Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Totok Siswantara

Bencana Longsor, Pemda Mesti Pahami Informasi Geospasial

Info Terkini | 2023-03-13 16:16:45
Proses evakuasi jenazah korban longsor di Kampung Molon, Desa Pangkalan, Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau - Dok REPUBLIKA.

Tanah longsor menjadi ancaman bencana alam yang dominan di Indonesia. Bencana tanah longsor mestinya bisa diantisipasi secara sistemik sebelum datang dan menelan korban jiwa dan harta benda. Untuk mengantisipasi itu dibutuhkan sistem peringatan dini dan personel khusus yang mesti terjun langsung di lapangan serta dilengkapi perangkat pendukung berupa data spasial dan perangkat lainnya.

RETIZEN.REPUBLIKA.CO.ID, Korban meninggal dunia akibat tanah longsor di Natuna, Kepulauan Riau bertambah menjadi sebanyak 46 jiwa. Sebanyak sembilan orang dinyatakan masih hilang. Korban yang telah ditemukan terdiri atas 24 laki-laki dan 22 perempuan. Menurut data BPNB, masih ada sembilan orang korban tanah longsor yang belum ditemukan.

"Pada hari kelima pascabencana atau Minggu (12/3), jumlah korban meninggal dunia yang telah ditemukan menjadi 46," ujar Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, dalam keterangannya, Minggu (12/3), dikutip dari Republika.co.id.

Untuk usaha mitigasi dan penanganan pasca bencana longsor, informasi geospasial sangat penting. Dimasa mendatang sinergi antara BNPB, Pemda dan Badan Informasi Geospasial (BIG) semakin penting. Namun sangat disesalkan, selama ini pemerintah daerah kurang memahami dan jarang memanfaatkan informasi geospasial yang berupa peta dan analisa yang dihasilkan oleh BIG untuk usaha mitigasi bencana alam, khususnya longsor.

Peran BIG sangat penting dalam membantu mitigasi bencana alam dan pasca bencana. Setelah bencana longsor terjadi, peran BIG sangat menentukan. Yang menjadi peran ujung tombak tersebut adalah Satuan Reaksi Cepat (SRC) Kebencanaan BIG.

Sesaat setelah terjadi bencana longsor, SRC-BIG berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan penanggulangan bencana. Seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan SAR Nasional (BASARNAS), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Perum Perhutani, dan unsur TNI, POLRI serta berbagai relawan.

Langkah pertama tim SRC-BIG melakukan kegiatan rapid mapping di lokasi bencana tanah longsor. Rapid mapping adalah melakukan orientasi medan lokasi bencana. Setelah dilakukan diskusi terkait lokasi bencana secara umum, tim SRC-BIG kemudian menentukan peta rencana kerja berdasar dari orientasi medan dan data informasi geospasial (IG) yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Biasanya Data IG yang digunakan berupa Peta Morfometri Nasional dengan skala 1:250.000 dan data kontur peta Rupabumi skala 1:25.000 di sekitar lokasi bencana alam tanah longsor. Dari data IG tersebut akan didapatkan informasi lokasi bencana alam tanah longsor beserta data kemiringan lereng. Kemudian juga bisa digambarkan bentuk atau bidang mahkota kelongsoran pada kelas kemiringan lereng tertentu serta daerah terdampak longsor yang berada pada lahan kemiringan landai.

Setelah memiliki data yang cukup sebagai bekal untuk melakukan akusisi data daerah terdampak bencana alam tanah longsor, tim SRC-BIG kemudian menentukan jalur terbang dan titik awal terbang untuk wahana udara nirawak atau pesawat drone yang digunakan untuk proses akuisisi data. Setelah posisi mahkota berhasil diidentifikasi oleh drone, tim SRC-BIG bersama dengan personil penanggulangan bencana lainnya melakukan perjalanan darat dengan menggunakan trek buatan menuju titik terdekat dengan lokasi mahkota longsor berada.

Sesampainya di lokasi yang dituju, tim SRC-BIG beserta personil penanggulangan bencana yang lain melakukan penyisiran lokasi disekitaran area mahkota longsor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan kegiatan akuisisi data yang akan dilakukan oleh tim SRC-BIG dari kemungkinan adanya potensi longsor susulan akibat dari rekahan tanah yang dimungkinkan ada disekitaran mahkota.

