunjukkan persekutuan ekonomi dan sosial yang bijak bagi seluruh masyarakat. Juga tidak mendidik perasaan sosial. Persaingan antar koperasi juga masih sering terjadi. Sesuai dengan fungsi sosial koperasi seharusnya antar koperasi saling membantu untuk menumbuhkan perekonomian di tengah masyarakat. Bukan memperlihatkan persaingan yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Cita-cita membangun ekonomi rakyat harus menjadi yang utama bagi koperasi. Tujuan utama koperasi adalah memenuhi kebutuhan para anggotanya. Keuntungan memang diperlukan untuk perkembangan koperasi lebih lanjut. Namun untuk memperoleh laba tidak perlu mengorbankan tujuan yang utama.
Lili Gamar Sutantyo dalam buku berjudul Mengenang Syahrir seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan karya Rosihan Anwar (2010) menjadi saksi keberhasilan Bung Hatta menghidupkan Koperasi di Banda Neira selama masa pengasingannya pada tahun 1930-an. Menurut putra asli Banda yang pernah dididik langsung Bung Hatta itu ada dua orang lagi yang ikut membantu Bung Hatta membangun Koperasi di Banda yaitu Sutan Syahrir dan Iwa Kusuma Sumantri. Mulanya mereka menggagas sebuah organisasi sosial dan pendidikan yang bergerak di bidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi yang dinamakan Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe). Ketiganya menjadi donatur tetap. Bung Hatta dipercaya mengurus bidang koperasi. Berawal dari sinilah dia mencontohkan model pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan bersama.
Perbamoe membeli semua hasil bumi yang turun dari perahu. Kemudian didistribusikan pada masyarakat setempat. Bung Hatta dan Perbamoe memiliki cara sendiri dalam menarik minat masyarakat Banda terhadap koperasi. Bila ada perahu datang muatannya diambil langsung oleh Koperasi Perbamoe untuk dijual kembali kepada penduduk. Dengan memotong jalur distribusi ini harga asli barang tidak akan berbeda jauh dengan harga jualnya.
Alhasil penduduk bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah petani maupun nelayan tidak merugi dan koperasi tetap memperoleh keuntungan yang cukup untuk kas. Kas yang terkumpul ini digunakan sebagai modal untuk menyewa rumah lengkap dengan perabotannya untuk secretariat. Kas itu pula yang digunakan Bung Hatta, Bung Syahrir dan Mr.Iwa untuk membangun perpustakaan yang koleksi bacaannya bisa dinikmati oleh semua orang.
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.