Setelah rangkaian akuisisi data dilakukan, data-data hasil akuisisi tersebut diproses secara langsung untuk kemudian dibuatkan mozaik dan diolah hingga menjadi informasi geospasial berupa orthofoto yang lengkap dengan informasi Digital Surface Model (DSM). Hasil inilah yang kemudian diserahkan kepada tim penanggulangan bencana untuk menjadi bahan koordinasi dalam melakukan kegiatan mitigasi dan rehabilitasi paska bencana dilokasi terdampak bencananya.

Selama ini birokrasi pemerintah daerah belum bisa bekerja secara teliti dan analitis serta mendalami hingga menemukan hal-hal penting dari informasi data spasial yang berpotensi menyebabkan bencana seperti tanah longsor. Untuk mengatasi lemahnya mitigasi tersebut dibutuhkan personel yang bisa terjun langsung mengamati secara teliti terhadap lereng atau perbukitan yang rawan longsor. Perlu pengetahuan tentang ilmu geologi secara praktis seperti masalah kestabilan lereng dengan menggunakan parameter-parameter seperti kekuatan tanah dan batuan, sudut lereng, iklim, dan vegetasi.

Selain itu juga perlu ditambahkan pengetahuan kepada para personel agar bisa melakukan monitoring secara cermat melalui pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan air tanah atau piezometer, kecepatan gerakan tanah atau extensometer dan arah gerakan tanah atau inclinometer.

Pengetahuan dalam bidang pemantau kestabilan lereng banyak manfaatnya seperti misalnya untuk keonservasi alam dan bidang kehutanan. Juga Pemahaman tentang kestabilan lereng, pemahaman proses-proses yang mengakibatkan runtuhnya dinding, penganalisaan sudut lereng yang aman, penirisan air pada lereng pit, pemantauan kondisi lereng secara visual maupun dengan peralatan mekanis.

Ketidakmampuan pihak birokrasi daerah untuk menemukan faktor-faktor penting dari data spasial mesti segera diatasi. Dengan berbagai varian data spasial dasar seperti land cover atau peta tutupan lahan, Daerah Aliran Sungai (DAS), kejadian banjir, kondisi curah hujan, peta rupa bumi, sistem lahan, hal itu sangat berguna bagi upaya mitigasi bencana yang bisa meminimalkan resiko bencana geologi. Begitu juga dengan data yang terkait dengan peta rawan banjir dan tanah longsor keberadaannya belum terkonsolidasi dengan baik.

Selama ini eksistensi data spasial yang sudah dibangun oleh pemerintah pusat dan daerah dengan biaya yang cukup besar ternyata belum tuntas dan sulit diolah menjadi solusi praktis untuk usaha mitigasi bencana. Padahal pemerintah pusat dan daerah sudah banyak mengeluarkan dana dan tenaga untuk membangun Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD). Namun, hasilnya masih belum bisa dipertanggungjawabkan secara optimal bahkan tidak sedikit yang sia-sia.

Data spasial secara sederhana dapat di artikan sebagai data yang memiliki referensi keruangan atau geografi. Setiap bagian dari data tersebut selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk atau cara penyajian data spasial yang paling ideal. Data spasial juga bisa diintegrasikan dengan sistem kependudukan. Jika terjadi bencana, maka identifikasi korban bisa dilakukan secara baik.

Ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun infrastruktur IDSD, yakni kerangka institusi, kelompok data dasar, standar teknis dan jaringan akses data. Juga diperlukan faktor skala peta yang sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan, misalnya pada tingkat skala wilayah Propinsi, skala 1:10.000 untuk data spasial dasar, dan skala 1:25.000 untuk data spasial tematik. Seringnya bencana alam gempa bumi, banjir, kekeringan dan tanah longsor akhir-akhir ini sangat membutuhkan peta tematik dengan prioritas tema kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah dan tata guna lahan. Hal itu untuk memperkokoh upaya mitigasi bencana geologi, khusunya longsor. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image